"Jangan sentuh aku!" Binar berkata dengan lirih.
Adnan terkejut saat Binar mengatakan itu, terlihat jelas dari sorot matanya rasa takut yang besar terhadap dirinya.
"Aku kembali membuatmu takut," ungkapnya dengan nada penyesalan.
Binar tidak bisa berkata apa-apa lagi, tubuhnya terasa lemas sekali. Dan akhirnya dia pun terjatuh tidak sadarkan diri. Beruntung Adnan dengan cepat menangkap tubuh Binar sehingga tidak terjatuh di atas jalanan beraspal yang penuh dengan darah.
"Kau urus semuanya!" perintah Adnan pada Candra lalu dia berjalan menuju mobil dan memasuki mobil dengan Binar.
Candra mengangguk lalu dia menyuruh semua anak buahnya untuk membereskan semua kekacauan ini. Setelah memerintahkan itu, dia memasuki mobil dan menyuruhnya sopir untuk segera menjalankan mobilnya menuju rumah.
Adnan melihat dengan jelas tadi rasa takut sekaligus terkejut dari wanita yang dicintainya itu. Sebenarnya dia Adnan tidak ingin memperlihatkan sisinya yang lain pada Binar.
Namun, musuhnya mulai menargetkan Binar untuk menghancurkannya. Adnan menggertakkan giginya, saking kesalnya dengan para musuh yang sudah mulai melancarkan aksinya.
"Tuan, kita ke rumah sakit atau kembali ke rumah?" tanya Candra pada Adnan yang masih sibuk dengan pikirannya.
"Ke rumah lalu hubungi Alan!" jawab Adnan.
"Baik, Tuan."
Candra menjawab lalu dia mengambil ponselnya dan memberi pesan pada Alan untuk datang ke rumah dengan cepat. Dia tidak mengatakan siapa yang perlu di periksanya.
Mobil terhenti tepat di depan rumah, para pengawal dan pelayan bersiap menyambut kedatangan Adnan. Alan pun telah tiba di rumah, dia terlihat sangat cemas.
Alan mengira jika Adnan kembali mengalami gangguan kesehatan. Namun, yang dilihatnya ya adalah Binar yang sedang berada di pangkuan Adnan.
Adnan menggendong Binar lalu berjalan menuju kamar. Alan dan Candra pun berjalan mengikutinya dari belakang dengan langkah cepat. Karena Adnan berjalan begitu cepatnya.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" Alan bertanya pada Candra.
"Periksa keadaan Nona terlebih dahulu, nanti aku ceritakan!" Candra menjawab dengan datar.
Seorang pelayan membukakan pintu kamar, Adnan masuk dengan cepat lalu menidurkannya di atas tempat tidur.
"Cepat periksa dia!" Adnan memerintah Alan untuk memeriksa Binar.
Alan langsung memeriksa dengan saksama Binar tanpa menjawab berkata apa-apa. Tidak berapa lama semua pemeriksaan selesai.
"Istrimu tidak apa-apa dia hanya perlu istirahat." Alan berkata sembari menuliskan resep obat yang harus dikonsumsi oleh Binar.
Candra tahu apa yang harus dilakukan, dia mengambil kertas dari Alan dan menyuruh salah satu anak buahnya untuk membeli obat tersebut.
"Aku pergi dulu, jika ada apa-apa kau bisa menghubungiku." Alan berkata lalu Candra mengantarnya keluar dari rumah.
Alan masih penasaran apa yang terjadi dengan Binar hingga tidak sadarkan diri seperti ini. Dia pun akhirnya bertanya kembali pada Candra.
"Katakan padaku apa yang sudah terjadi?!" tanya Alan dengan penuh rasa penasaran.
"Nona, kembali di serang? Entah siapa yang mulai bergerak untuk mempersulit tuan! Dan juga Marcello mulai bertindak," jawab Candra.
Alan mencerna apa yang baru saja di dengarnya, dia tidak menyangka jika Marcello akan senekat ini untuk merebut istri dari ayah angkatnya.
"Kau jaga mereka berdua! Jika terjadi sesuatu cepat kabari aku!" imbuh Alan lalu dia berjalan dan memasuki mobilnya.
***
Matahari sudah mulai berjalan untuk membenamkan dirinya. Namun, Binar masih saja belum tersadarkan diri. Adnan semakin khawatir, dia tidak ingin terjadi sesuatu pada wanitanya.
Terdengar suara ketukan pintu, Adnan menyuruhnya masuk. Pintu kamar terbuka, Candra berjalan memasuki kamar dengan dua orang pelayan yang membawa makan malam untuk Adnan.
Dia menyuruh pelayan tersebut menata dengan rapi makanan tersebut di atas meja. Setelah tertata dengan rapi, para pelayan pun pergi meninggalkan kamar.
"Saya sudah siapkan makan malam untuk Anda," ucap Candra.
Namun, Adnan tidak menghiraukan apa yang dikatakan Candra. Dirinya hanya fokus pada Binar yang masih menutup matanya.
Candra tidak bisa berbuat apa-apa, dia berjalan keluar dari kamar. Untuk menyelesaikan semua urusan yang belum terselesaikan.
Tidak berapa lama setelah kepergian Candra, jari Binar bergerak. Dia mulai membuka kedua matanya secara perlahan. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah Adnan dengan wajah yang penuh dengan rasa khawatir.
"Akhirnya kau bangun, Sayang."
Binar hanya memandang Adnan tetapi ingatan Binar tentang kejadian siang tadi kembali muncul. Sepeti puzzle yang sedang tertata dan akhirnya menjadi sebuah gambaran.
Tubuhnya gemetar tatkala mengingat semuanya, suara tembakkan dan darah yang membasahi jalanan serta mayat yang bergeleparan. Semua itu dilihat dengan matanya sendiri dan yang memerintahkan pembantaian itu adalah Adnan Raymond.
Namun, dia berusaha untuk mengontrol semua itu. Binar berpikir jika dirinya tidak boleh selemah ini. Karena kehidupannya sudah tidak seperti dulu lagi.
Dia menarik napasnya lalu mengembuskannya perlahan. Ditatapnya Adnan yang masih setia berada di sampingnya. Mengingat kembali apa yang sudah diceritakan oleh Candra tentang penderitaan Adnan sedari kecil.
"Apa kau takut denganku?" Adnan bertanya dengan lembut pada Binar yang sedang menatapnya.
Binar mengangkat tangannya, lalu menyentuh lembut pipi Adnan. Dia berusaha untuk membuat pria yang ada di hadapannya itu tidak berpikir jika dirinya akan meninggalkannya.
"Iya aku takut tetapi aku tidak akan meninggalkanmu, aku akan selalu berada di sisimu."
Mendengar ucapan Binar membuat hati Adnan menjadi lega. Dia langsung memeluknya dengan erat dan tidak akan pernah membuatnya merasa takut atau sedih.
Adnan melepaskan pelukannya lalu menatap Binar dengan lekat. Dia tidak mengatakan apa-apa dan langsung mencium bibirnya dengan lembut.
Binar menghentikan ciuman Adnan, dia kembali teringat akan peristiwa malam itu yang membuatnya sedih dan kecewa.
"Beri aku waktu," Binar berkata lalu menekuk wajahnya.
"Maafkan aku ... Kau berhak marah atau benci padaku," timpal Adnan dengan nada penyesalan.
"Sudah aku katakan tadi bukan? Aku tidak akan meninggalkanmu. Namun, beri aku sedikit saja waktu untuk memulihkan semuanya." Binar kembali berkata lalu beranjak dari tempat tidur.
Dia berjalan menuju kamar mandi, untuk mencuci wajahnya. Binar belum bisa melupakan sepenuhnya kejadian malam itu, ditambah lagi dengan pembantaian yang diperintahkan oleh Adnan.
Semua masih terpampang nyata di dalam ingatannya. Tubuhnya masih merasakan lemas tatkala melihat Adnan yang dengan santainya menyuruh anak buahnya menghabisi para musuhnya.
"Apa ini adalah dunianya?" tanya Binar sembari menatap cermin.
Binar mengambil handuk lalu mengeringkan wajahnya. Dia menarik napasnya lalu mengembuskannya, berusaha untuk bersikap sewajarnya untuk menghadapi Adnan karena dia tidak ingin membuatnya semakin merasa bersalah.
Meski sebenarnya Adnan sudah membuat kesalahan pada dirinya. Ingin rasanya membenci dengan sikap Adnan. Namun, dia tidak bisa membencinya begitu saja.
"Ada apa dengan hatiku ini?" gumamnya lalu berjalan keluar dari kamar mandi.