"Ukh!?"
Amalia merasakan gertakan halus. Sesuatu yang membuat dia berpikir kalau dirinya malah membuat rasa khawatir yang seharusnya bisa disembunyikan. Tapi ....
"Ga-gak apa-apa, kok," kata Amalia sekali lagi. "Kaivan bukan benci kamu, cuman dia gak suka orang lagi mens saja. Bukan karena dia anggap jijik atau ngerepotin, dia cuman takut."
"Takut? Jadi, dia takut sama perempuan yang lagi mens?"
Kirania sedikit mengangkat alis memandang bingung, pasalnya orang yang dikiranya menyeramkan malah punya ketakutan yang aneh.
"Iya. Itu karena ... sebenarnya Kaivan itu orang yang sensitif," ucap Amalia sambil memandang ke sekeliling ruangan sambil mengingat masa lalu. "Dia itu ... dia itu orang yang bisa merasakan semua penderitaan di sekitarnya. Dia tahu rasa sakit kamu, dia bisa tahu kamu bohong, dia bisa tahu kamu waktu dibebani pikiran, dan dia juga tahu kamu takut sama dia ... karena dia bisa merasakannya langsung."
"Langsung?"
"Iya ... langsung," jawabnya menghadap Kirania dengan senyuman. "Yang artinya dia juga merasakan sakit pada waktu yang sama. Dia suruh kamu menjauh karena dia takut kalau kamu merasakan sakit mens dan membuatnya sakit."
"Itu ... itu terlalu berlebihan." Kirania memandang Amalia dengan wajah keheranan.
"Ahaha ...," Amalia terkekeh melihat jawaban tersebut. "Sebenarnya dia cuman takut sama aku, katanya sih dia merasakan sakitnya kepala diremukin dan bola mata ditusuk jarum sambil setiap uratnya panas terbakar. Dia sebenarnya juga gak takut sama cewek mens, cuman takut rasa sakit yang kamu kasih bikin dia benci sama kamu. Kayak ... suatu pencegahan."
"Bukannya itu artinya dia cuman gak mau kesakitan?" balas Kirania dengan polos. "Iya ... walaupun itu normal, sih."
"Egn, un," jawab Amalia sambil menggeleng. "Kalau dia cuman gak mau kesakitan, dia sudah dari dulu tinggalin aku. Tapi, sampai sekarang dia masih ada di sini. Mau seberapa sakitnya, gak peduli seberapa merepotkannya, dia tetap gak pernah tinggalin aku sendiri. Walaupun ... iya ... sikapnya agak begitu sekarang. Ehehe ...."
"..."
Akibat cerita tersebut, Kirania mulai sedikit mengubah cara pandangnya pada Kaivan. Rasa menakutkan yang dia nilai pada penampilan dan suara berat pria itu telah berkurang, setidaknya itulah yang Kirania pikirkan waktu itu.
"Ah, maaf ...," Amalia mengucapkannya setelah beberapa detik merenung. "Aku malah cerita banyak. Kamu bosan sama ceritaku?"
"Eng-enggak, kok."
Daripada bosan, aku malah penasaran hubungan kalian sekarang.
Batin Kirania yang tidak sanggup dia keluarkan.
Tapi, kayaknya gak sopan, yah? Kalau misalnya aku tanya hal privasi kayak begitu ke Kak Lia.
Walaupun Amalia lebih ramah dan mudah diajak bicara. Tapi, suasana dingin yang cukup mencekam dari ruangan serta fakta kalau dia adalah orang baru tidak berubah. Pikiran Kirania masih tidak mengizinkannya untuk bertanya hal seperti itu.
"Hmn ... ngomongin tentang aku, sih gak apa-apa," Amalia yang mulai mendekatkan diri mencoba akrab dengan Kirania. "Tapi, aku juga mau tahu cerita kamu. Jadi, hubungan kalian bagaimana?"
"Hubungan?" tanya Kirania masih tidak mengerti.
"Iya ... bagaimana perasaan kamu sama Rafan?"
Dibandingkan Kirania yang canggung menanyakan topik hubungan cinta yang bersifat privasi, Amalia malah lebih santai dengan langsung bertanya untuk meneruskan pembicaraan. Lagipula, walaupun Kirania adalah orang baru di mata Wanita tersebut, tapi Rafan adalah kenalan yang cukup lama hingga timbul perasaan 'teman Rafan juga temanku' pada benak Amalia.
****