Aku percaya bahwa tidak ada yang kebetulan, karna kata kebetulan hanya diucapkan oleh mereka yang tidak percaya takdir
-khaira-
Revisi [16 Mei 20]
Bel pulang sekolah sudah berbunyi, Khaira dengan cepat memasukkan alat tulisnya kedalam tas, sebab Raja sudah mengirimnya pesan bahwa cowok itu telah menunggunya di gerbang.
Saat melewati pintu kelas, hampir saja Kening Khaira terbentur oleh dada bidang orang yang tengah berdiri di hadapannya. Khaira mendongak guna melihat siapa cowok itu. Matanya membulat kala netranya bertubrukan dengan netra coklat terang milik Irza yang menatapnya dengan datar.
Mengapa dalam hati, segera Khaira menundukkan pandangannya, lalu melewati Irza begitu saja.
Yang Khaira tidak tau adalah setelah Khaira melewati Irza begitu saja, cowok itu menatap kepergiannya dengan sendu. Ada bagian di dalam hatinya yang memberontak ingin merengkuh tujuh mungil gadis itu, namun sekuat tenaga ia tahan.
Khaira melangkah dengan cepat menuruni anak tangga, dengan sedikit berlari dia melewati lorong kelas sepuluh hingga sampai di depan gerbang. Kepalanya mencari dimana keberadaan Raja.
"Ra, sini," teriak Raja dari seberang jalan.
Segera gadis itu menyeberang agar sampai ketempat cowok itu.
"Tumben lama keluarnya?" Tanya Raja sambil memasang helm ke kepala Khaira.
Dengan gugup gadis itu menjawab, "iya, tadi gurunya ngasih soal pas udah bel. Kamu tau kan aku kalau nulis itu suka lambat," jawaban yang meyakinkan.
"Oh, yaudah naik, kayak nya mau hujan deh."
Khaira tidak membalas, dia langsung naik ke jok belakang dan memegang pinggang Raja dengan erat.
"Raja Aku dapat undangan sweet seventin dari Riska," Khaira buka suara saat motor mereka berhenti di lampu merah.
Raja langsung menoleh ke arahnya. "Kamu nggak akan pergi kesana kan?" tanya Raja cepat.
"Pergi kayaknya soalnya dia udah undang aku. Kamu mau kan nemenin aku kesana?"
"Ra, kamu yakin? Menurut aku kamu nggak perlu memenuhi undangan dari cewek ular itu deh."
"Pokoknya aku mau pergi, kalau aku nggak pergi nanti di kira belum move on dari kejadian satu bulan kemaren lagi."
Raja menghela nafas gusar, Khaira ini jika sudah memutuskan sesuatu maka akan sulit untuk merubahnya. Dan dia tidak ingin gadis itu kenapa-napa nantinya.
"Iya aku akan nemenin kamu disana nanti."
******
Malam ini adalah malam ulang tahun milik Riska. Khaira sudah bersiap sejak tadi dan kini dia tengah menunggu kehadiran Raja untuk menjemputnya.
Suara daru motor yang memasuki pekarangan rumah Khaira membuat gadis itu dengan semangat berdiri dari duduknya.
"Kok lama sih? Kamu nggak papa kan?"
"Iya tadi ban motor aku bocor jadi aku tambal ban dulu. Kamu yakin tetap mau kesana, aku rasa kita nggak perlu datang kalau hati kamu menolak. Ini hanya acara yang nggak penting buat kamu."
Itu kalimat bujukan kesekian yang Raja ucapkan guna membujuk gadis keras kepala disampingnya ini. Rasanya Raja ingin mengurung Khaira agar ia tak perlu membuang waktu untuk datang ke acara yang sangat membuang waktu mereka.
"Aku ingin pergi Ja, karna Riska sudah udah ngundang aku. Nanti kalau aku udah bosan aku bakal pulang sama kamu kok."
"Kamu buang-buang waktu kesana. Lebih baik kita jalan-jalan aja. Atau tetap dirumah nonton kek, apa kek."
"Kamu nggak mau nganter aku?"
"Bukan, bukan gitu maksud aku cuma," bingung rasanya. Firasat cowok itu sungguh tak enak jika gadis ini tetap ingin kesana.
"Oke, aku bakal anter kamu. Tapi kamu harus janji sama aku."
"Apa."
"Janji dulu."
"Iya."
"Kamu harus langsung hubungi aku kalau ada apa-apa."
"Iya aku janji, sekarang ayo antar aku. Usah telat nih," Khaira melirik jam tangan yang ia pakai.
******
"Bi, Rara kemana? Kok telpon saya nggak di angkat?"
"Anu nya, non Khaira baru aja pergi sama den Raja. Katanya mau ke acara ulang tahun temannya," jelas wanita paruh baya yang kini tengah menjawab telpon dari Fara.
Semenjak Fara bilang ia belum bisa datang sebab kesibukannya, Khaira jadi sangat susah di hubungi. Hatinya resah jika Khaira tidak ingin menjawab panggilannya.
"Oh, kalau nanti Rara udah pulang tolong suruh hubungi saya ya bi," pinta Rara dengan nada khawatir yang sangat kentara.
"Baik nya."
**********
"Kamu hati-hati bawa motornya. Nanti kalau aku udah selesai aku hubungi kamu."
Dengan berat Hati cowok itu mengangguk. Saat bayangan Khaira sudah hilang dibalik pintu barulah ia menyalakan motornya dan pergi dari sana, yang pasti ia akan tetap berada disekitar rumah Riska, takut kalau ia pergi terlalu jauh. Saat gadis itu membutuhkan nya dia malah tak bisa datang dengan cepat.
Khaira masuk kedalam rumah megah milik Riska. Mendengar suara bising dari arah belakang, ia dengan cepat melangkah ke kesana.
Taman belakang rumah Riska sudah di sulap sedemikian indah. Lampion serta tambeler pun tak luput menjadi hiasan, hidangan lezat sudah banyak disajikan disetiap meja yang ditata sangat indah disetiap sudut. Panggung acara pun dengan megah terletak ditengah taman.
Rasa-rasanya ia salah kostum, karena semua tamu memakai dress atau tuxedo berwarna putih. Hanya ia yang memakai dress berwarna merah. Namun ia tak begitu menghiraukan sebab dia juga tak akan lama disana.
Tak lama lampu yang tadi menyala dengan redup kini telah mati, menyisakan cahaya rembulan yang menyinari.
Tes tes
Suara mikrofon membuat fokus Khaira teralihkan ia memandang kearah panggung yang remang-remang.
Perlahan lampu mulai menyala kembali. Dan lampu dengan begitu terangnya menyorot kearah panggung. Dimana Riska berdiri dengan anggun disana.
Ia berdiri tidak sendiri ada Irza yang begitu setia menemani, membuat Khaira langsung membuang pandangannya kemana saja asal tidak kesana.
"Oke, hallo guys. Pertama gue mau ngucapin makasih sana kalian karna udah dateng....."
Tak ada yang Khaira dengar, mood nya hancur ketika ia melihat Irza dengan mesra merengkuh pinggan Riska. Bukan cemburu, lebih tepatnya masih sakit hati karena penghianatan yang dilakukan oleh cowok itu.
"Gue harap kalian menikmati acaranya ya."
Lagi, Suara Riska memenuhi indra pendengar nya. Khaira melangkah pergi meninggalkan kerumunan yang ramai dipenuhi oleh teman-teman sekolahnya.
Belum sempat ia melangkah jauh pundaknya sudah lebih dulu ditepuk oleh seseorang, membuat ia menoleh ke samping. Disana, Riska dengan senyum semriknya berdiri ditemani Irza yang membuang pandangannya dari Khaira.
"Gue kira lo nggak bakal datang, ternyata gue salah."
"Hm," malas rasanya ia berbasa-basi. Jadi memilih untuk pergi adalah pilihan yang bagus.
Saat hendak melangkah ia mendengar suara yang amat sangat familiar di telinganya. Seakan dunia berhenti berputar udara semakin menipis. Tubuhnya mendadak sulit digerakkan. Dengan susah payah ia mengatur pernapasannya yang tadi sempat terhenti. Dengan sangat lambat, ia membalikkan tubuhnya, disana Khaira melihat orang yang tidak pernah lagi memberinya kabar sejak bertahun-tahun lalu.
***
"Papa janjikan datang ke sekolah Rara?"
"Iya papa janji sayang, tapi mungkin papa datang agak telat."
"Gak papa yang penting datang, jangan lupa bawa mama ya pa."
"Iya cantik, sekarang ayo kita sarapan. Mama udah nunggu dibawah," mereka turun kebawah, dengan Khaira didalam gendongan Irfan papanya.
"Papa kok nggak ikut sarapan?" Dengan mata yang berbinar polos Khaira kecil bertanya ketika sang papa menaruhnya di kursi makan namun Irfan tidak ikut duduk disebelahnya.
"Papa buru-buru sayang. Kamu sarapan sama mama aja ya," Irfan mengecup kening sang putri lalu melangkah tanpa melihat kebelakang.
Khaira yang melihat papanya pergi, selalu percaya jika perginya Pria yang telah menghadirkannya di dunia adalah untuk bekerja. Namun satu yang ia tidak ketahui adalah kepergian pria itu, tidak menemukan kata kembali.
"Ma, papa Kemana sih, Rara kangen sama papa."
"Papa kamu tidak akan pernah pulang."
"Maksud mama apa?" Pertanyaan yang sampai kini tak pernah Khaira tau jawabannya.
Perlahan semua berubah, berubah denga satu-persatu orang yang Khaira sayang pergi meninggalkannya.
Hingga wanita yang ia sayang harus turut pergi untuk mencari kebahagiaan nya. Meninggalkan putri kecil mereka yang masih setia menunggu kepulangan mereka hingga bertahun-tahun.
Waktu yang memberitahunya, bahwa untuk mendewasakan dirinya tidak ada orang tua yang membimbing. Hanya sesekali sang bunda memberi kabar, sampai saat ini saat dimana ia sudah beranjak remaja.
Ia masih setia menunggu janji sang papa yang akan datang bersama mamanya. Menjemput ia sekolah, seakan janji itu benar-benar janji yang akan ditepati. Satu hal yang pasti janji yang dibuat sang papa adalah salam perpisahan bagi mereka.
**********
"Riska teman pa.."
Saat mata orang itu bertemu pandang dengan Khaira, mulutnya tak lagi bisa melanjutkan kalimat yang hendak ia ucapkan. Seolah semuanya menjadi patung menyisakan ia dan gadis yang dulu pernah ia tinggalkan kini telah tumbuh menjadi gadis yang luar biasa cantiknya.
"P...p..a...pa," tuhan lisan Khaira sulit untuk berucap.
Air matanya mengalir dengan tiba-tiba ketika wajah yang dulu sangat ia harap kehadirannya kini telah dimakan usia.
Sungguh rasa senang yang membuncah di hati tidak sanggup ia tahan seorang diri. Tapi, apa yang pria ini lakukan disini. Pikiran buruk langsung memenuhi isi kepala Khaira.
"Ra...ra."
Bahkan mengucapkan kata itu saja rasanya sulit. Putri yang dulu pernah ia tinggalkan kini telah hadir di hadapannya. Menjadi sosok yang sangat indah.
"Papa kok kesini? Mama mana?"
"Pa..pa? Mak..sudnya?"
Semua terdiam, Khaira dengan kesulitan serta kebingungannya. Sedangkan Riska dengan keengganannya. Mengapa mereka harus bertemu disini?
Cukup lama terdiam akhirnya Riska buka suara.
"Kenapa, lo kaget? Bokap kita memang sama. Dan papa lebih milih tinggal bareng gue dari pada lo dan nyokap lo," seakan ini lah waktu yang tepat. Riska membongkar semunya. Tangis Khaira makin pecah.
Orang yang selama ini ia tunggu kehadirannya ternyata mengkhianati dirinya. Tidak lebih tepatnya menghianati mereka.
Mereka yang hadir merasa tertarik untuk menonton. Bahkan banyak yang berbisik-bisik. Membuat Aura, mama dari Riska berjalan kearah kerumunan.
"Ja..Jadi pa..pa hiks.. pa..pa," tak sanggup Khaira meneruskan kalimatnya karena sesegukan yang dia tahan semakin kencang.
Irfan sangat ingin merengkuh putrinya yang kini sudah tumbuh menjadi gadis yang sungguh cantik. Namun ia harus mengurungkan niatnya, karena tak ingin putrinya yang lain semakin tersakiti.
"Hei, ada ap.. kamu?" Aura yang baru datang memasuki kerumunan, langsung terkejut saat mengetahui bahwa gadis bersurai hitam itulah yang menjadi fokus mereka. Namun ia dengan cepat menguasai dirinya. Tatapan benci dan menusuk ia berikan pada Khaira.
"Wah, ckckck. Saya kira kamu nggak akan datang. Ternyata nyali kamu besar juga ya," ucapnya meledek, membuat Khaira menatapnya dalam dan sendu.
"Kenapa? nggak usah nangis gitu lah percuma. Karena kamu nangis pun semuanya tidak akan kembali seperti semula."
Ucapnya datar dan menggebu. Mereka semua termasuk Irfan, Riska dan Irza hanya menonton dalam diam. Irfan yang ingin memotong ucapan istrinya seakan tak punya celah untuk berbicara. Sedangkan Khaira gadis itu masih menangis tanpa sedikitpun membantah atau memotong ucapan Aura.
"Papa yang kamu sayangi ini lebih memilih kami dari pada kamu dan mama mu. Jadi lebih baik menyingkir lah dari kehidupan kami. Tidak ada yang pernah mengharapkan kehadiranmu dan mama mu, wanita itu telah mengambil suamiku serta ayah dari putriku. Belajarlah Jadi murahan seperti mama kamu gadis kecil. Kamu dan wanita itu sama-s.."
"Cukup. Anda tidak ada hak untuk menjelek-jelek kan mama saya. Bahkan mama saya lebih baik dari pada anda, bukan mama saya yang mengambil papa saya dari anda. Tapi anda yang merebutnya. Yah memang buah tidak jatuh jauh dari pohonnya. Anda lihat sekarang, putri yang anda sayangi juga mengikuti jejak anda, menjadi wanita murahan dengan merebut milik saya. Cocok-cocok, wanita murahan dengan pria gampangan. Keluarga yang sampurna."
Aura sungguh geram, ingin rasanya dia meraup bibir Khaira dan mencakarnya, tapi tidak ingin terlihat bar-bar, Aura hanya memberikan senyum remeh. Seolah ia tidak terbakar dengan ucapan gadis kecil itu.
Entah dapat kekuatan dari mana, Khaira bahkan tidak terisak meski air matanya masih mengalir, saat mengucapkan kalimat barusan.
Kini perhatiannya teralih ke arah sang papa yang menatapnya sendu seakan merindu yang teramat.
"Dan papa, aku bahkan masih setia nunggu papa datang meski kenyataannya papa udah bahagia disini. Aku selalu percaya bahwa papa aku akan memenuhi janjinya meski itu udah 8 tahun yang lalu. Bahkan saat mama pergi ngejar bahagianya aku masih setia nungguin papa aku yang akan datang untuk ngembaliin senyum aku. Saat aku berharap ketika mama pergi, papa yang akan datang buat ambil rapor aku. Buat hilangin rasa nggak percaya diri aku. Aku udah bahagia tadi pas liat papa ada disini. Kecewa yang aku rasain hilang saat mata papa seakan ngenalin aku. Tapi, semuanya hancur saat ini. Saat apa yang dulu sempat aku tau tapi aku abaikan ternyata sebuah kenyataan. Saat ternyata yang orang-orang bilang itu bener, danyang aku cari tahu itu nyata, tapi aku tetap menutup mata seolah itu hanya cibiran mereka. Sakit, sakit sampai aku sulit buat napas. Sakit, sakit pas kalian satu-persatu pergu ninggalin aku. Sakit, sakit banget."
Runtuh, semuanya runtuh pertahanan yang ia anggap kuat ternyata sudah jebol. Sedangkan Irfan ia hanya dapat memejamkan matanya saat tangis sang putri kembali pecah. Sungguh ia telah menjadi orang yang sangat jahat.
"Dan.. hiks.. Kamu," tunjuknya kearah Irza membuat cowok tersebut menatapnya dengan sendu
"Dan kamu, kamu.. hiks.. terlalu bajingan buat aku sebut sebagai seorang cowok. Hiks.. kalau kamu datang cuma buat nyakiti aku.. hiks.. selamat! Kamu berhasil. Tapi, percayalah Irza, bahwa aku lagi nunggu karma dari tuhan buat kamu... hiks. Aku mau ngucapin terimakasih. Ya.. terimakasih atas rasa sakit yang kamu kasih. Kamu kira aku bodoh nggak tau apa-apa, aku cuma lagi mengamati dan memberi kesempatan kamu buat menyelesaikan semuanya, tapi, hingga saat ini kesempatan itu nggak kamu gunain."
Lalu Khaira berbalik hendak pergi. Namun, Suara Aura kembali menginterupsi.
"Jangan kamu pikir hanya kamu yang tersakiti, kamu tidak tau jika putri saya lebih tersiksa dari pada kamu! Kamu tidak tau betapa saya sangat sakit saat putri saya tumbuh tanpa seorang ayah. Kamu tidak tau bahwa saya sakit saat putri kecil saya di bully. Itu semua karena kamu dan mama kamu!"
"Jangan pernah menyalahkan saya atas apa yang terjadi dengan putri anda! Anda tau? Bahwa saya juga sama seperti dia. Sama menyakitkannya dengan putri anda. Bahkan ketika putri anda di bully, masih ada anda yang membela. Tak pernahkah anda bayangkan bagai mana saya?"
Diam, semua membisu seakan mulutnya telah dijahit. Menyakitkan kala melihat orang yang amat disayangi menangis pilu. Mengeluarkan segala keluh yang selama ini ia tahan seorang diri tanpa ada yang menopang.
"Ra, aku minta maaf, maafin aku karena aku harus melalui itu demi kamu Ra. Aku nggak mau kamu semakin ter.."
"Tersakiti? Bahkan yang kamu lakukan lebih menyakitkan Irza."
"Nak, maaf kan papa, papa telah menelantarkan kamu dan ma.."
"Tidak usah minta maaf jika hati tidak ikhlas, aku sudah merelakannya. Aku nggak butuh maaf."
Tak sanggup, menyerah gadis itu menyerah. Ia melangkah melewati kerumunan yang padat untuk menjauh dari sana, setidaknya menyelamatkan hatinya yang sudah jatuh menjadi kepingan kecil.
Saat ia melewati ruang tamu, tak sengaja matanya bersitatap dengan cowok itu, cowok yang telah menghadirkan luka dan rasa sayang disaat bersamaan. Cowok yang kemaren datang kembali untuk menyapanya.
"R... ra... k..a..mu nga..p..ain...disini?"
**********
Batam, 14 Februari 2020