Chapter 20 - Amalia

Semakin dalam mereka berjalan, semakin buruk pula kondisi lingkungannya. Retak-retak jalan aspal tipis berbatu, membuat air hujan menggenang di beberapa lubang yang terbentuk di tengahnya. Ilalang tinggi yang tumbuh di berbagai sudut perumahan, hanya sedikit dari tempat di sana yang benar-benar terlihat hidup, sisanya seperti ditinggal oleh pemiliknya.

Mereka berdua berjalan terus, sampai pada akhirnya berhenti di rumah besar dengan model tradisional.

"Kita sampai. Di sini tempatnya," ucap Rafan memberitahu Kirania.

"Di sini?" tanya Kirania dengan nada ragu.

Rumah di depan ada cukup jauh, atau lebih tepatnya tanah pemilik rumah begitu luas. Bangungan yang ada di tengahnya hanya menempati sekitar 30% dari seluruh lahan. Didominasi dengan pepohonan dan rimbun taman nuansa tradisional, tempat ini terkesan seperti tempat perdukunan.

"Iya, di sini," jawabnya sambil melangkah mendekati pintu depan rumah tersebut.

Rafan berjalan mantap tanpa bergeming sedikit pun, langkahnya murni tanpa keraguan. Walaupun kondisi lingkungan di sana terlihat misterius, laki-laki itu bersikap seakan sudah terbiasa.

"Tu-tunggu, Raf. Jangan cepat-cepat," susul gadis itu ingin berjalan di samping Rafan.

Hal ini berbeda dengan Kirania, gadis itu sedikit bergeming melihat lingkungan di sana. Beberapa kali Kirania meenggerakan kepala ke samping kanan dan kiri, gadis itu tetap penasaran dan berusaha mengenal tempat tersebut.

Di sepanjang mata memandang, dia tidak melihat kehadiran orang sama sekali, baik penduduk setempat maupun pejalan kaki. Tempat tersebut benar-beanr jauh dari keramaian, cukup hingga membuat pendengarannya tidak mendeteksi suara manusia.

"Uhm-uh."

Kirania menggeleng cepat dua kali sambil menutup mata, itu adalah tindakan untuk mereset kembali pikiran di kepalanya. Lingkungan yang tidak bersahabat membuat dia mulai berpikiran buruk.

Tenang ... di sini aku gak sendiri.

Batinnya menenangkan diri sambil sekilas melihat Rafan.

Mereka pun sampai di depan pintu, berdiri dan siap untuk mengetuk permisi pada pemilik rumah.

Rumah tersebut memiliki dua lantai, cukup besar dan melebar ke lahan belakangnya. Aksesoris sekitar juga cukup unik, banyak yang terbuat dari kayu seperti pola kerajinan bertema tumbuhan-tumbuhan hingga membangun nuansa rumah adat.

*Knock ....

Rafan mengetuk pintu itu sekali. Awalnya dia berniat untuk mengetuk dua kali, tapi ....

*Ceklek, ngiiik ....

Kunci tersebut lebih dulu terbuka dan mendorong dirinya sendiri hingga memberi jalan masuk pada mereka berdua.

"Oke, sip. Penghuninya berarti ada di rumah," ucap Rafan yang mau melangkah masuk.

"Tu-tu-tu-tu-tunggu, Raf!" kata Kirania sambil memegang tangan Rafan mencegahnya masuk.

"Ada apa? Bukannya kamu yang mau cepat-cepat ketemu orang itu?"

"Kamu yang ada apa!? Maksudku ..., kamu beneran ketemu orang, 'kan? Barusan itu serem banget. Kamu gak ketemu hantu, 'kan? Mungkin saja kamu stres gara-gara kekuatan kamu terus berhalusinasi punya teman sama hantu."

Kirania mengatakannya dengan cepat, adrenalinnya sedikit terpacu oleh suasana yang menurutnya tidak nyaman.

"Nia, kamu kebanyakan nonton film," Ujarnya berdalih untuk menghilangkan delusi Kirania.

"Kalau gitu jelasin kenapa pintu barusan kebuka sendiri!?"

"Oh ... itu, itu cuman kendali jarak jauh. Rumah ini rumah pintar."

"...!?"

"...!?"

Bukan Rafan, suara tersebut berasal dari sisi lain dan muncul dari dalam rumah.

*Step, step ....

Langkah kaki terdengar dari dalam. Ketika mereka berbalik dan melihat sumber suaranya, muncul seseorang yang mulai mendekat dan menampakan tubuhnya.

"Eh?"

Kirania cukup terkejut, berbagai kemungkinan seram yang muncul di kepalanya dipatahkan oleh kemunculan orang tersebut.

Perempuan ...?

Dari bentuk wajahnya, dia terlihat lebih dewasa, tapi tetap jauh dari kata tua, mungkin umurnya dua sampai tiga tahun lebih tua. Rambutnya panjang terurai sekitar bahu bewarna kecokelatan, kulitnya mulus seperti marshmallow, dan matanya ....

Hijau? Abu-abu? Cokelat?

Sedikit tidak jelas. Seperti berbagai warna saling menindihi satu sama lain sehingga tidak menampakkan satu warna tegas. Tapi, itu tidak mengubah fakta penting dari wanita tersebut.

Dia cantik. Pakaian terusannya yang simpel dengan warna biru kehijauan memberi kesan tenang.

Kirania sedikit menyembunyikan wajahnya, dia mulai mulai merasakan tekanan batin menghadapi wanita dewasa yang tak dikenalnya.

"Rafan, jadi sekarang kamu bawa temanmu?" ucap wanita itu dengan wajah berseri.

"Iya," jawab Rafan memiringkan tubuh untuk mempertemukan Kirania yang sejak tadi bersembunyi di balik punggungnya. "Namanya Kirania, teman sekelasku."

"..."

"..."

Mereka berdua diam sesaat, Kirania sedikit melirik Rafan untuk meminta bantuan sebagai wakil bicara, tapi laki-laki itu mengabaikannya. Dia pun menghadapi orang tersebut sendiri.

"Ki-kirania," ucapnya sedikit gugup sambil membungkukkan kepala ke bawah menghindari tatapan langsung.

"Ehehe ...." Gadis itu terkekeh melihat tingkah Kirania.

Melihat hal tersebut, Amalia pun maju mendekat karena jaraknya barusan cukup jauh dan bahkan tidak memungkinkan mereka bersalaman. Setelah dekat, Amalia pun sedikit membungkuk dan menghadapkan suatu benda ke gadis tersebut.

Hn?

Kirania sedikit bingung dengan apa yang dilihatnya di depan wajahnya. Dia melihat catatan kecil dengan tulisan yang seakan sengaja dibuat dan ditunjukkan padanya.

Halo, halo ... aku Amalia, panggil saja Lia. Boleh aku panggil kamu Nia kayak Rafan?