"Nia ...," panggil Amalia yang masih memeluk kepala gadis itu. "Kamu tahu, semua laki-laki itu pada dasarnya memang gak bisa ngomong. Sudah jadi hal lumrah ketika mereka gak tertarik basa-basi, mereka cenderung gak peduli tentang teknik bicara untuk jaga perasaan orang lain. Tapi, itu semua berubah waktu mereka kenal sama perempuan."
"..."
Amalia memberi sentuhan lembut di kepala Kirania, sebuah gerakan sederhana dari atas kepala hingga ujung rambutnya, elusan kepala yang menenangkan.
Kirania yang sebelumnya sedikit panik pun mulai bisa mengendalikan pikirannya. Perasaannya kali ini seperti berhadapan dengan orang tua yang menasihati. Namun, aroma tubuh Amalia yang segar diselimuti wewangian bunga tipis memberikan kesan sedikit berbeda.
"Kalau kamu ketemu sama laki-laki yang membuatmu nyaman dengan kata-katanya, kemungkinan besar dia sendiri sudah terbiasa dengan perempuan," ucap Amalia dengan lembut. "Makanya ada yang bilang kalau duda kadang lebih menarik. Ehehe ....," lanjutnya dengan sedikit bercanda dan tertawa kecil karena ucapannya.
"Dia bukan anak kecil lagi, 'kan? Kalau kak Lia bilang gitu ... Rafan malah kelihatan kayak gak pernah ketemu perempuan."
"Iya ... dia memang gak pernah ketemu perempuan."
"Hn?" respons Kirania sedikit bingung.
Amalia akhirnya melepas pelukan di kepala Kirania, dia sepertinya sudah puas dengan tindakannya barusan. Jadi, wanita itu lebih memilih untuk mengobrol sambil berhadapan muka sekarang.
"Kamu tahu 'kan kekuatannya Rafan?"
"Iya, aku tahu."
"Hmn ... kamu tahu kalau kamu kena pengaruh kekuatannya atau enggak?"
"Aku gak tahu, tapi Rafan bilang kalau kekuatannya gak mempan sama aku."
"Woah ... hebat," ucap Amalia kagum sambil menaruh tangannya di mulut. "Pantas saja hubungan kalian terlihat natural. Berarti kamu sekarang perempuan pertama buat Rafan."
"Enggak, enggak ...," jawab Kirania secara refleks. "E-eh? Maksudnya gimana, sih?" dilanjutnya karena sadar akan tidak mengertinya dia pada arah percakapan ini.
"Kekuatan Rafan itu banyak banget efek sampingnya. Salah satunya itu dia bisa tumbuh jadi orang yang tidak bisa berkomunikasi sama sekali. Untungnya dia sadar dengan itu dan banyak belajar dari hal lain kayak buku. Tapi, tetap saja itu berbeda sama praktik, selama ini dia belum pernah bicara sama perempuan secara normal."
"Tapi ..., kak Lia kayaknya juga gak kena pengaruh kekuatannya Rafan."
"Aku? Aku kena, kok," jawab Amalia membantah halus. "Yang gak kena itu Kaivan, dan dia juga bikin aku kebal selama aku masih ada di rumah ini."
"..."
Kirania mempelajari hal baru lagi. Sesuatu tentang sihir membuatnya sulit memahami situasi di rumah ini. Tapi, satu hal yang pasti, orang bernama Kaivan itu adalah orang yang ahli dalam sihir.
"Oke, kesampingin dulu tentang itu," kata Amalia yang ingin mengembalikan topik. "Tentang Rafan, aku gak maksa kamu atau dorong-dorong kamu buat pacaran. Cuman ... aku minta kamu terus temenan saja. Dia juga bukan orang jahat, 'kan?"
"..."
Gadis itu menghadapkan wajah dan tubuhnya lurus ke depan searah dengan sofa, menyampingi Amalia yang duduk di sebelah. Dia sedikit demi sedikit berpikir sambil mengumpulkan keberanian.
Kirania memainkan jari-jarinya di atas paha, dia melihat ke bawah sambil berkata, "Sebenarnya aku juga berterima kasih sama Rafan. Tentang dia yang mau bantu aku sekarang ... kalau gak ada dia, mungkin aku benar-benar gak ada harapan. Tapi ...."
Gadis itu melihat ke atas sebentar.
"Hmn ...."
Lalu menengok ke arah samping mengingat kepribadian Rafan.
"Kalau bisa dia sedikit waras ... aku mau dia mikir dulu sebelum—"
*Ceklek.
"Hng!?"
Suara pintu di ruangan itu terdengar keras, jantung Kirania sempat dibuat terpacu karenanya.
"Nia ... aku sudah selesai, katanya kamu bisa—"
Rafan pun datang dari balik pintu itu, dia masuk dan langsung bicara pada Kirania layaknya Resepsionis yang memanggil tamunya.
"Hn?" Tapi, kata-katanya terhenti setelah satu langkah dia lakukan. "Apa ini? Kenapa suasana di sini agak tegang?" lanjutnya keheranan ketika merasakan dan melihat Kirania dan Amalia di ruangan tersebut.
Kirania dan Amalia ikut membeku tidak merespons, atau lebih tepatnya Kirania yang kaget karena panik.
Ra-Rafan gak dengar, 'kan? Dia baru sampai barusan, 'kan?
Hal tersebut mengingatkannya pada trauma di ruang ekskul tentang kepergok. Dia yang tadinya membicarakan Rafan jadi bingung dan perlu waktu sebentar untuk menenangkan diri.