Chereads / Cintaku Berawal Dari Kepergok Masturbasi / Chapter 22 - Aku Mendengar Semuanya

Chapter 22 - Aku Mendengar Semuanya

Aura pria di depan terlihat lebih berat. Ini seperti dia adalah orang cerdas yang menekan udara dengan keberadaan dan kecerdasan hanya dengan menatap orang-orang di sekitar. Gerak tubuhnya begitu dingin dan pelan, tapi entah kenapa tajam hingga membuat orang bertatap langsung pada gerak-geriknya.

Kulit Kirania berasa merinding, suara pria tersebut layaknya angin dingin menghembus telinga. Dia kembali bersembunyi di belakang Rafan untuk mengurangi efeknya.

"Hmn?" Pria di depan itu menyadari gerakan kecil ketika Kirania bersembunyi di balik tubuh Rafan, "Apa? Kamu ke sini ingin pamer pacar barumu?"

"Dia bukan pacarku," jawab Rafan dengan tegas tapi tetap mendatarkan nadanya.

"Heh," deham Kaivan yang terkekeh sekali. "Memang kelihatan juga, sih."

"..."

Kirania dan Rafan masih berdiri di depan, mereka tidak dipersilahkan duduk dan dibiarkan begitu saja. Walaupun sebenarnya ada sofa panjang di sisi tembok samping ruangan, tapi Rafan tidak mengantarkan Kirania ke tempat itu. Aura di sana mencegah mereka seakan membuat spekulasi kalau mereka duduk dan menyampingi Kaivan, membuatnya terlihat tidak sopan.

"Jadi, cewek yang kamu bawa sekarang itu punya sihir juga?" tanya Kaivan memulai percakapan lagi.

"Iya," jawab tegas Rafan.

"Kalau begitu biarkan aku merasakan ..., kenalkan cewek itu, dan tunjukkan kemampuannya padaku."

Rafan mendengar itu pun melihat ke belakang untuk mendorong Kirania keluar dari cangkang. Dari jarak dan suasana sepi seperti ini, tentu saja gadis tersebut juga ikut mendengarkan. Arti dari pandangan Rafan sudah jelas tersampaikan.

"Woi," panggil Rafan berbisik dengan suara kecil pada Kirania tepat di balik bahunya. "Kalau kamu diam saja, ini gak akan selesai."

" Iya, aku ngerti," jawab Kirania yang ikut berbisik. "Tapi, kamu jangan ke mana-mana, Raf."

"Enggak akan, memangnya aku mau ke mana? Izin toilet?"

Mereka berdua sempat mulai perdebatan kecil lewat bisik-bisiknya. Namun ....

"Ehem ...."

"...!?"

"...!?"

Deham Kaivan mencegah mereka melanjutkan pembicaraan 'tak penting melebar ke mana-mana. Tatapannya dari jauh seakan mengatakan 'bisa selesaikan ini dengan cepat?' dengan wajah tajam hingga membuat Kirania bergetar.

Rafan pun kali ini menurut, dia maju satu langkah dan menyampingkan tubuhnya agar Kaivan bisa berhadapan langsung dengan Kirania. Sesaat gadis itu menahan Rafan menjauh, pegangan tangan Kirania membuat laki-laki itu tidak bisa berjalan lebih jauh.

Pada akhirnya, walaupun Kirania sekarang berhadapan wajah langsung, tapi Rafan masih ada tepat di samping sambil dipegang tangannya.

"..."

"..."

Suasana malah menjadi lebih canggung. Kirania tidak kunjung memulai perkenalan, dan Kaivan juga terus memandanginya dengan serius.

"Huft ... hah ...," tarik napas Rafan di samping yang mulai kesal. "Namanya Kirania ...."

"Hn!?" respons Kirania sedikit terkejut dan refleks melihat ke arah Rafan.

"Dia teman sekelas, umurnya juga mungkin cuman beda beberapa bulan, dan kemampuannya—. Ath, aw, aakhg!?"

Rafan terpotong dari kalimatnya karena rintihan kesakitan. Dia dengan segera melihat sumber rasa sakit, dan itu berada di cengkeraman tangan Kirania. Gadis tersebut mengubah pegangannya selama ini menjadi cubitan keras.

*Grip.

Rafan balik mencengkeraman tangan yang barusan mencubit barusan.

"Woi, Nia, kamu mau apa? Kalau kamu gak kasih tahu, mana mungkin dia bisa jelasin kondisi kamu," kata Rafan menjelaskan dan membujuk gadis tersebut.

"Humn ...." Kirania sedikit cemberut, alisnya mengkerut dan matanya mulai berair.

Gadis itu merespons dengan pandangan kesal dicampur malu luar biasa. Rasa ingin menentang tindakan Rafan begitu kuat, tapi secara bersamaan dia tetap 'tak bisa menyalahkan.

"..."

Kaivan di ujung masih menatap dingin, menunggu salah satu dari mereka untuk kembali bicara.

Kirania waktu itu tetap tidak mampu menjelaskan kondisi memalukannya sendirian, akibatnya Rafanlah yang mengambil tugas itu kembali.

"Intinya, temanku ini punya masalah masturbasi, dia ngerasa kalau itu kutukan sihir yang bikin dia gak tahan melakukannya ..., bahkan di sekolah."

Keringat dingin mulai berkucuran di tubuh Kirania, dia menahan perasaan malu ketika kondisi itu dijelaskan oleh Rafan.

Walaupun aku pernah ngalamin yang lebih memalukan waktu kepergok sama Rafan, tapi perasaannya beda waktu dia cerita ke orang lain.

Batin Kirania waktu itu yang hanya bisa sembunyikan wajah lagi dan lagi.

"Masturbasi? Hmn ... itu cukup menarik," ujar Kaivan sambil berpikir dan melirik ke sudut lain ruangan. "Kalau begitu dia tidak bisa menunjukkannya, yah ... apa boleh buat."

"Gak apa-apa, aku pernah melihatnya sekali, jadi kalau butuh penjelasan aku bisa—. Akh, aw, aawkg!?"

Kalimat Rafan terpotong lagi, dia berbalik melihat Kirania untuk mengutuk perbuatannya yang menyebalkan itu. Akibat perbuatannya, rasa kesal mulai kembali datang.

"..."

Namun, Kirania berbalik menolak memandang Rafan, dia masih melihat ke arah bawah sambil cemberut. Sikapnya seolah menunjukkan dia sadar akan apa yang dia lakukan, tapi tetap tidak mau mengakuinya secara lisan.

"Heh," Kaivan berdeham keras, "kalau gak bisa tunjukin atau jelasin cara kerjanya, paling enggak aku butuh data tentang kapan sihir itu aktif."

"Yang aku tahu dia pernah kayak gitu dua kali waktu hari Rabu sama Kamis, jadi ... Hn?" Rafan terhenti dari penjelasannya, dia berhenti bicara pada Kaivan dan kembali berbisik pada Kirania, "Ngomong-ngomong, masturbasimu itu aktif kapan saja? Aku awalnya ngira kalau itu aktif tiap hari."

Rafan bertanya karena dia sendiri tidak yakin dengan kesimpulannya. Kirania pada dua hari ini tidak melaporkan masturbasinya ke Rafan, itu membuat pernyataan 'aktif setiap hari' menjadi bias. Belum tentu itu benar maupun salah, karena bisa saja itu aktif tanpa diketahui Rafan, misalnya aktif di rumahnya Kirania sendiri.

Kirania sedikit ragu ingin menceritakannya, tapi rasa ingin kuat untuk bebas dari kutukan tersebut lebih besar. Akhirnya, setelah beberapa keberanian, dia mulai menarik lembut telinga Rafan untuk membisikinya.

"..."

"..."

Keadaan hening beberapa detik, suara bisik yang khas menghiasi atmosfer berat di ruangan tersebut. Sampai saatnya Kirania menjauhkan wajah dan selesai membisiki sesuatu pada Rafan.

"Hmn ...." Rafan menatap datar, wajahnya menghadap Kaivan sekarang.

"..."

Mata mereka saling bertemu, cukup serius hingga Rafan berkata, "Kaivan, kamu dengar semuanya, 'kan?"

Kaivan menutup matanya sambil menarik sedikit napas sebagai ancangan kecil, "Iya, aku mendengar semuanya," lalu jawabnya dengan tenang.

"Kalau begitu bisa langsung jelaskan?"

"Aku mencoba menghargai usaha gadisi itu, kenapa kamu tidak ceritakan lebih dulu apa yang dia katakan."

"Aku mau kalau bisa ..., tapi sayangnya aku gak dengar apa yang dia bisikin barusan."

"Hn?"

Kirania memasang wajah bingung, dia tidak mengerti dengan jalur pembicaraannya mereka menuju ke mana. Tapi, yang jelas dia cukup kesal karena Rafan bilang kalau dia tidak mendengar bisikannya barusan. Itu membuatnya berpikir untuk menanggung malu dua kali untuk menceritakannya ulang.