Seolah kita memang ditakdirkan untuk bertemu satu sama lain. Malam itu, kenangan yang ada di dalam kepala merasuk hingga mengambil alih tubuhku, membawaku pergi ke sebuah tempat yang asing untuk kusinggahi.
Di sanalah ... kudapati seorang lelaki yang membuatku tidak seperti biasanya. Sifat tegasku luluh seketika saat mendengar suaranya. Harga diri yang biasanya menghalangiku untuk menghargai seorang lelaki, runtuh. Dia ... sangat berbahaya.
***
Semilir angin melintasi jendela membawa kesegaran pagi itu. Kicauan burung dan kilauan mentari berusaha membangunkan sang wanita tercantik di alam semesta secara bergantian. Namun pesona wajahnya itu membuat mentari dan burung-burung merasa malu dan akhirnya bersembunyi.
Perlahan matanya mulai terbuka. Warna biru safir membuat matanya bak permata yang berkilauan.
"Anda sudah siuman, Ratu Alia?" Suara lembut itu terdengar begitu dekat.
Saat ia menolehkan wajahnya, tampak sesosok wanita berambut kehitaman sedang duduk di sampingnya sambil tersenyum.
"Desti ..." ucap Alia sambil berusaha untuk bangkit.
Wanita yang bernama Desti itu langsung sigap membantu majikannya untuk duduk di ranjangnya.
"Bagaimana keadaan Anda, Ratu Alia? Sudah baikan?"
"Ya ... aku baik-baik saja, Desti. Apa yang terjadi?"
Desti menyeduh secangkir teh sebelum menjawab pertanyaan Ratu Alia. Dan menyuguhkannya kepada sang majikan.
"Minumlah dahulu, Ratu Alia."
Alia pun perlahan meminum teh itu dan kembali bertanya.
"Apa yang terjadi tadi malam?"
"Karena mendengar ada sebuah teriakan di malam itu, saya langsung menuju ke dalam labirin. Saya menemukan Anda tidak sadarkan diri bersama seorang lelaki yang menopang tubuh Anda."
Wajah Ratu Alia memucat. Pertemuan tadi malam bukanlah sekedar mimpi belaka. Itu sesuatu yang benar terjadi.
Ratu Alia meletakkan jemarinya di dadanya. Jemarinya perlahan meremasnya seolah ingin menarik sesuatu keluar dari dalam tubuhnya. Sebuah rasa yang berdenyut keras di dalam sanubarinya.
Seiring dengan itu, air matanya mengalir. Isakan itu membuat Desti gemetar ketakutan.
"Ratu Alia, Anda baik-baik saja?" Desti meraih punggung Alia dan mengelusnya perlahan.
"Aku baik-baik saja, Desti," jawab Alia.
Ucapan Alia tidak terdengar baik-baik saja. Desti hanya bisa diam menemani Alia sampai dia benar-benar tenang.
Sementara itu, Perjamuan Penguasa berlangsung tanpa kehadiran Ratu Alia di dalamnya. Ratu Alia digantikan oleh Zena, wanita yang memegang posisi sebagai tangan kanan Ratu Alia.
"Bagaimana keadaan Ratu Alia Krasna, Menteri Zena?" tanya Raja Krale.
"Anda tidak perlu khawatir. Ratu Kralovna bukan wanita yang lemah," tukasnya.
"Aku dengar dia terkena demam, bukankah begitu, Adikku Pachnouni?" ucap lelaki yang memiliki kumis bergulung-gulung.
"Bukan begitu, Kakanda Skaredy. Mungkin dia tidak ingin melihat Kakanda di sini," jawab Pachnouni dengan gelak tawa.
"Oh? Kalian ingin menjelekkan Ratu kami dan memulai perang?" Zena menatap dingin dua bersaudara itu.
"Tatapanmu tidak semolek tubuhmu, Menteri Zena." Skaredy menatap mesum pada belahan dada wanita itu.
"Jaga ucapan dan mata Anda, Skaredy!" sergah Zena seraya menepuk meja.
Skaredy terdiam seketika saat Zena menatapnya serius. Ada aroma darah yang bisa tercium dari sorot matanya itu.
"Sepertinya saudaramu membutuhkan pelajaran etika tambahan, Pachnouni," sela Andrew.
"Perampas sepertimu tidak pantas bicara etika, Andrew Udanost!" culas Skaredy.
"Perampas yang menuduh orang lain sebagai perampas. Ironis sekali," tandas Andrew.
"Sudah-sudah," sela Raja Pratele, "Menambah musuh bukanlah tujuan dari perjamuan ini. Bukankah begitu, Menteri Zena? Raja Nevanist Barat juga harusnya mengerti agar tidak menambah rumit situasi kali ini. Bukankah begitu, Tuan Skaredy?"
"Saya minta maaf, Raja Pratele," ucap Zena dan Skaredy bergantian.
Suasana pun menjadi kondusif kembali. Diskusi pun kmbali berlanjut membahas hubungan mutualisme antar negara mereka. Tentu perselisihan yang terjadi juga diangkat dalam perjamuan ini.
Perang antara Krale dan Nevanist Barat juga dibicarakan. Namun Raja Nevanist Barat, Skaredy, bersikukuh kalau wilayah gunung Alven dan Kota Svoboda adalah wilayah mereka. Sementara Andrew, Raja Krale, menegaskan kalau gunung Alven sudah menjadi wilayah mereka sejak pemerintahan Raja sebelumnya. Dan Kota Svoboda merupakan kota yang melepaskan diri dari Nevanist Barat.
Begitu juga perselisihan di wilayah Tambang Branda. Menteri Zena meminta dengan tegas kepada Raja Krale agar tidak membuang limbah melalui sungai Laos atau menghentikan aktifitas tambang selamanya. Sementara Andrew juga menegaskan bahwasanya pihak kerajaan Krale sedang menanggulangi masalah itu dengan serius.
Walau begitu, untuk masalah perdagangan tetap berjalan sesuai kaidah yang berlaku.
Pratele sebagai negara pusat perdagangan tetap menerima barang yang keluar masuk dari negerinya asal tetap menghormati aturan yang berlaku.
Begitu pula hubungan dagang Nevanist Timur dan Kralovna yang masih berjalan harmonis. Ekspor dan impor hasil pertanian dan hutannya membuat keuntungan yang bagus di masing-masing pihak.
Kralovna juga masih menjalin hubungan dagang dengan Krale walau permasalahan Tambang Branda membuat hubungan mereka benar-benar rapuh.
Sementara Krale dan Nevanist Barat sudah memutuskan hubungan dagang dan diplomasi sejak lima tahun yang lalu. Penyebabnya adalah perang yang terjadi sampai sekarang.
Diskusi mereka berlangsung hingga senja menyapa. Pertemuan itu membuahkan hasil yang baik bagi setiap kerajaan. Walau ada sebagian permasalahan yang tidak dapat diselesaikan. Dengan begitu, berakhirlah Perjamuan Penguasa tahun ini.
Keesokan harinya adalah perayaan ulang tahun Raja Pratele. Di momen itulah setiap kerajaan akan menyombongkan diri dengan hadiah yang mereka bawa untuk Raja Pratele. Paling tidak sebagai salah satu cara menjaga hubungan mutualisme mereka dengan Blaho untuk jangka waktu yang panjang.
Saat melihat Andrew keluar dari ruangan itu, Dedic langsung menghampirinya.
"Bagaimana hasilnya, Yang Mulia?"
"Hasilnya seperti yang kuperkirakan. Lalu bagaimana dengan surat yang aku maksudkan, Dedic?"
"Saya sudah mengirimkannya, Yang Mulia. Sangat sulit sekali untuk mengirim surat kepada Penguasa Kralovna."
"Lalu bagaimana kau bisa mengirimnya?"
"Saya punya kenalan di dalam Kralovna. Lebih tepatnya dia adalah asisten pribadi dari Ratu Alia Krasna," jelas Dedic.
"Eh? Bagaimana mungkin?" Andrew terkejut.
"Itu sebuah kebetulan, Yang Mulia. Saya bertemu dengannya tadi malam."
"Dedic ... tidak ada yang namanya sebuah kebetulan," celetuk Andrew, "Sepertinya aku akan beristirahat malam ini. Sebaiknya kau juga beristirahat, Dedic. Karena besok adalah pesta besar, kamu juga harus bisa menikmatinya. Paling tidak, ajak kencan wanita yang kamu kenal itu."
"Maaf, Yang Mulia! Bagaimana Anda tahu kalau dia seorang wanita?" Dedic gelagapan.
"Intuisi seorang lelaki," jawabnya singkat.
Andrew pun berjalan kembali menuju vila bersama Dedic yang mengawalnya.
Di sepanjang langkahnya, Dedic terus mempertimbangkan sesuatu di dalam kepalanya. Andrew yang menyadari hal itu pura-pura tidak tahu. Hingga mereka tiba di depan vila, Dedic masih menggumam sesuatu.
"Dedic." Andrew menatapnya. "Bicaralah dengan jelas agar aku tahu apa yang sedang kau pikirkan."
"S-sepertinya saya akan menerima tawaran Anda, Yang Mulia."
Andrew langsung merangkul Dedic dan tersenyum lebar.
"Begitu dong kalau jadi lelaki! Bawa pulang dia bersamamu, oke?" goda Andrew.
"K-kalau itu tidak mungkin, Yang Mulia!"
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu saat membicarakan wanita, Dedic. Andrew! Ingat itu baik-baik!" Rangkulan itu berubah menjadi pitingan pegulat dalam sekejap.
"M-maaf, Andrew." Bisik Dedic sambil menahan rasa sakit.
"Nah, gitu dong!" Andrew melepaskan pitingannya. "Sekarang ganti pakaianmu dan temui wanita yang beruntung itu."
Andrew menepuk bahu Dedic dan masuk ke dalam vila. Sementara ada senyuman tipis yang sejenak menghiasi wajah Dedic. Namun sesaat setelahnya, senyuman itu memudar menjadi raut sedih yang tidak bisa ia tunjukkan kepada Andrew.
Di saat yang sama, Ratu Alia membaca surat yang dikirim oleh Raja Andrew.
17 Januari 20xx. Di tempat pertama kita bertemu.
Isinya tertuliskan sebuah tanggal yang tidak memiliki makna bagi orang lain. Namun bagi Ratu Alia, itu adalah sesuatu yang mampu menggetarkan jiwanya. Ingin rasanya ia menjerit dalam kebisuannya. Air mata yang mengalir itu sudah cukup menjadi bukti tekanan batin yang Alia rasakan.
Tak lama kemudian, Ratu Alia pun menyuruh Desti membakar surat itu. Desti sempat merasa bingung dengan perintah itu. Namun ia tidak bisa bertanya alasannya. Melihat raut kesedihan itu sudah cukup menjadi alasan untuknya patuh dan taat.
Senja pun menghilang. Rembulan lalu datang untuk menghiasi langit bersama gemintang yang gemerlapan.
Di bawah langit itu, Istana Blaho juga tak kalah gemerlapnya. Api-api yang dihidupkan di dalam wadah-wadah kristal menjadi cahaya yang mampu menerangkan sampai ke sudut istana.
Makanan yang lezat dan nikmat terhidang di setiap meja. Minuman dan anggur juga tak kalah banyaknya. Tak lupa juga pensyair dan pemusik terkenal juga turut memeriah perayaan ulang tahun Raja Pratele. Tentu saja penari wanita juga dihadirkan untuk menambah kemeriahan acara itu.
Momen yang seperti ini memang sering digunakan oleh orang-orang yang hadir untuk mencari pasangan hidupnya. Para lelaki akan mengumbar pesona dan wanita yang juga menawarkan kecantikan dan keseksiannya. Menari bersama hingga berkencan dan akhirnya meminangnya. Seperti itulah sisi lain dari perayaan ulang tahun Raja Pratele.
Setelah mengucapkan selamat kepada Raja Pratele secara langsung, Andrew pergi dari keramaian itu. Bukannya ia tidak suka acara seperti itu, hanya saja ia telah mengantarkan janji melalui sebuah surat kepada seseorang.
Andrew berjalan sendirian menuju taman labirin bunga. Dengan menggunakan lentera, ia berhasil menemukan air pancur yang terletak di dalam labirin. Andrew duduk di bangku yang telah ada di sana. Menaruh lentera itu di sampingnya dan menunggu sampai seseorang itu tiba di sana.
Andrew terus menunggu. Lentera yang ia bawa juga sudah mulai redup. Ia memainkan jemarinya sesekali. Dan akhirnya memutuskan untuk menatap langit malam itu.
Namun sampai lentera itu padam, tidak ada siapapun datang menemui Andrew. Dia menghela napas panjang mencoba untuk menegarkan dirinya.
Dia pasti akan datang. Bisik hatinya.
Waktu pun terus bergulir. Masih belum ada tanda-tanda kedatangannya. Andrew mendesah panjang. Lalu ia berdiri dan bersiap untuk pulang.
"Andrew?"
Suara wanita terdengar olehnya. Sontak tubuhnya berputar ke arah sumber suara.
Dengan membawa lentera yang hampir redup, wanita yang ditunggu akhirnya tiba.
"Alia ... bukan. Annie."
Andrew tersenyum disertai air mata yang mulai mengalir pelan. Andrew berjalan ke arah wanita itu dan hendak memeluknya. Namun tangan sang wanita menahan tubuh lelaki itu untuk mendekatinya.
"Maaf, Andrew. Tapi aku bukanlah Annie."
***
Di luar taman labirin itu, Desti berdiri menanti seseorang. Dengan mengenakan pakaian yang berbeda dari biasanya, Desti terlihat lebih feminim. Namun itu membuatnya sedikit gelisah. Ia merasa ada yang janggal dengan pakaiannya itu.
"Desti."
Suara seorang lelaki terdengar olehnya. Matanya langsung menyorot ke arah sumber suara dan tangannya bersiap memegang pisau yang ia sembunyikan di balik gaunnya.
"Tenang. Ini aku Dedic."
"Ternyata kamu ..." Desti menghela napasnya sejenak. "Kamu tidak menemani majikanmu?"
"Aku sudah mendapatkan izin darinya."
"Lalu apa yang membuatmu kemari?" Desti menginterogasinya.
"Kita akan pergi ke pesta."
"Malam ini aku sedang mengawal majikanku. Silakan pergi duluan."
Dedic meraih tangan Desti dengan lembut dan menciumnya.
"Kamu tidak perlu khawatir. Majikanmu saat ini bersama Andrew Udanost. Keamanan Ratumu sudah bisa terjamin."
"Dari mana datangnya kepercayaan diri berlebihan itu?"
"Karena aku yang melatihnya sendiri. Bukankah kemampuanku juga telah diakui oleh sesepuh, 'kan?"
Desti menatap Dedic serius. Namun ia sempat melihat ke arah labirin itu.
"Jika terjadi sesuatu kepada Alia Krasna, kepalamu akan kupenggal."
"Tentu saja."
Dedic pun menyambut tangan wanita itu dengan lembut dan membawanya ke tempat pesta.
Sesampainya di depan tempat pesta yang dimaksud, Dedic dan Desti dihalangi oleh orang-orang yang membawa pedang di pinggangnya.
"Di antara semua bintang di langit, bintang manakah yang peduli terhadap manusia?" ujar salah satu lelaki berbadan tegap.
"Bintang kembar di utara akan muncul. Sinarnya akan menyelimuti ufuk timur dan barat. Membawa perubahan dan kesejahteraan bagi manusia," jawab Desti dan Dedic secara bersamaan.
Para lelaki itu saling melihat satu sama lain. Lalu membawa Dedic dan Desti ke dalam.
Di dalam sana, terlihat banyak sekali orang dengan pakaian yang berbeda-beda. Tampak kalau kasta tidak berlaku di sini.
"Wahai kalian! Bintang kembar sudah datang!" Seruan itu menggema.
Orang-orang langsung memantapkan posisinya dan berdiri tegak.
Tampak dua orang yang terlihat seperti sepasang kekasih dari balik pintu masuk. Saat mereka berdua melangkah ke dalam, orang-orang memperhatikan dengan seksama seolah tak ingin melewatkan momen berharga ini.
Mereka berhenti di atas panggung. Kemudian Dedic naik ke atas podium dan menarik pedang yang ada di pinggangnya ke atas.
"Wahai pejuang Jeden! Angkat pedangmu tinggi!" seru Dedic.
Orang-orang yang ada di dalam ruangan langsung mengangkat pedangnya tinggi ke atas.
Dedic pun bersumpah, "Pada malam yang penuh khidmat, Aku, Dedic Milovat, dan saudariku, Desti Milovat, sebagai keturunan terakhir dari Jeden, bersumpah akan merebut kembali kejayaan kita!"
"Hidup Raja Jeden yang baru!"
"Hidup Dedic Milovat!"
"Jayalah Jeden kami! Jayalah Raja kami!"
Sorak-sorai itu terus menggelora di udara. Membakar semangat dan menguatkan kesetiaan para pejuang Jeden. Seruan dan teriakan itu mengandung doa dan harapan akan bangkitnya Kerajaan Jeden kembali. Air mata dan suara yang mereka keluarkan adalah beban yang harus diemban oleh mereka berdua.
Malam itu, Dedic dan Desti telah memasang selendang takdir yang mengikat leher mereka.