Perjamuan Penguasa adalah acara yang diadakan setiap 4 tahun sekali oleh Raja Blaho, Pratele, untuk mempererat hubungan mutualisme antar kerajaan. Penguasa dari setiap kerajaan diundang untuk hadir.
Perjamuan ini juga dimanfaatkan oleh Raja Pratele sebagai perayaan ulang tahunnya. Tidak mengherankan jika masing-masing kerajaan yang diundang bakal kerepotan untuk mempersiapkan hadiah kepada Penguasa Blaho tersebut.
Kesibukan itu juga terjadi di Istana Krale. Para pegawai istana sibuk menjalankan perintah dari Menteri Moravia, selaku penanggung jawab hubungan diplomatis antar kerajaan, tidak ingin Raja Krale dipandang remeh oleh negeri lain karena hadiah yang diberikan sedikit dan terkesan biasa saja.
"Yang Mulia!" seru seorang lelaki berbadan gemuk kepada Raja Krale yang tengah berjalan di lorong istana. "Bagaimana dengan hadiah yang saya maksud itu? Apakah itu sudah cukup menunjukkan kebaikan dari kerajaan kita, Yang Mulia?"
Sang Raja berhenti dan tersenyum ke arah lelaki gemuk itu. "Aku rasa Raja Pratele akan sangat bahagia dengan hadiah yang engkau usulkan, Menteri Moravia."
"Saya senang mendengar sanjungan Anda, Yang Mulia. Dan mengenai keberangkatan kita nanti malam, saya harap Anda tidak berada di karavan barang, Yang Mulia," sentil Moravia.
"Haha ..." Andrew menggaruk kepalanya sekali. "Tidak akan lagi, Menteri Moravia. Lagian itu sudah lama sekali, 'kan? Sekarang aku sudah dewasa."
"Anda mengucapkan hal yang sama setiap waktu, Yang Mulia. Kali ini, mohon ingat status Anda sebagai orang nomor satu di Kerajaan Krale."
Sesaat Moravia hendak pamit, dia teringat sesuatu.
"Bagaimana dengan tugas Anda mencari Ratu untuk kerajaan ini?"
Lagi-lagi Andrew menggaruk kepalanya.
"Jodoh tidak akan lari, Kakek Moravia."
Lelaki paruh baya nan gemuk itu menghela napas saat mendengar jawaban santai dari Rajanya.
"Paling tidak manfaatkan momentum Perjamuan Penguasa sebagai ajang mencari pendamping hidup Anda, Yang Mulia. Setidaknya biarkanlah saya bisa melihat anak yang akan meneruskan kejayaan kerajaan ini sebelum saya mati."
Lelaki gemuk itu perlahan meneteskan air mata disebabkan oleh ucapannya sendiri.
Andrew turut bersedih atas status perjakanya tersebut. Ia tidak menyangka kalau masalah untuk mencari pendamping hidupnya bisa membuat Moravia yang sudah dia anggap sebagai kakek sendiri, menangis.
Andrew mendekat dan memeluk erat lelaki itu. Mengelus punggungnya dan membisikkan kata maaf ke telinga Moravia.
Selang beberapa menit, Moravia berhenti bersedih dan pergi melanjutkan pekerjaannya setelah pamit kepada Andrew.
Andrew melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Setiap kali ia melewati pegawai istana, mereka akan menyapanya. Sebagai Raja yang dikenal ramah, Andrew selalu membalas sapaan mereka dengan senyuman yang mempesona. Tidak heran jika pegawai wanita membuat kelompok pengagum Andrew secara diam-diam di istana.
Harusnya hari ini Andrew mengadakan open house kepada rakyat dan bangsawan Kerajaan Krale. Hanya saja, isu tentang gejolak simpatisan Kerajaan Jeden membuat agenda yang diadakan setiap pertengahan bulan itu terpaksa dibatalkan. Guna mencegah masuknya mata-mata yang bisa membahayakan nyawa Andrew.
Andrew tidak terlalu memikirkan hal itu. Karena bagaimana pun mereka juga tetap bagian dari Kerajaan Krale yang tidak bisa terpisahkan. Hanya saja ketiga menteri tidak berpikir demikian.
Setibanya di ruang kerja, Andrew melihat Dedic sedang merapikan tumpukan kertas yang sudah menggunung lagi di atas mejanya. Mendengar suara pintu yang terbuka, Dedic langsung mengalihkan tubuhnya dan memberikan penghormatan kepada Rajanya.
"Selamat pagi, Yang Mulia. Ini daftar wanita yang belum menikah dan berdomisili di Kerajaan Krale," ucap Dedic.
Andrew duduk di kursinya dan mulai memperhatikan tumpukan berkas itu dengan seksama.
"Haruskah aku memeriksanya satu per satu, Dedic?" desah Andrew.
"Jika tidak, Menteri Moravia akan bersedih, Yang Mulia."
"Dasar Kakek Moravia." keluh Andrew. "Sudah mempersiapkan langkah seribu dalam perkara ini. Bagaimana dengan wanita dengan kriteria yang aku tulis beberapa hari yang lalu? Adakah yang sesuai?" tanya Andrew serius.
"Saya tidak menemukan satu pun yang memenuhi kriteria yang Anda berikan."
"Berarti memang benar kalau dia bukan wanita Krale." Andrew memijit keningnya sebentar. "Apa hanya ini berkas yang harus kuperiksa?"
"Ya. Menteri Moravia dan Liberec sudah bersedia mengambil alih sebagian pekerjaan agar Anda bisa beristirahat untuk keberangkatan nanti malam ke Blaho, Yang Mulia."
"Menteri Liberec? Tidak bisa dipercaya."
"Saya juga terkejut mendengarnya. Walau Menteri Liberec adalah faksi oposisi, sepertinya kesetiaan dan harapan beliau terhadap Anda begitu besar," lanjut Dedic.
"Kalau begitu aku akan beristirahat sepuasnya. Jadwal latihan nanti sore dibatalkan saja, Dedic."
"Baiklah, Yang Mulia."
Andrew pun mengambil beberapa berkas dan lekas pergi menuju kamarnya.
Di dalam kamar, Andrew merenungi ingatan itu kembali. Tentang kehidupan yang pernah ia lalui dahulu. Ingatan itu bak terjadi kemarin sore, begitu segar terngiang di dalam kepala. Tentang wanita yang dulu pernah ia cintai. Baik nama, perawakan, dan senyumnya masih benar-benar melekat di dalam batinnya.
Semakin ia berusaha mengingat sosok wanita itu, semakin ia rasakan sesak yang menggerayangi jiwanya. Sosok itu terasa begitu dekat dan nyata, namun sangat tidak mungkin baginya untuk bisa bertemu kembali.
Dia telah mati. Sebuah kenyataan yang terjadi di dalam ingatan tersebut. Ia sempat berpikir apakah mungkin jika wanita itu juga terlahir kembali ke dunia ini? Andrew membuang pikiran itu jauh-jauh. Hanyut dalam dilema, Andrew pun terlelap.
Malam pun tiba.
Andrew keluar dari kamarnya dengan mengenakan jubah kebesarannya. Dengan dua pengawal yang berada di sisinya, ia melanjutkan langkah menuju aula istana.
Di aula istana sudah berkumpul para bangsawan yang akan mengiringi keberangkatan Sang Raja. Mereka memberikan sorak sorai dan sanjungan saat melihat Andrew hendak menuju ke aula istana. Andrew tersenyum dan melambaikan tangannya kepada mereka.
Setelah Andrew turun ke aula, para bangsawan satu per satu mendatanginya dan mendoakan agar selamat sampai tujuan.
Setelah berbincang sebentar dengan para bangsawan, Dedic datang membawa kabar keberangkatan mereka.
Andrew melambaikan tangannya lagi kepada semua yang ada di ruangan itu dan pergi menuju karavan istana yang telah dipersiapkan.
Sang kusir membukakan pintu dan mempersilakan Andrew masuk ke dalam bersama Dedic.
Para bangsawan juga ikut mengantar keberangkatannya. Sangat ramai sekali, bahkan para pegawai terlihat melambai-lambai dari tempat mereka berdiri. Itu membuat Andrew merasa senang.
Kuda yang menarik karavan pun mulai bergerak meninggalkan istana dan membawa mereka pergi.
Perjalanan menuju Kerajaan Blaho membutuhkan waktu tiga hari. Perjalanan itu menggunakan jalan utama yang melewati perbatasan antara Krale dan Kralovna. Rute ini adalah rute tercepat dan teraman yang bisa ditempuh oleh mereka.
Rombongan dari Krale sangat ramai. Mengingat orang nomor satu di kerajaan itu pergi ke tempat yang jauh, tentu pengawalannya juga harus benar-benar ketat. Walau menurut Andrew sendiri hal itu sangat berlebihan.
Di dalam perjalanan, Andrew sering termenung. Siang atau pun malam, hatinya semakin menggeliat resah. Seolah khawatir hal buruk akan menimpanya.
Keadaan Andrew yang seperti itu, membuat Dedic khawatir. Walau begitu, Dedic tidak akan melampaui batas dan mencampurinya. Cukup dengan bertugas sebagai asisten yang bisa diandalkan adalah satu-satunya cara meringankan beban pikiran majikannya.
***
Tanggal 17 bulan pertama di tahun 90 Kalender Spaseni, rombongan Krale tiba di Kerajaan Blaho.
Kedatangan mereka disambut meriah oleh Kerajaan Blaho. Bahkan Raja Pratele datang menyambut kedatangannya.
"Selamat datang, Raja Andrew," ucap Pratele saat melihat Andrew turun dari karavan.
"Terima kasih atas sambutan yang begitu hangat, Raja Pratele."
Kedua Raja bersalaman dan bertegur sapa. Dilanjutkan dengan berbincang-bincang sambil berjalan menuju Istana Blaho.
Istana Blaho memiliki kemewahan yang tidak kalah dari Istana Krale. Namun dari ukurannya, Blaho memang memiliki istana terbesar di antara kerajaan yang lain. Hal itu memang tidak pernah bosan membuat Raja Andrew terkagum saat melihatnya secara langsung.
Setelah puas berbincang, Raja Pratele mempersilakan Raja Andrew untuk beristirahat di sebuah vila yang telah disediakan khusus untuknya. Kemudian Raja Pratele pamit untuk melanjutkan urusannya.
Mengingat Perjamuan Penguasa akan diadakan esok hari, Dedic menyarankan agar Andrew lekas beristirahat di vila tersebut. Namun, Raja Andrew malah memutuskan untuk jalan-jalan saat Dedic sedang lengah.
Ya. Andrew berhasil menyelinap keluar tanpa pengawalan dari Dedic. Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena tempat ini diberi pengawalan yang ketat dari luar.
Andrew berjalan tanpa tujuan. Ia hanya mengitari wilayah itu guna mencari suasana baru di hatinya.
Hari sudah semakin gelap namun Andrew masih belum kembali. Dedic memutuskan untuk mencarinya. Di tempat yang seluas ini, Dedic bingung harus memulai dari mana.
Dedic pun mulai berkeliling. Tak berapa lama, ia melihat Andrew sedang menikmati makanan di bangku dekat dengan kolam air pancur.
"Apa yang sedang Anda lakukan di sini, Yang Mulia?"
Andrew mendengar suara yang ia kenal. Wajahnya menoleh dan dia dapati Dedic yang tampak marah.
"Mau ubi bakar ini?" tawar Andrew sambil melemparkan senyuman tak bersalah.
Dedic tak habis pikir dengan sifat santai dari majikannya itu. Tapi tawaran itu tidak mungkin ia tolak. Mereka pun duduk dan makan bersama.
"Kenapa Anda menyelinap ke luar tanpa memberikan kabar kepada saya, Yang Mulia?"
"Soalnya kamu terlihat sibuk. Jadi aku pergi saja. Tempat ini juga aman."
"Yang Mulia ... tidak ada tempat yang benar-benar aman kecuali Istana Krale. Jika ingin jalan-jalan setidaknya biarkan saya mengawal Anda dari kejauhan," ujar Dedic, "lalu kapan Anda akan kembali beristirahat?"
"Nanti kalau hari sudah semakin gelap. Aku masih ingin berkeliling."
"Baiklah. Kalau begitu saya akan mengawal Anda lagi."
"Tidak perlu. Aku hanya akan pergi ke taman labirin bunga. Tidak perlu khawatir."
"Labirin bunga?" tanya Dedic sedikit heran.
"Iya. Labirin bunga adalah satu-satunya labirin yang akan mempertemukan seorang lelaki dengan kekasih abadinya."
"Bukankah itu hanya rumor?"
"Rumor atau tidak, aku tidak mau masuk bersama lelaki ke tempat itu." Andrew menatap tajam ke Dedic.
"Jangan berlebihan, Yang Mulia. Saya tidak akan masuk ke tempat seperti itu. Saya hanya berdiri di luar labirin dan menunggu Anda keluar. Itu saja." ucapnya sambil mengunyah ubi.
"Cih! Kamu tidak bisa diajak bercanda."
Setelah habis menyantap ubi bakarnya, Andrew disertai pengawalnya, Dedic, pergi menuju taman labirin yang terletak agak jauh dari tempat mereka sebelumnya.
Terletak di dataran yang lebih rendah dari tempat mereka berpijak, labirin bunga itu terlihat seperti sebuah lukisan jika dilihat dari atas.
"Saya harap Anda tidak tersesat di sana, Yang Mulia."
"Jadi itu alasanmu tidak mau ikut?"
"B-bukan begitu, Yang Mulia," ujar Dedic sambil berusaha menjaga rahasianya.
Sementara Andrew berusaha sekuat mungkin agar tidak tertawa.
Mereka berdua pun berjalan menuju labirin bunga. Setibanya di depan salah satu pintu masuk, barulah terlihat kalau dinding labirin memiliki tinggi lebih dari dua meter. Bunga-bunga yang menghiasi dinding-dinding labirin membuatnya terlihat begitu indah dan mistik.
Andrew masuk sambil membawa lentera yang tersedia dan meninggalkan Dedic di luar.
Setiap langkah Andrew pasti disertai kekagumannya terhadap perancang taman labirin ini. Tenggelam dalam kekagumannya, Andrew pun sampai lupa di mana dia berada sekarang.
Andrew mencoba mengambil rute yang sebelumnya dia lewati. Semakin ia mencari jalan pulang, semakin banyak pula cabang jalan yang harus dipilih.
Andrew bisa saja berteriak untuk memanggil Dedic, tapi itu tidak mungkin ia lakukan. Beberapa waktu yang lalu Andrew sempat menertawakan Dedic karena takut tersesat. Andrew masih punya harga diri yang harus dia genggam erat sebagai lelaki.
Langit sudah semakin gelap. Namun Andrew belum berhasil menemukan jalan kembali. Api di dalam lentera mulai redup dan sinar rembulan juga masih terhalang oleh awan di langit. Jika terus berlanjut, Andrew bisa tersesat dalam gelapnya malam.
Setelah lama berjalan, ia tiba di sebuah kolam air pancur. Dari ujung matanya, ia melihat sebuah cahaya redup yang bergerak mendekat.
"Siapa di sana?" Suara wanita terdengar.
"Andrew. Apa Anda juga tersesat di dalam labirin, Nona?" ucap Andrew sambil mendekat ke arah wanita tersebut.
Lentera yang ia bawa tidak mampu menyingkap wajah pemilik suara wanita itu. Terlalu redup bahkan untuk melihat pakaiannya.
"Tampaknya begitu. Apakah Tuan Andrew juga tersesat?"
"Sepertinya kita berada di situasi yang sama. Emm ... Nona ...?"
"Alia," sahut wanita itu pelan.
"Alia. Nama yang bagus."
Andrew mencoba membuka topik pembicaraan namun tidak berhasil dieksekusi dengan baik. Buktinya wanita itu malah sesekali tertawa ketimbang kagum atau terpesona. Tanpa disadari, mereka pun terhanyut dalam perbincangan yang panjang.
Sebuah tabir dari rahasia langit itu pun akan disingkap oleh rembulan yang mulai bersinar terang.
Cahayanya perlahan menampakkan dengan jelas wujud kedua insan yang sedang ngobrol pada malam itu.
Mata mereka terbelalak dan mulut ikut membisu saat menyaksikan kenyataan yang ada di depannya.
Keheningan pun kian lengkap disertai air mata yang mengalir—begitu saja—di pipi keduanya.
"Annie?" Raut Andrew memucat.
"... Ariel?" Suara Alia terdengar sesak.
Nama yang terucap dari bibir keduanya membuat semua keresahan di dalam benak mereka menjadi jelas.
Ini tidak hanya mimpi belaka.
"Tidak mung—Ini!" Sebuah gejolak yang menyeruak keluar dari sanubari sang wanita seketika merenggut kesadarannya. Dengan deraian air mata yang membasahi wajahnya, Alia pun jatuh pingsan di dalam pelukan Andrew di malam itu.
"Akhirnya aku menemukanmu."