"Hmn ...?" Gadis itu melongo dan mengganti pandangannya dari catatan menuju wajah Amalia, "Ah, iya, kak, boleh," lalu kembali menjawab dengan mengangguk kecil.
Gadis itu awalnya sedikit gugup, dia datang ke rumah orang yang 'tak dikenal dan tiba-tiba menghadap langsung. Walaupun Rafan yang membawanya ke sini, wajar saja Kirania menjadi gugup akan perubahan suasana seperti itu.
Suasana sedikit mencair bagi Kirania, setidaknya dia tahu kalau Amalia yang dihadapinya bukanlah nenek-nenek pemarah yang biasa dia lihat di film-film horor penghundi rumah nuansa adat.
"Jadi, Rafan," ucap Amalia berdir tegaki dan mulai memalingkan wajah ke Rafan. "Hari ini kamu mau apa?"
"Kirania punya sesuatu yang mungkin itu juga bagian dari sihir. Jadi—"
"Ah, begitu, yah," Amalia memotong penjelasan Rafan. "Kalau gitu langsung saja ke dalam." dan lanjutnya sambil berjalan masuk ke dalam ruangan.
"... Oke," jawab Rafan yang sejenak terdiam. "Aku juga mau urusan ini cepat selesai," ucapnya sambil mengikuti Amalia berjalan masuk.
"..."
Lalu Kirania mengikuti Rafan dari belakang.
Di perjalan menuju tempat yang dibimbing Amalia, Kirania sempat melihat ke berbagai sudut rumah karena penasaran.
Woah ... bagus, kak Lia punya kolam lobster di dalam rumah.
Setelah ruang tamu, dia masuk dan berjalan melalui lorong yang cukup panjang. Di sana Kirania sempat melihat ruangan sebelah yang hanya dibatasi oleh tembok kaca besar. Ruangan tersebut adalah seutuhnya kolam kecil lengkap dengan hiasan batu alam, atap terbuka untuk sinar matahari, dan juga lobster-lobster yang sesekali muncul dari tempat persembunyiannya.
Keseluruhan rumah tersebut cukup nyaman, udaranya sejuk karena suhu dingin AC di berbagai sudut cukup membuat nyaman.
Hmn? Patung kayu? Bentuknya gagak ... ah, ada juga yang burung hantu, kucing, kura-kura ... woah ... banyak banget di sini.
Perjalanan di lorongnya terus berlanjut, dia melihat beberapa aksesoris dari koleksi rumah yang dipajang di mana-mana. Kualitasnya sangat baik dengan kombinasi cat cokelat yang natural dengan warna pohon dan diberi lapisan bening pelapis sebagai finishing.
Beberapa kali gadis itu tertinggal dan harus berlari kecil menyusul Rafan. Tapi, itu tidak terlalu bermasalah selama dia tidak benar-benar kehilangan arah.
*Ceklek.
Pada akhirnya, sampai di saat di mana Amalia memasuki ruangan terakhir dan berhenti berjalan. Dia mempersilahkan Rafan dan Kirania untuk maju lebih dulu ke ujung.
Kirania awalnya tidak menyadari, dia hanya terus mengikuti Rafan dari belakang. Namun, setelah Rafan berhenti, dia mencoba menatap hal yang sama dengan apa yang Rafan lihat waktu itu.
Ruangan di sini gelap, karena si pemilik rumah membuat atmosfer di sini begitu tenang layaknya kondisi di dalam ruang teater bioskop. Hal tersebut membuat Kirania membutuhkan waktu menyadarinya.
Di hadapannya sekarang ada sebuah kursi besar yang bisa diputar layaknya kursi kantor milik manager perusahaan. Orang yang duduk di sana masih tidak menampakan diri dan hanya bisa dilihat ujung kepalanya karena dia masih menghadap ke belakang.
"Rafan ... berapa lama kita gak ketemu?" ucap orang itu yang sedikit demi sedikit memutar kursi menampakkan wajahnya.
Seorang laki-laki berambut hitam dengan campuran cokelat seperti sengaja dicat. Penampilannya dibaluti pakaian serba hitam yang tebal, telapak tangan kanan diperban, dan mata kanannya juga ditutupi penutup mata buatan layaknya bajak laut.
"Entahlah ... mungkin sekitar satu minggu ... Kaivan."
****