Apakah kalian percaya kalau setiap orang yang hidup saat ini juga pernah hidup di masa lalu? Kemudian setiap kenangan dari kehidupan lampau itu kembali merasuk dan menimbulkan kerinduan disertai kekosongan di dalam jiwa?
Andrew Udanost, Raja dari Kerajaan Krale, mendapatkan sebuah mimpi yang terlalu nyata untuk disebut sebagai bunga tidur. Mimpi itu terus menerus menghantuinya setiap malam. Membuatnya gusar sampai mempertanyakan siapa dirinya. Apakah dia wujud dari kehidupan masa lalu? Ataukah dia manusia yang berbeda?
Mimpi tersebut mulai ia dapatkan sejak penobatannya sebagai Raja Krale. Hampir tiga tahun berlalu, mimpinya tidak jua sirna dari dalam kepala.
Lagi. Andrew terbangun dari mimpi itu. Tubuhnya basah dipenuhi oleh keringat. Ia mencoba bangkit dan duduk di ranjang empuknya. Sesekali ia memijit keningnya, kemudian menghela napas panjang.
"Siapa Annie?" ujar Andrew.
Ia menutup mata dan mencoba menyelami isi kepalanya.
Annie, wanita yang muncul di dalam kepalanya, adalah sesosok wanita yang sangat ceria dan manis. Warna matanya yang biru dan rambutnya yang pirang keemasan, membuat kecantikannya tiada tara.
Annie di dalam mimpi Andrew adalah sosok yang selalu mendampingi hidupnya. Sosok yang sangat penting dan berharga. Hingga tanpa sadar, Andrew menitiskan air mata.
"Yang Mulia?" Suara dari balik pintu terdengar. "Anda baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, Dedic. Tidak perlu khawatir," jawab Andrew.
"Apakah Anda perlu sesuatu, Yang Mulia? Biar saya persiapkan segala keperluan yang Anda butuhkan."
Andrew bangkit berdiri dan melihat ke arah jendela. Hari masih gelap. Ia melirik jam dinding sebentar.
"Kamu belum istirahat, Dedic?"
"Saya sudah cukup istirahat, Yang Mulia."
"Kamu ini ...," Andrew mendesah napas panjang. "Besok seluruh aktifitas di dalam istana diliburkan. Setidaknya gunakan waktu itu untuk beristirahat sepuasnya, Dedic."
"Terima kasih atas perhatian Anda, Yang Mulia. Jika saya tidak mendengarkan suara Anda satu hari saja, itu bisa membuat saya khawatir. Maafkan atas keegoisan saya, Yang Mulia."
Andrew tersenyum mendengarnya. Lalu ia beranjak pergi membuka pintu kamarnya. Persis di depan pintu terlihat seorang pemuda yang tengah berlutut ke arahnya.
"Dedic ... mau sampai kapan kamu terus berlutut di sini? Dasar asisten keras kepala!" Andrew menyambut tangan pemuda itu dan membuatnya berdiri. "Bukankah aku telah mengatakan agar langsung memanggil namaku? 'Yang Mulia' itu terlalu formal."
"Baiklah, Tuanku Andrew."
"Itu sama saja! Dasar keras kepala!" Andrew langsung memiting kepala sang asisten. Dedic langsung meminta maaf dalam usahanya menahan rasa sakit yang ia rasakan.
"Kalau begitu sebut namaku tanpa gelar penghormatan!" tukas Andrew.
"Baiklah ... Andrew ...," ujar Dedic terbata-bata.
"Begitu dong!" celetuk Andrew setelah melepaskan Dedic dari pitingannya. "Kamu adalah sahabatku. Walau status kita berbeda, bukan berarti kamu harus bertindak sama seperti yang lain, Dedic."
"Anda ini ...," Dedic menghela napas panjang. "Jika sampai orang-orang di istana mendengar seseorang sepertiku menyebut nama Anda tanpa gelar penghormatan, kepala saya bisa dipenggal, Andrew."
"Bukankah kepalamu bisa tumbuh lagi nanti?" celetuk Andrew.
"Anda tega sekali, Andrew," ucap Dedic gemetaran.
Melihat reaksi Dedic, tawa Andrew terlepas. Wajahnya terlihat bahagia.
Beberapa orang di istana sudah mengetahui betul hubungan Raja Krale dengan asisten pribadinya. Tentu ada yang menerima dan ada juga yang menentang. Oleh sebabnya, Dedic tidak ingin menjadi beban pikiran Andrew karena permasalahan yang bisa disebabkan oleh hal itu. Maka Dedic memutuskan untuk tetap memanggil sahabatnya dengan gelar penghormatan. Terkecuali Andrew memaksanya seperti tadi.
"Anda mengalami mimpi itu lagi?"
"Ya. Semakin hari mimpi itu semakin jelas. Sampai – sampai aku merasa itu bukan mimpi melainkan ingatan diriku yang lain."
"Bagaimana kalau secangkir teh herbal untuk menyegarkan tubuh Anda, Andrew?" tawar Dedic.
"Tidak perlu. Aku lebih baik tidur lagi."
"Kalau begitu saya mohon pamit, Yang Mulia. Semoga tidur Anda nyenyak. Selamat malam." Dedic menundukkan kepala sebentar lalu pergi.
Dasar keras kepala, batin Andrew.
Pintu kamar kembali ditutup. Ia berjalan menuju ranjang dan membantingkan tubuh ke atasnya. Perlahan ia menutup mata dan berharap mimpi itu tidak kembali.
Andrew pun terlelap. Hanya saja, mimpi itu tetap datang kembali.
Mentari sudah menampakkan pesonanya. Burung-burung berkicau kagum atas kehangatan yang dipancarkan oleh sang mentari. Embun pagi seolah bersedih sebab berpisah kepada dedaunan tempat mereka bersinggah dan harus kembali ke angkasa. Semilir angin yang membawa kesegaran berkelana hingga memasuki ruang kerja Raja Krale melalui jendela.
Lelaki yang memiliki rambut kehitaman dan kulit putih itu duduk dengan mengenakan pakaian kasual yang rapi. Di atas mejanya, ia sedang menulis sesuatu. Matanya sama sekali tidak melirik ke tumpukan berkas yang sudah menggunung di dekatnya. Lelaki itu terlalu terfokus pada apa yang sedang ia kerjakan, sampai – sampai tidak menyadari bahwa sang asisten pribadi tengah mengamatinya.
"Dedic?!" Andrew terperanjat.
"Selamat Pagi, Yang Mulia. Pagi ini Anda bersemangat sekali." Dedic tersenyum.
"Kenapa kamu tidak mengetuk pintu dulu sih?"
"Saya sudah mengetuk pintu berulang kali. Namun Anda terlalu sibuk dengan pekerjaan yang sedang Anda lakukan, Yang Mulia."
"Ah~ kalau begitu aku yang salah," lanjut Andrew dengan tawa yang terputus – putus.
Dedic tersenyum lagi. Mengingat hal itu memang sudah menjadi kebiasaan sahabatnya sedari dulu saat hari libur.
Dedic kemudian menyeduhkan teh herbal dan menuangkannya ke dalam cangkir yang terbuat dari keramik. Lalu meletakkannya di atas meja Andrew.
"Silakan diminum, Yang Mulia."
Andrew mengangkat cangkir itu. Mencium aroma segar yang menyerbak darinya. Dengan perlahan, Andrew meminumnya. Kusut di wajahnya mulai pudar. Ia menenggak habis teh yang hangat itu dan meletakkan cangkirnya kembali. Ia ingin memuji betapa nikmatnya teh yang diminumnya. Namun, tumpukan kertas yang sempat diabaikan itu menjadi fokus utama.
"Bagaimana dengan laporannya, Dedic?" tanya Andrew membuka perbincangan.
Dedic menyerahkan beberapa berkas kepada Andrew. Andrew memperhatikan satu persatu berkas itu tanpa memberikan komentar dan meletakkannya di atas meja dengan rapi.
"Perang yang terjadi di pegunungan Alven masih belum berakhir," jelas Dedic. "Perseteruan yang terjadi di pertambangan Branda juga belum ada titik temu, Yang Mulia."
"Nenavist Barat tidak akan pernah berhenti sampai mereka kalah total dalam dominasi. Dan juga, penelitian dalam pengayaan limbah kristal masih belum ada perkembangan yang memuaskan. Sebabnya perseteruan dengan Kralovna masih belum mereda." Andrew melepas napas panjangnya. Ia terlalu dini untuk memijit keningnya. "Lalu, apa yang sedang dilakukan Menteri Praha di sana?"
"Menteri Praha sepertinya sedang sibuk mengajak Kota Svoboda untuk bergabung menjadi bagian dari Kerajaan Krale. Mengingat Menteri Praha adalah mantan Jendral Admarni dari pasukan militer Krale, tidak heran kalau beliau memiliki ambisi untuk memperbanyak kekuatan," jelas Dedic.
"Memang benar. Tapi mengabaikan perintahku begitu saja, memang Kakek Praha tidak berubah. Ya sudah, mengingat ketelatenan beliau dalam menjaga perbatasan, aku rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang perang di Utara." Mata Andrew melihat lirikan liar dari Dedic. "Kamu penasaran dengan ini? Lihat saja." Andrew memberikan kumpulan kertas yang tadi ia kerjakan.
Dedic berjalan mendekat dan berdiri di samping Andrew. Senyuman Dedic langsung muncul saat menerimanya, seperti kucing yang mendapatkan ikan pertamanya.
Dedic membaca baris demi baris. Kalimat demi kalimat. Saat melihat laman terakhir, ia sempat terkejut.
"Wanita ini ...."
"Kamu pernah melihatnya?" tanya Andrew penasaran.
"Beberapa bulan yang lalu saat saya pergi mendampingi Menteri Praha ke Blaho. Saya sekilas melihat wanita yang mirip dengan gambar dan kriteria yang Anda sebutkan di kertas ini, Yang Mulia."
"Benarkah?" Andrew langsung berdiri dan menggenggam lengan Dedic.
Dedic sempat panik melihat reaksi Andrew. Lalu ia berusaha mengingat – ingat kembali.
"Saya ... tidak yakin," jawab Dedic.
"Ah ...," Andrew menghela napas panjang, "Aku rasa juga seperti itu. Tidak mungkin wanita yang ada di dalam mimpi bisa hidup di zaman ini. Kau tahu? Di dalam mimpi itu, seolah aku hidup di dunia yang berbeda. Ya ...," Andrew tenggelam dalam pikirannya. "Benar – benar berbeda."
Dedic merasa telah mengecewakan tuannya. Ia ingin sekali meminta maaf untuk itu.
"Minggu depan kita akan ke Blaho, bukankah begitu, Yang Mulia? Paling tidak kita bisa berkelana mencari wanita seperti itu. Hanya saja, wanita berambut pirang cuma berasal dari Kerajaan Kralovna."
"Wanita Kralovna terlalu garang untuk dipinang menjadi istri, kau tahu?" Andrew tergelitik. "Belum lagi jika mereka keturunan bangsawan bisa tambah gawat jadinya."
"Aturan mutlak Ratu Pertama Kralovna."
"Tepat sekali, Dedic."
Andrew meregangkan badannya sebentar, kemudian mengambil topi, satu set kumis dan jenggot palsu favoritnya.
"Aku bosan di sini. Temani aku jalan – jalan, Dedic." Andrew langsung melangkah keluar.
"Bagaimana dengan berkas yang belum Anda periksa, Yang Mulia?"
"Nanti saja. Raja juga perlu libur."
Dedic melihat kembali tumpukan berkas di atas meja kemudian mendesah panjang. Ia menutup pintu ruang kerja Andrew dan mengikuti tuannya dari belakang.
Dedic yang masih memakai baju pegawai istana, langsung mengambil langkah seribu dan mengganti pakaian dengan pakaian kasual yang bisa ia temukan di kamarnya sendiri. Kemudian secepatnya kembali berjalan di belakang Andrew.
Andrew pergi ke daerah perkotaan menggunakan kereta kuda yang biasa dipakai oleh khalayak umum. Ini adalah kebiasaan yang membuat Dedic kerepotan. Ia tidak menggunakan kuda pribadi ataupun kendaraan kerajaan untuk bepergian di hari libur.
"Itu semua demi penyamaran agar maksimal, Dedic." Ucapan itu masih terngiang di kepala sang asisten.
Menurut Dedic, penyamaran Andrew sudah cukup bagus. Tidak ada satu pun warga di kerajaan ini yang tampak mengenali beliau. Semua penduduk hanya menganggapnya sebagai bangsawan yang bisa ditemukan di mana saja..
Sesampainya di sana, Andrew bergegas berkeliling untuk melihat suasana kota. Itu adalah salah satu dari kesenangannya. Ia terkadang mengamati anak-anak yang sedang bermain, melihat pertunjukan jalanan yang di lakukan oleh badut, atau singgah ke sebuah tempat makan yang terkenal. Dedic terkadang harus melatih kesabarannya untuk tidak memaksa Raja Andrew kembali ke istana.
"Mau coba pergi ke paranormal, Dedic?" ujar Andrew tiba – tiba.
Dedic menggeleng – gelengkan kepalanya.
"Saya tidak mau pergi ke tempat aneh seperti itu, Yang Mulia," bisiknya.
Andrew tersenyum licik. Ia berlari menuju kawasan di mana okultis dan paranormal membuka usaha mereka. Andrew tidak memiliki hobi okultisme atau semacamnya, hanya saja ada alasan ia datang ke kawasan ini.
"Yang Mulia!" Terdengar jeritan kecil saat mereka melewati tenda-tenda peramal yang mengeluarkan bau herbal yang sangat menyengat.
Andrew tak sanggup menahan tawanya. Ia tahu betul kalau Dedic tidak tahan terhadap hal – hal seperti ini.
Setelah merasa puas menjahili Dedic, Andrew memutuskan untuk pergi ke tempat lain. Sesaat hendak meninggalkan kawasan itu, sebuah suara memanggilnya.
"Wahai Yang Mulia, kenapa Anda datang kemari?" Suara seseorang yang tidak dikenal terdengar pelan menyapa.
"Dedic, apa kau dengar sesuatu?"
Dedic mengangguk. Lalu menunjuk arah sumber suara. Sebuah tenda berwarna ungu. Ada kekhawatiran menyambangi dadanya, namun seolah kaki Andrew tertarik oleh magnet. Sangat kuat hingga tanpa sadar ia sudah berada di dalam tenda.
"Selamat datang, Yang Mulia. Ada sesuatu yang ingin Anda ketahui?" ucap wanita paruh baya yang memakai gaun serba ungu.
"Bagaimana engkau tahu kalau aku adalah Raja negeri ini? Aku yakin penyamaranku cukup bagus," jelas Andrew percaya diri.
"Mungkinkah ini yang disebut takdir?" ujar wanita itu disertai tawa yang aneh.
Dedic menyadari sesuatu yang benar-benar ganjil.
"Anda ... buta, bukan?" Dedic menunjuk ke arah mata wanita itu.
Bulu kuduk mereka berdua berdiri. Andrew sempat ingin lari sesaat. Ini situasi yang menyeramkan di siang bolong.
"Sepertinya Anda bukan peramal palsu," ucap Andrew sedikit gemetar.
Wanita itu mengeluarkan tawa yang aneh lagi.
"Apa yang sedang mengganggu Anda, Yang Mulia?" tanya wanita itu seolah mengabaikan perkataan Andrew.
Andrew menelan ludahnya. Dengan memantapkan niat, ia membuka rahasia yang hanya diketahui Dedic dan dirinya sendiri.
"Apakah Anda tahu tentang mimpi yang aku dapati setiap malam?"
"Itu bukan mimpi, Yang Mulia."
Andrew tambah gemetaran. Wanita itu seolah bisa melihat ke dalam dirinya.
"Apa maksud Anda?"
"Dalam hitungan jemari, Anda akan mengetahui kebenaran dari sebuah takdir yang kejam. Membuat Anda harus menentukan pilihan di antara dua duri yang menusuk daging. Saya berharap Anda dapat pilihan lebih dari pada itu."
Suasanya hening seketika. Andrew dan Dedic bergeming mendengar penjelasan wanita itu. Andrew mencoba bertanya lagi. Hanya saja ia diam membisu. Bibir wanita itu terus bungkam setiap kali Andrew bertanya.
Ada ketakutan yang mulai menggerayangi batin, Andrew memutuskan pergi. Dedic pun langsung bergegas mengikuti tuannya.
Untuk pertama kalinya Andrew ketakutan seperti itu. Ini tidak seperti berjumpa dengan musuh, tapi seolah engkau bertemu seseorang yang mampu menelanjangi jiwamu.
Setelah itu, Andrew pulang dan tidak keluar kamar sampai makan malam pun terlewatkan. Itu membuat Dedic khawatir. Tidak hanya sang asisten, seluruh pegawai istana juga merasakan hal yang sama.
Di dalam kamarnya, Andrew berpikir keras akan perkataan sang peramal. Lalu tenggelam dalam pikirannya hingga membuat Andrew tertidur.
Ia pun didatangi oleh sebuah mimpi yang sama. Bukan. Kali ini berbeda dari yang biasanya. Seolah wahyu dari Tuhan turun dan membisikkan sebuah rahasia.
Itu adalah ingatanmu dari kehidupan sebelumnya.
Kalimat itu terpatri di dalam jiwanya. Membuat Andrew meyakini kebenaran akan mimpi tersebut. Air matanya deras mengalir pada malam itu.
Pada Perjamuan Penguasa di Blaho yang akan diadakan satu minggu lagi, roda takdir yang kejam mulai bergerak.