"Shiro.. Lho kok kamu dari kantin?" tanya bu Umi, seorang guru Fiqih dan wali kelasku tahun lalu.
"Iya bu, itu.. Tadi di ajak ngobrol sama bu Ririn." jawabku, sedikit melebarkan senyuman.
"Ehm, masak pas jam pelajaran masih berlangsung kaya gini?" tanya bu Umi, tersenyum dan merasa ragu akan perkataanku.
"Hehe.. Itu boleh saya bantu bawakan bu bukunya?" kataku, menunjuk tumpukan buku yang sedang dibawa oleh bu Umi.
"Boleh..." jawab bu Umi dengan senyuman.
Aku berjalan perlahan di belakang bu Umi, mengikuti beliau menuju ke komplek kelas Xl lantai 2. Sesampainya di ruang kelas yang sedang beliau ajar, aku terkejut melihat penghuni kelas tersebut yang kebanyakan adalah orang-orang yang aku kenal.
"Assalamualaikum." kata bu Umi, memberi salam.
"Waalaikumsalam buuu.." jawab siswa-siswi kelas Xl IPS-3, menyambut kedatangan bu Umi.
"Wah wah wah.. Murid kesayangan guru datang!" seru Andik, salah satu teman dekatku. Anak-anak lain pun mulai menyorakiku, namun aku sama sekali tidak menghiraukan mereka dan tetap berjalan dengan santai di belakang bu Umi.
"Ehem ehem." Seorang gadis yang duduk di bangku paling depan menyapaku dengan deheman yang dihiasi senyuman manis di wajahnya. Dia adalah Olive, teman sekelasku tahun lalu dan salah satu gadis tercantik di sekolah.
"Kalau gitu saya pamit ke kelas dulu bu." Setelah menaruh buku yang aku bawa di atas meja, aku pun pamit kepada bu Umi.
"Iya. Terimakasih loh ya." kata bu Umi dengan senyuman.
Saat berjalan keluar, aku sedikit menoleh ke samping dan melihat Sunny yang tersenyum manis ke arahku. Aku dan Sunny pernah sangat dekat dan bahkan sering dikira berpacaran. Namun kedekatan kami perlahan memudar tanpa aku ketahui penyebabnya. Aku merasa jika entah kenapa dia marah kepadaku karena sejak semester kedua tahun lalu, Sunny sama sekali tidak pernah lagi berbicara denganku.
.
.
Sesampainya di kelas, sudah tidak ada sosok pak Harry karena mata pelajaran matematika sudah berakhir. Aku langsung pergi ke tempat dudukku dan melihat ada tas lain berada di atas meja.
"Eh, kenapa tadi kamu tiba-tiba keluar?" tanya Niken, menyambut kedatanganku.
"Kebelet." candaku, sedikit menyeringai.
"Ihh.. Serius ah." kata Niken, menepuk manja pundakku.
"Ya aku keluar karena aku nggak boleh ikut pelajaran aja. Kalau aku maksa ikut, ntar kalian malah nggak akan diajar. Kan jadi salah akunya." jawabku, mencoba mengakrabkan diri.
"Kenapa gitu?" sahut Putri, teman sebangku Niken. Dilihat dari penampilannya, Putri terlihat seperti gadis baik-baik yang memakai jilbab dan rok panjang, dan terlihat seperti seorang gadis dari keturunan timur tengah. Ia sangat cantik dan memiliki wajah kalem yang menyenangkan. Jujur saja, sebenarnya aku merasa sangat beruntung bisa satu kelas dengan Putri dan Niken.
"Yaa.. Tahun kemarin aku nggak naik kelas. Dan salah satu penyebabnya adalah tadi, aku nggak boleh ikut beberapa mata pelajaran." jawabku, sedikit melebarkan senyuman.
"Oh..." kata Putri dan Niken, mengangguk-angguk.
"Trus kalau kamu masih kaya gitu trus, bisa-bisa kamu nggak naik kelas lagi dong." kata Niken, menengadahkan kedua tangannya.
"Ya ntar cari jalan keluarnya lah sambil jalan. Ngomong-ngomong ini yang duduk sebelahku mana anaknya?" tanyaku, penasaran dengan pemilik tas yang ada di sampingku.
"Si Revy. Ijin ke toilet tadi katanya. Tapi tau tuh, nggak balik-balik." jawab Niken.
"Ken, ke toilet bentar yuk." sahut Putri, mengajak Niken.
"Yok." Niken menoleh ke arahku dan berkata, "Ikut nggak?"
"Boleh?" tanyaku genit.
"Jangan ngada-ada kalian. Ayuk ah." sahut Putri.
"Oiya, nama kamu siapa sih?" tanya Niken.
"Panggil aja Shiro" jawabku singkat.
"Ayuk ah Ken, keburu ada guru ntar." sahut Putri lagi, menarik lengan Niken.
"Iya iya iya." Dengan begitu Niken pun pergi keluar, mengikuti Putri.
Aku melihat ke sekitar dan bingung kepada siapa harus bercengkrama. Karena aku tidak pandai dalam hal basa basi perkenalan, aku pun menelungkupkan wajah ke bawah meja dan tidur. Namun hanya sekejap aku tertidur, aku dibuat kaget dengan suara gebrakan meja yang keras. Aku membuka mata dan terkejut melihat sosok nenek sihir yang berdiri tepat di samping mejaku.
"Kamu ini niat sekolah atau tidak?! Berapa kali saya harus bilang, jangan tidur di kelas!!" sentak bu Fitri, menggedor meja di hadapanku.
"Siswa tidur emang di kelas bu, masa di toilet." keluhku sambil mengeluarkan satu-satunya buku yang aku bawa di dalam tas.
Para siswa lainnya pun tertawa terbahak-bahak karena mendengar celotehanku. "Diam kalian!!" teriak bu Fitri, kembali menggedor meja yang ada di hadapanku. "Apa ada yang lucu!!" tanya bu Fitri kepada seisi ruangan kelas, membuat suasana kelas menjadi sangat hening seketika.
Disaat suasana kelas lagi tegang, tiba-tiba muncul 2 orang siswa yang berjalan memasuki ruangan kelas dan dengan santainya duduk di sampingku tanpa memiliki sedikitpun rasa bersalah.
"Siapa yang suruh kalian untuk duduk?!" sentak bu Fitri, memelototi mereka berdua.
"Kami murid kelas ini bu." jawab Daniel, seorang cowok yang sepertinya sosok orang yang selalu santai dalam segala situasi.
"Lalu?! Siapa yang suruh kalian untuk duduk?!" sentak bu Fitri lagi, mengulangi pertanyaannya.
"Tadi saya ijin ambil seragam bu." jawab Daniel.
"Saya tadi ijin pulang bu, kakek saya meninggal." sahut Revy, siswa yang duduk di sebelahku.
Berbeda dengan Daniel yang menjawab pertanyaan bu Fitri dengan tenang, Revy malah menjawab pertanyaannya dengan cengengesan, membuat nenek sihir itu semakin naik darah.
"Kalian ini sudah masuk terlambat, juga tidak punya sopan santun! Berdiri di luar kelas!!" bentak bu Fitri, menunjukkan telunjuk jarinya kearah pintu keluar.
"Saya tadi lihat, anda juga datang terlambat bu. Masa hanya karena kami itu murid, kalau terlambat disuruh keluar, sedangkan jika guru terlambat hanya perlu meminta maaf." protes Daniel, merasa keberatan dengan perintah bu Fitri.
"Kalian ini murid baru, sudah tidak ada sopan santun, banyak membantah! Cepat keluar!!" bentak bu Fitri, menegaskan perkataannya.
Walaupun bu Fitri tidak sedang berbicara denganku, aku berdiri dan melangkahkan kakiku berjalan keluar kelas yang kemudian diikuti oleh Revy yang berjalan di belakangku dengan penuh semangat.
Melihatku tiba-tiba berjalan keluar ruangan, dengan raut wajah sinis bu Fitri berkata, "Shiro! Siapa yang nyuruh kamu keluar?! Kamu pulang saja dan jangan pernah kembali lagi ke sekolah ini!!" Tanpa sedikitpun menggubris ucapan dari nenek sihir tersebut, aku pun terus melangkahkan kakiku berjalan keluar kelas.
Sementara itu, "Kamu nunggu apa?!" bentak bu Fitri, memelototi Daniel yang masih duduk dengan santai di meja depanku.
Daniel menghela nafas, dan dengan raut wajah malas ia pun terpaksa berjalan keluar ruangan, menyusul kami berdua.
"Baiklah.. Perkenalkan nama saya Fitri Supriyanti, wali kelas kalian di kelas X-7. Kalian sekolah itu bukan hanya untuk berpacaran tidak jelas dan menghabiskan uang orang tua. Sekolah juga untuk belajar sopan santun. Jadilah pribadi yang disiplin yang mengerti norma. Jangan seperti mereka, kalian harus mentaati peraturan yang ada di sekolah ini. Baru masuk sudah mau jadi berandalan. Apalagi yang namanya Shiro! Sudah tidak naik kelas masih saja tidak kapok! Apa kalian paham?!"
"Paham buuuu..." ucap para murid X-7.
"Baiklah, baca buku LKS kalian halaman 2 dan jangan berisik." Dengan begitu, pelajaran biologi pun berlangsung dengan sangat sunyi.
Sementara itu di depan kelas...
"Eh, mau kemana?" tanya Revy.
"Parkiran." jawabku singkat sambil terus berjalan.
Tanpa pikir panjang, Revy dan Daniel pun mengendap-endap berjalan menyusulku.
"Lewat mana?" tanya Revy lagi.
"Samping sana. Abis ini kan istirahat. Sekalian aja." jelasku.
"Oh." Revy dan Daniel terus mengikutiku berjalan menuju ke gerbang samping, satu-satunya jalan keluar dari area sekolah yang jarang di jaga.
"Kakekmu meninggal masih berangkat sekolah aja..." kataku, membuka percakapan.
"Meninggalnya dah lama soalnya." jawab Revy, tersenyum lebar tanpa suara.
"Pantes aja si Fitri naik darah. Tu nenek sihir selalu peka sama tipe orang kayak kamu." kataku, menoleh ke samping, melihat siswa-siswa lain yang sedang berolahraga di lapangan. "Lagian, kalau dia dah ngomel-ngomel kaya gitu, mending kalian cepet turuti aja apa kemauannya. Selain bakal tambah ribet, kasihan juga anak-anak yang lain ntar." imbuhku.
"Kamu kenapa mengulang kelas?" tanya Daniel.
"Ya karena aku dulu seperti kalian." jawabku, memasuki warung mas Yan dan langsung mengambil sebatang rokok di lemari.
Mendengar suara orang datang, mbak Sri, ibunya Kikok muncul keluar dari balik pintu. "Bolos trus! Biar awet sekolahnya." sapa mbak Sri. "Pesen apa?" imbuhnya, menanyai kami.
Aku tersenyum kecil dan berkata, "Kikok sekelas ama aku e mbak ternyata."
"Es sirup aja mbak." jawab Daniel.
"Sama." sahut Revy, menyulut rokok yang ada di bibirnya.
"Lah ya. Mereka berdua ini juga pas MOS sering kesini sama Kikok." kata Mbak Sri sembari membuatkan minuman. "Aku lho malah jadi ngeri Ro anakku sekelas sama kalian." imbuhnya.
"Santai buk. Kikok orange betah di kelas kok. cewek sexinya banyak soalnya." sahut Revy, duduk di sebelahku.
"Haduh haduh... Bocah zaman sekarang dah pada tahu cewek sexi. Belajar dulu yang rajin. Ntar cewek sexi pasti menghampiri." keluh mbak Sri, menaruh dua gelas minuman di atas meja.
"Gitu mbak?! Mosok loh?" seru Revy, menanggapi perkataan mbak Sri dengan mendramatisir.
Sedangkan aku yang sudah hafal akan sifat mbak Sri yang cerewet dan blak-blakan pun hanya bisa senyum-senyum sendiri mendengarkan ceramahnya.
.
.
Beberapa jam kemudian di jam pelajaran terakhir, karena guru yang bertanggung jawab untuk mengajar sedang absen, kami pun disuruh untuk mengerjakan tugas di buku LKS secara berkelompok.
"Berapa soal yang sudah kamu kerjakan?" tanya Putri, berjalan menghampiriku.
"Cuma dua." jawabku singkat.
"Duaa?? Kamu ngapain aja sih? Ini hampir selesai loh waktunya. Kenapa baru dua soal doang yang udah kamu kerjain?!" kata Putri, merasa kesal.
"Karena aku cuma mampu bahagiain dua orang saja, yaitu kalian." kataku, tersenyum manis memandangi Putri, membuatnya agak salah tingkah dengan raut wajah yang memerah.
"Ehm, cieee... Seneng banget aku." sahut Niken, mendorong pundakku dengan manja. "Tapi kok di madu sih." imbuhnya, agak cemberut.
"Dah ah, jangan bercanda. Cepat kerjain. Waktunya dah mepet ini." kata Putri, menarik kursi dan duduk di sampingku sambil menahan senyum.
"Lagian kalian sih.. Yang namanya kerja kelompok itu di kerjain bareng-bareng. Eh, ini malah suruh kerjain ndiri-ndirik." keluhku, meraba-raba ke dalam laci meja untuk mencari pena.
"Iya iya. No talk. Cepet kerjain." kata Putri, memberiku sebuah pena.
Beberapa waktu kemudian saat bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi.
"Cepat kumpulkan!!" teriak Sinar, sang ketua kelas yang bertubuh mungil.
"Mana tugas kalian?" kata Sinar, menghampiri kami dan menodongkan tangannya.
"Nih, aku buatin spesial untuk kamu Sin." kataku, menyodorkan lembaran kertas hasil dari pekerjaan kami.
"Apaan sih, lebay!" sentak Sinar, dengan raut wajah judes merebut kertas yang aku pegang dan langsung pergi menghampiri meja lain.
Sesaat setelah Sinar semakin menjauh, Niken dan Putri pun terkekeh.
"Hahaha rasain... Emang enak?! Makanya jangan sembarangan gombalin orang!" kata Putri, sedikit menjulurkan lidahnya untuk mengejekku.
"Hehehe... Tenang aja, kan masih ada kita. Oh ya.. Abis ini main ke cafe yuk!" bujuk Niken dengan senyuman manja.
"Kapan-kapan aja, aku ada janji ama anak-anak." jawabku sambil memasukkan tasku ke dalam laci meja.
"Udahlah.. Ayok!" Niken memegang lenganku sambil melompat-lompat kecil dengan manja.
"Nggak bisaaa Ken.. Soalnya tadi aku dah janji nemenin mereka. Mending kalian jadi anak yang baik dan langsung pulang. Dicariin ortu ntar kalian." kataku, sedikit menyeringai.
"Aku ama Putri kan kost. Dah ayuk!" seru Niken, terus memaksaku.
"Kalau nggak mau ya jangan di paksa lah Ken." sahut Putri, sudah siap untuk pulang.
"Emang kalian kost dimana?" tanyaku.
"Depan pom." jawab Niken, sedikit mengembungkan pipinya.
Aku menghela nafas dan berkata, "Yaudah. Atau gini.. Kalian ikut kami aja. Ajakin temen cewek yang mau ikut kumpul. Sekalian untuk saling mengakrabkan diri. Ntar aku yang bilang sama Revy dan yang lainnya."
"Good idea!" seru Niken, mengacungkan kedua jempolnya dan tersenyum lebar.