Chapter 14 - 14

Rasanya lelah, seakan hanya tidur yang mampu mengusirnya. Tapi aku tau, yang lelah bukan fisik tapi hati.

‐khaira-

Revisi [16Mei 20]

Seakan  di bumi sudah tidak lagi memiliki udara, atmosfer terasa sangat berbeda. Ada kesenduan yang tercipta. Ada luka yang menganga. Semua seakan bersatu memunculkan satu tetes air yang siap terjun, terjun bebas seakan menyuarakan kesakitan yang selama ini tertanam.

"Ka.. mu, ka.. mu kenal sama R..iska?"

"Bukan cuma kenal kami lebih dari pada itu," sebuah suara terdengar dari arah belakang membuat Khaira bingung sekaligus penasara.

"Maksudnya?"

"Aku bis.."

"Dia kakak gue."

"Hah," dengan sisa tenaga yang ia miliki Khaira  berusaha menghapus air yang kembali keluar dari kedua mata sayunya.

Kejutan apa lagi yang ia dapat kali ini, rasanya yang kini berulang tahun Riska, namun mengapa ia yang mendapat begitu banyak kejutan?

Pusing kini menjalari kepala Khaira, serasa ditimpa batu godam. Namun hal itu tak membuat ia menyerah untuk mengetahui hal apa yang kini hendak terbongkar.

"Gue sengaja nyuruh kakak gue ngedeketin lo, lalu setelah kalian dekat gue minta ke Mama gue buat ngirim kakak gue ini kuliah di luar negri. Dan ninggalin lo dengan secercah  harapan, seakan ia kembali, dan coba tebak. Gue berhasil kan, gue berhasil nanem harapan di hati lo. Uu kasian banget sih, yang di php in. Makanya jadi cewek nggak usah kegatelan."

Hancur, harapan yang setiap hari tumbuh kini hancur, hancur oleh fakta yang mengejutkan.  Seakan tertampar oleh kenyataan yang masih saja berusaha ia tampik kebenarannya.

Ia menatap Arji, masih ada secercah harapan di hatinya untuk pria itu. Berharap pria itu membantah perkataan Riska yang baru dia dengar. Namun hingga menit kelima cowok itu tetap pada posisinya, menatapnya dalam, seakan mengiyakan perkataan Riska.

"Maaf."

Satu kata berjuta makna.

Satu kata yang ia harap dapat mewakilkan segala rasa sakit yang telah ia tanam dihati gadis itu.

Satu kata, tapi ia berharap dengan satu kata tersebut, dapat menghilangkan rasa bersalah yang membuncah di dadanya.

Khaira menunduk, berusaha menghapus air matanya. Tak ingin terlihat lemah didepan manusia yang sangat kompak dalam menyiksa batinnya.

"Aku benci dibohongi, tapi aku lebih benci menjadi lemah. Dan aku berharap malam ini hanya mimpi buruk yang menyapa tidur ku. Agar esok aku tak benar-benar membencimu," seakan itu adalah mantra untuk dirinya, dan benar bahkan air matanya yang semenjak tadi mengalir kini hanya tersisa jejaknya saja.

Tanpa kata lebih lanjut, atau setidaknya salam perpisahan, gadis itu melangkah keluar dari rumah yang terasa mencekam tubuhnya membuat rasa panas sedari tadi menjalari batinnya.

Arji tak sempat mencegah kepergian gadis itu karena sempat terkejut dengan ucapannya tadi, bahkan dia yang sangat brengsek ini pun tak benar-benar gadis itu benci.

Ya tuhan, gadis macam apa yang engkau ciptakan hingga memiliki hati selembut itu. Dengan segenap tenaga yang Arji punya,  dia mengejar Khaira. Saat sampai di gerbang ia sudah tak melihat jejak gadis itu, tak hilang akal. Ia berlari kearah yang sekiranya pasti Khair lewati. Namun, mungkin sudah takdirnya, ia tak menemukan jejak gadis itu dimanapun. Membuat rasa khawatir menyelimuti hatinya.

"KHAIRAAA! LO DIMANA?!"

"KHAIRAAA!" Teriaknya mulai frustasi.

"Gue minta maaf Ra," tangisnya sudah tak dapat ia tahan, air itu terjun bebas dari matanya. Arji dilingkupi rasa bersalah. Rasa sesal dan khawatir hingga membuatnya sesak.

"Gue yakin lo belum jauh, KALAU EMANG LO DENGER OMONGAN GUE! GUE MAU MINTA MAAF. GUE NYESEL NGIKUTIN MAUNYA RISKA! GUE NYESEL! GUE MINTA MAAF RA! GUE TAU LO DENGER, TAPI GUE NGGAK MAU MAKSA LO. GUE TAU LO SAKIT."

"Gue nyesel banget Ra. Gue bego banget ampe mau aja kemakan rayuan adik gue. Gue bener-bener sayang sama lo. Gue nggak peduli lo percaya atau enggak. Yang jelas rasa ini begitu besar sampai gue sesak untuk nahannya. Gue berharap lo mau nemuin gue dan denger penjelasan gue."

Cukup lama Arji terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya ia menyerah dan kembali kerumah. Tidak bukan menyerah yang sesungguhnya, sebab cukup dulu saja dia menjadi lemah dengan permintaan mereka untuk menjauhi Khaira. Kali ini, dia tidak akan menyerah semudah itu.

Setelah mendengar suara langkah kaki yang semakin menjauh jauh, barulah Khaira keluar dari tempat persembunyiannya.

Khaira meluruh ke tanah, sungguh luar  biasa hari ini, begitu banyak kejutan yang menghampiri hingga dia tidak sanggup untuk menampung semuanya.

Kembali ia memejamkan  mata. Kenapa sesakit ini? Kenapa rasa benci tak juga muncul di hatinya. Kenapa tuhan beri ia cobaan sebesar ini?

Khaira terdiam di posisi tersebut, hingga suara klakson motor mengejutkannya. Jika motor tersebut menabraknya, Khaira sudah pasrah. Namun, sayangnya motor itu bukan menabraknya malah berhenti di sampingnya.

Orang yang mengendarainya turun, dan membantu Khaira untuk berdiri. Hingga dia menarik gadis itu kedalam pelukannya.

"Aku udah bilang, kamu harusnya nggak usah datang kesana. Firasat aku belum pernah menghianati tuannya Ra."

Tidak ada tanggapan, Khaira terus saja menumpahkan segala gundahnya di dada Raja. Ya, Lagi-lagi Raja datang di waktu yang tepat. Kadang khaira heran sendiri, apa Raja menaruh penyadap di  tubuhnya  hingga selalu tau kapan dirinya Khaira butuhkan.

"Pulang ya. Kamu pasti capek, meski bukan tubuh kamuyang saat ini capek. Tapi, kamu harus tetap istirahat."

Dengan telaten Raja membimbing Khaira naik keatas motornya. Memasang helm dengan lembut untuk Khaira, lalu dia mengusap bekas air mata yang masih ada di pipi mulus gadis itu. Barulah setelahnya Raja menstater motor nya dan melaju membelah jalan.

****

"Assalamualaikum bi," Raja memberi salam kala kakinya melangkah masuk kedalam rumah milik Khaira sambil membimbing gadis itu.

Dengan tergopo bi Yayan menghampiri mereka. "Waalaikumsalam, ya allah gusti non Khaira Kenapa den?" Tanya wanita paruh baya itu saat melihat Khaira yang seperti mayat hidup.

Bagaimana tidak, tatapannya seolah menyiratkan tidak ada lagi kehidupan di raga itu. Belum lagi wajah Khaira yang tampak sangat kacau, membuat bi Yayan khawatir bukan main.

"Nggak papa bi, bisa minta tolong ambil in air putih sama handuk basah bi?"

"Bisa den, sabar ya bibi ambil in dulu," langsung saja wanita itu pergi ke dapur tanpa menunggu jawaban dari Raja.

"Ra, ke kamar ya. Biar langsung istirahat."

Tidak ada jawaban, tapi hadapannya yang berpindah membuat Raja mengerti bahwa gadis itu mengiyakan ajakan Raja.

Saat tiba di kamar, Khaira langsung merebahkan tubuhnya tanpa membuka sepatu atau berganti pakaian. Dan lagi-lagi Raja dengan sabar membantu gadis itu untuk membuka pakaiannya.

Pintu yang tadi hanya tertutup setengah, kini terbuka lebar memperlihatkan bi Yayan yang membawa sebaskom air dengan handu dan air putih dalan tumbelr.

"Makasih ya bi," ujar Raja seraya mengambil barang yang ada di tangan bi Yayan.

"Den, non Khaira kenapa? Tadi waktu pergi bibi lihat masih semangat. Ini kenapa pulangnya kaya gini?"

"Khaira hanya lelah bi," balas Raja sambil mengusap wajah Khaira dengan lembut. Lalu menuntun gadis itu untuk bangkit meminum air yang sudah bi Yayan bawa.

"Sekarang kamu tidur ya, tapi sebelumnya ganti baju dulu. Bi bisa minta tolong sekali lagi?"

Bi Yayan mengangguk, "tolong bantu Khaira untuk mengganti bajunya ya."

"Iya den."

"Kalau gitu saya keluar dulu."

Saat Raja keluar dari dalam kamar, bi Yayan dengan telaten membantu Khaira mengganti baju. Setelah selesai ia menyelimuti Khaira yang sudah lebih dulu memejamkan matanya. Baru dia keluar dari sana.

"Udah siap bi?"

"Udah den, bibi penasaran non Khaira kenapa. Tapi, bibi yakin kalau adek akan menjaga majikan bibi itu dengan baik."

Raja tersenyum, dia mengangguk kepada wanita itu lalu pamin untuk pulang.

"Saya janji akan menjaga Khaira dengan baik, kalau gitu saya pulang dulu ya bi. Bibi langsung kunci pintunya ya, pagar biar saya aja yang kunci."

Dengan patuh bi Yayan mengiyakan perintah Raja, setelah Raja keluar ia langsung mengunci pintu dan menutup gorden jendela.

*****

Batam, 12 Maret 20.