Beberapa saat setelah keluar dari gerbang utama, mereka mengambil jalur ke arah timur. Rafan berjalan dengan santai, sedangkan Kirania sedikit mengukir kesenangan di wajahnya. Kedua orang berjalan berdampingan, atau lebih tepatnya Kirania berusaha berjalan berdampingan. Langkah kaki Rafan yang cepat membuat gadis itu beberapa kali harus berlari kecil menyusulnya.
Tempat yang dituju Rafan tidak terlalu jauh, setidaknya masih bisa dijangkau dengan jalan kaki sepuluh menit. Jalur yang dia ambil tidak dilalui kendaraan umum, dia melangkahkan kakinya ke dalam komplek rumah yang bahkan semakin lama semakin terpencil dari keramaian.
"Oh, iya, Nia," panggil Rafan yang mulai jenuh berjalan tanpa bicara. "Soal gosip barusan, aku serius tentang kamu yang jangan terlalu dekat sama orang kayak aku."
"Hn?"
Kirania berdengung menoleh, dia melihat Rafan bicara tanpa memalingkan wajahnya dan terus tegak melihat ke depan.
"Ke-kenapa? Kamu gak mau banget digosipin sama aku?" tanya Kirania sedikit bercanda.
"Iya, benar. Bakal banyak masalah kalau itu terjadi."
"Ma-masalah? Apa itu? Apa kamu jadi dijauhin sama cewek lain yang lebih cantik? Atau kamu jadi gak bisa bebas godain cewek lagi?" ucapnya sedikit cemberut.
"Kamu ngomong apa? Mau aku punya pacar atau enggak, aku masih bisa bikin cewek sekitar suka sama aku."
Wajah Kirania ... atau lebih tepatnya alis gadis itu bergidig. Rasa kesal kembali muncul ketika Rafan mengatakan itu.
"Terus apa masalahnya?"
"Ini soal kamu, teror cewek posessif yang menyukaiku mungkin bisa ganggu kehidupan kamu. Memangnya kamu mau menghabiskan sisa waktumu penuh musuh?"
"Bukannya kekuatanmu juga bisa selesaiin masalah itu? Kamu bisa 'kan suruh mereka baikan, kayak kamu minta kunci ke satpam—. Aah!?"
Rafan mengkerutkan dahinya, dia memegang sebelah telinga karena refleks mendengar suara keras.
"Berapa kali kubilang ... jangan teriak."
"Ah, maaf. Ah!? Enggak, bukan!" kata Kirania yang merendah sesaat lalu kembali melonjak. "Aku jadi ingat, kita di ruang ekskul juga bahas ini, 'kan? Tentang kamu yang minta kunci ke satpam?"
"..."
Rafan mencoba mengabaikan Kirania, dia kembali menghadap ke depan sambil terus melanjutkan perjalanan.
"Tapi, kamu belum jawab, 'kan. Ujung-ujungnya kamu juga pakai kekuatan kamu buat kecurangan, 'kan?"
"..."
Rafan mengalihkan pandangannya dan menatap sinis pada Kirania. Tapi, hanya sebentar, sesudahnya dia kembali menghadap ke depan berusaha mengabaikannya.
Wajah Rafan kala itu terlihat tidak menyenangkan. Memang dari awal dia tidak eskresif, tapi kali ini aura yang dikeluarkannya begitu dalam hingga membuat atmosfer sekitar jadi berat.
"Aaa ... Raf?" tanya Kirania yang mulai merasakan kejanggalan. "Kamu marah?"
Suasana jadi sepi, Rafan tidak kunjung menjawab pertanyaan tersebut. Ini membuat tekanan yang menguji mental Kirania, dia seakan dibuat menyesal atas tindakannya barusan.
Grek.
Lagkah terakhir Rafan terhenti di alas tanah. Tempat yang bebas dari polusi suara membuat gesekan sepatunya terdengar keras waktu itu.
"Hn?"
Kirania sadar Rafan berhenti, dia juga ikut berhenti dan sedikit melihat laki-laki itu.
"Oke, aku ngaku, aku memang menggunakan kekuatanku ... atau lebih tepatnya terpaksa menggunakannya. Gak kayak masturbasimu, punyaku gak ada tombol off-nya."
Gadis itu sedikit terganggu dengan kata 'masturbasi', tapi tekanan perasaan Rafan jauh lebih berat mengarahkan suasana ini ke arah yang serius.
"Sampai saat ini, aku cuman bisa tahan sekitar setengah dari efek aslinya. Jujur saja, aku pasti mengaktifkan itu ketika bicara langsung dengan orang. Kalau kamu suruh aku gak pakai kekuatanku sama sekali, itu sama saja suruh aku buat hilang dari masyarakat."
Ucapan Rafan terdengar tajam, menghina dirinya sendiri dan menghina ucapan Kirania yang sebelumnya. Kondisi semakin kacau, Rafan benar-benar terlihat menyeramkan kali ini, itu membuat gadis tersebut bergetar takut.
"A-ah, enggak, aku enggak ada maksud—"
"Iya, aku tahu," Rafan memotong ucapan Kirania yang sedikit terbata-bata, kali ini ekspresi laki-laki itu mulai melunak. "Mungkin pertama yang kamu harus ngerti itu, kekuatanku yang juga lebih pantas disebut kutukan.
Rafan mulai berjalan kembali, begitu juga Kirania yang mengikuti.
"Sekarang mungkin kamu lihat kalau kekuatanku serba guna, tapi sebenarnya aku yang dulu sangat mengerikan. Hanya dengan lewat, aku bisa membuat orang-orang memberikan seluruh hartanya, aku bisa membuat pasangan bertengkar dan menghilangkan cinta mereka, dan yang paling parah, aku bisa bikin orang mati."
"E-eh? Ma-mati?" Wajah Kirania bertanya heran, "Kamu bercanda, 'kan?"
"Ketika aku lewat, pedagang buah yang sedang mengiris buahnya bahkan bisa mengiris jarinya sendiri karena terpukau. Itu terdengar berlebihan, tapi aku pernah mengalaminya. Lalu, bayangkan kalau itu terjadi pada pengguna motor."
Kirania menelan ludah, dia mulai membayangkan kengerian kekuatan Rafan yang bisa membuat kepala orang benar-benar kosong. Sebuah efek mengerikan layaknya hipnotis.
"Terus ... selama ini kamu sekolah kayak gimana?"
"Aku selalu pakai masker, itu cara pertamaku buat kurangin efeknya. Pengalamanku bilang, ilusi mengerikan muncul ketika orang mulai melihat wajahku. Walaupun sebenarnya itu adalah ceritaku yang sudah sangat lama."
"..."
Kirania sedikit tersentuh hatinya, dia mulai menyesal atas tuduhan tak bertanggung jawab barusan.
Ternyata memang bukan aku saja yang kesusahan.
Batinnya kala itu.
"Aku bakal urus gosip di sekolah itu nanti, teror cewek posessif itu benar-benar mengerikan. Tapi, jangan suruh aku pakai kekuatanku terus, karena aku benci melakukannya."
"Ma-maaf ...."
Gadis itu dilanda kebingungan, dia tidak tahu ekspresi apa dan jawaban apa yang cocok untuk kondisi tersebut. Untuk sementara, permintaan maaf adalah keputusan yang dia pilih.
"Maaf buat apa?" tanya Rafa.
"Buat apa saja."
"..."
Percakapan mereka terputus di sana. Rafan tidak lanjut bicara dan Kirania tidak menemukan topik yang cocok untuk menggantikannya.
Kutukanku cuman merugikan diriku sendiri, efeknya tidak akan membuat masalah terlalu besar jika aku bisa menjaga rahasia. Tapi, kekuatan Rafan berbeda, dia bisa mempengaruhi banyak orang dan terus hidup bersama menahan semua efeknya.
Batin Kirania menanggapi percakapan barusan.
*****