Chapter 23 - Diusir

"Kirania ..., yah?" Kaivan memanggil gadis itu. "Sebelumnya aku minta maaf, percuma kamu bisik-bisik kayak gitu, aku punya kemampuan mendengar yang baik sampai bisa dengar semua yang kamu bisikin barusan."

"..."

Kirania mulai mengerti apa yang terjadi, tapi dia tidak tahu harus menunjukkan wajah seperti apa.

"Oke, aku mengerti bentuk sihirnya. Dia bilang kalau sihir itu aktif sebelum dia mengalami mens. Itu cukup masuk akal, sihir tersebut masih termasuk dari bagian tubuhnya, jadi tahap ovulasi akan menunjang hormon dan membuatnya aktif lebih sering," jelas Kaivan kala itu.

"Oh ... aku mengerti," kemudian dijawab Rafan sambil mengangguk.

"Hmn ...."

Aku tidak mengerti.

Tapi, berbeda dengan batin Kirania yang masih bingung menerima penjelasan itu.

"Lalu, untuk sihirnya sendiri, kapan pertama dia aktif?" tanya Kaivan yang melirik ke arah mereka berdua secara bergantian.

"Katanya sih waktu SMA kelas dua."

"Apa itu sama dengan pertama dia mengalami mens."

"Hmn ... hmn?" Rafan melemparkan pertanyaan itu pada Kirania dengan menatapnya yang ada di samping, "Gimana?"

Kirania sedikit mendekatkan mulut ke telinga Rafan lagi untuk membisik, lalu menjauh setelah selesai memberi informasi.

"Kayaknya enggak, dia pertama mens waktu SMP."

"Begitu, yah ... aku kira kalau dia tidak tahu tentang sihir, kasusnya bakal sama kayak kamu, Rafan."

"..."

Rafan tidak menjawab, dia cenderung membiarkan kalimat itu lepas dan dibiarkan lewat.

"Perempuan yang mengalami mens secara alami akan mengurangi keinginan melakukan seks. Itu juga jadi bukti kenapa sihirnya gak aktif belakangan ini."

"Hmn ... begitu, yah," gumam Rafan menanggapi ucapan tersebut.

"..."

Kirania sekarang cenderung merasa canggung. Dia mendengarkan percakapan jelas yang cenderung mesum di depan dua laki-laki. Mungkin ini akan lebih baik jika ini adalah pelajaran biologi, tapi sayangnya yang terjadi sekarang berbeda.

Apa yang jadi topiknya adalah Kirania itu sendiri. Membahas ovulasi, menstruasi, dan berkata seks di depannya yang secara tidak langsung membicarakan Kirania itu sendiri membuat perasaannya campur aduk.

Kirania tidak ditemani orang tua, maupun teman perempuan yang menemani, hanya dibekali Rafan sebagai teman laki-laki dan terpaksa berhadapan dengan pria yang baru dikenalnya barusan. Ini benar-benar membuatnya bingung harus berbuat apa. Ditambah lagi ....

Sebenarnya kalian lagi ngomongin apa? Kenapa Rafan iya-iya saja kayak yang ngerti?

Kirania tidak masih melongo tidak mengerti.

"Sihirnya kali ini beda kayak kamu, Rafan. Punya dia lebih kayak baju dipakai dan bisa dilepas kalau kita tahu caranya—. Hn?" Kaivan terhenti dari kalimat dan memandang Kirania. "Aku baru sadar, apa itu berarti dia lagi mens."

"..."

Kirania tidak menjawab, dia masih melamun dan tidak sadar kalau dirinya telah dibicarakan oleh Kaivan.

"..."

Rafan memandang Kirania lagi, dan pandangan laki-laki itu membuat sadar hingga gadis itu merespons pandangan yang dituju padanya?

"Hn ...? Hn!?" respons Kirania menggerakan leher dan pandangannya ke berbagai arah karena tidak mengerti. "Ra-Raf?" Sampai pada dia bertanya pada Rafan tentang kecanggungan atmosfer sekarang.

"Dia tanya ..., kamu sekarang lagi mens?"

"Aaa ... un," jawab Kirania dengan mengangguk.

"Huft ... hah ...." Kaivan menarik napas panjang, "Lia ...," lalu memanggil Amalia di ujung ruangan yang berbeda untuk mendekat.

Wanita yang dipanggil tersebut mendekat, dia berjalan dan menghampiri Kaivan hingga berhenti di samping orang itu.

"..."

Mereka berbisik, Kaivan menyampaikan sesuatu pada Amalia sambil membuat beberapa gesture sederhana yang tidak dimengerti oleh Kirania.

"Un ... aku ngerti, Van."

Amalia mengangguk paham, dia pun mulai berjalan mendekat Kirania yang masih bingung.

"Hmn ... Nia? Kamu mau pindah tempat? Kamu sekarang bisa pindah saja ke ruang tamu di depan," kata Amalia yang sedikit membungkuk.

"Eh?" Kirania kembali bingung, "Ah ... un." Tapi, dia menjawab dan mengikuti ucapan Amalia tanpa pikir panjang.

Setelah itu, Amalia pun memegang salah satu tangan Kirania untuk dibawanya ke luar ruangan. Hal tersebut membuatnya secara refleks melepas cengkeraman di baju Rafan oleh tangan yang satunya lagi.

Kirania di bawa pergi, dia berjalan meninggalkan ruangan yang penuh atmosfer berat baginya. Ketika dia berjalan di lorong dengan keadaan yang lebih tenang dan kondusif, pikirannya pun pulih dan bisa berpikir tentang apa yang terjadi.

Apa tadi aku diusir sama orang itu?

Batinnya yang cukup khawatir akan fakta kalau dia adalah penganggu yang membuat Kaivan kesal.

*****