Kirania terbelalak sebentar, dia mulai mencerna apa yang Amalia tanyakan padanya.
"Aku ... perasaanku ke Rafan?" tanyanya dengan nada polos.
"Iya, kalian kayaknya sudah akrab. Ah, kalian juga sekelas, yah."
"Hmn ...." Kirania sedikit berpikir dan mengulas balik karakter Rafan di benaknya. "Enggak, aku gak punya perasaan apa-apa, kayak teman biasa," lalu dijawabnya seperti itu pada Amalia.
"Teman biasa?" Amalia sedikit mengerutkan wajah bertanya. "Jadi, teman biasa buat anak-anak jaman sekarang itu sudah wajar buat kasih tahu jadwal mens sama nunjukin diri waktu masturbasi."
"Ah!?" Kali ini mata Kirania terbuka lebar-lebar, dia kalimat tersebut terucap dari Amalia. "Iya ... iya, bu-bukan, sih."
"Bukan?"
Kirania tidak bisa membantah, apa yang terjadi selama ini memang benar adanya. Amalia mengetahui fakta tersebut dari pembicaraan dengan Kaivan sebelumnya. Dia mendengar Rafan yang sembrono berkata tanpa akal sehat, serta melihat Kirania membisiki Rafan secara privasi tentang menstruasinya.
"I-i-itu ... terpaksa ... aku, aku punya kelainan, yang ... masturbasi itu."
"Iya, aku sudah tahu."
"Dan lagian, lagian, yah ... Rafan itu juga yang kelainan. Bukan aku yang nunjukin, tapi dia yang tiba-tiba ada di ruanganku. Terus dia juga kayak gak tahu malu, kelakuannya mirip kayak anak kecil, gak mikir juga apa aku malunya kayak gimana. Omongannya juga nyebelin, padahal dia ketua OSIS, harusnya dia jago ngomong di depan orang dan tahu kesopanan. Tapi, dia malah ceplas-ceplos terus, gak pernah mikir perasaan orang. Dan lagi ... yang paling nyebelin itu dia sama kekuatannya, bikin dia jadi narsis, terus narsisnya juga malah didukung banyak orang. 'Kan kesel lihatnya."
"..."
Kirania terus bicara mendorong seluruh udara keluar dari paru-paru. Dia bicara dengan cepat tanpa spasi sebisa mungkin dan terus menyerang Rafan dengan berbagai sifat buruk dari pikirannya.
"Hah ... hah ...."
Sampai pada saatnya gadis itu sendiri mulai terengah-engah karena tindakannya. Bicara seperti itu ternyata menguras cukup banyak tenaga.
"Ehehe ...," Amalia terkekeh mendengar hal tersebut. "Kamu tahu banyak tentang Rafan ternyata."
"Ah!?" Gadis itu kembali membuka mata lebar-lebar, membuat wajah yang sama terkejutnya seperti sebelumnya.
"Setidaknya belakangan ini kamu terus perhatiin dia, 'kan?"
"Humn ...," dengung Kirania sambil melihat ke bawah. "Bukan, bukan begitu ... aku ... aku gak gitu, kok," ucapnya dengan nada merendah.
Pipi Kirania mengembung cemberut, warna kemerahan mewarna dari samping hidung hingga telinga, wajahnya yang bergetar dan menyembunyikan rasa malu membuatnya begitu imut dipandang. Reaksi itu terlalu polos untuk seorang yang pernah masturbasi di sekolah.
"Wo-woooah ...." Amalia ikut bersemangat, suaranya cukup bergetar melihat keimutan Kirania. "Ni-Ni-Ni-Nia ... bo-boleh aku peluk sebentar?"
Ekspresi Kirania kala itu membuat perasaan di hati Amalia melonjak. Tangannya bergetar, napasnya mulai kacau, keinginan untuk menyentuh gadis itu begitu tinggi sekarang.
"Eh? Peluk—. Hn!?"
Tanpa persetujuan, Amalia pun langsung memeluk kepala Kirania hingga rapat dengan dadanya.
"Hmng, hng!? Hmn ...."
Genggaman tangan tersebut cukup erat hingga membuat batang hidung Kirania rapat dengan pakaian Amalia. Beberapa saat wanita itu bertahan menaruh tenaga pada tangannya. Tapi, layaknya pelukan, perasaan khawatir terhadap kondisi Kirania pun timbul dan mengharuskan Amalia menghentikan hal tersebut.
"Pwah~ ...." Suara napasnya yang bebas dari pelukan. "Ka-Kak?" Panggilnya dengan nada meninggi menanyakan situasi.
"Ah ... bentar, yah ... bentar lagi," ucap Amalia yang masih menolak melepas Kirania sepenuhnya. "Ehehe ... badan kamu empuk, enak dipeluk ... atau ini gara-gara dada kamu yang besar banget?"
"..."
Pandangan Kirania mengarah ke samping menuju aquarium berisi lobster. Perasaannya yang campur aduk juga menjadi alasan dia tidak bisa menjawab dengan benar.