Pada hari minggu pagi saat kami, anak-anak kelas X-7 mengadakan perjanjian untuk persiapan acara camping.
"Kak.. Kak... Ada yang nyariin kakak." kata adikku, menarik-narik kerah bajuku.
Walau masih merasa sangat ngantuk, aku pun bangun dan keluar untuk melihat siapa orang yang telah mengganggu waktu akhir pekanku.
Di teras rumah, aku melihat Revy dan Daniel yang sedang duduk santai.
"Malah masih tidur sih mas!" seru Revy, menyapaku.
"Ayo dah di tungguin ro.." sahut Daniel.
"Mau kemana?" tanyaku, menguap lebar dan duduk di sebelah mereka.
"Kita akan ada janji kumpul hari ini. Katanya sih..." jawab Daniel. "Kamu nggak di SMS Sufi?" imbuhnya.
"Nggak tau sih. Belum lihat HP dari kemarin." jawabku, kembali menguap.
"Anak-anak dah pada kumpul di kontrakan. Ini kita disuruh buat nyamperin kamu." kata Daniel lagi.
"Ditanyain Sinar terus tadi noh." sahut Revy.
"Yaudah yok." Mendengar nama Sinar, seketika aku pun menjadi bersemangat. Aku bergegas untuk mandi dan langsung berangkat tanpa terlebih dahulu makan sarapan pagi.
Dalam beberapa hari belakangan, aku terus mencoba untuk mendekati Sinar. Walaupun dia hampir selalu no respon, akan tetapi hal tersebut malah membuatku semakin menyukainya.
Sesampainya di Kontrakan Ucil yang ada di sebelah rumah Daniel. Di halaman depan kontrakan, aku melihat banyak sekali kendaraan yang terparkir.
"Jam segini baru dateng." kata Sinar, menyambut kedatangan kami.
Hampir seluruh anak X-7 telah berkumpul di ruang tengah, duduk melingkar seperti sedang berdiskusi.
"Emangnya kalian tahu jika hari ini ada janji kumpul?" kataku, menoleh ke arah Daniel dan Revy.
"Pas jam terakhir kemarin kan kita bolos. Jadi apa yang terjadi setelah itu ya... Aku mana tahu." kata Daniel, duduk di barisan paling belakang para laki-laki. Sedangkan Revy kemudian berjalan perlahan menghampiri barisan para perempuan yang ada di sebelah kanan lingkaran dan duduk di sana.
Satu-satunya tempat duduk yang aku inginkan hanyalah di sebelah Sinar yang berada di tengah lingkaran. Dan karena hampir tidak memungkinkan bagiku untuk dapat duduk di sana, dengan terpaksa aku pun duduk di sebelah Daniel.
Beberapa waktu kemudian...
Sudah hampir satu jam aku mengikuti rapat ini, membuatku merasa sangat bosan dan mengantuk.
"Mas, ayo nanti malem nongkrong di cafe depan." kata Mozek, mengajakku berbicara.
"Bayarin yaa..?" jawabku lemas, menyenderkan punggungku ke tembok.
"Tenang aja.. Agnes yang bakal traktir. Dia lagi ngadain pesta untuk ngerayain hari jadiannya ama Revy." kata Mozek, tersenyum tipis.
"Jadian??" Aku sangat terkejut mendengar perkataan Mozek tersebut. "Bajingan si Revy.. Apa dia memacari Agnes hanya untuk memoroti kekayaannya aja?" gumamku dalam hati, agak tidak rela.
Secara fisik, Agnes memang bukanlah wanita yang amat teramat cantik, namun dia juga bukanlah gadis yang jelek. Bisa dikatakan, nilainya adalah 6 dari 10. Dan yang paling penting... Agnes adalah anak tunggal dari keluarga yang kaya raya.
Walaupun aku baru mengenal Revy, namun aku sudah mampu menebak karakternya yang tergolong sebagai cowok bangsat. Selama satu minggu terakhir, aku dan Revy sangat sering menghabiskan waktu di kontrakan Ucil sampai semalaman suntuk. Kami juga sering pergi keluar bersama-sama dengan yang lainnya. Dan dari situ, aku bisa menilai sifat Revy yang suka berbohong dan sangat licik. Dan yang lebih parahnya lagi, dia tipe orang yang suka mencuri.
Aku memang tidak tega jika gadis sebaik Agnes hanya dimanfaatkan oleh bajingan seperti Revy. Namun aku juga tidak bisa mengganggu kebahagian Revy. Karena dia adalah salah satu orang yang paling berjasa bagiku untuk menyatukan 9 dari 10 kelas di kelas X.
Mungkin terdengar seperti cerita anak-anak sekolah di film Crows zero, akan tetapi semua ini adalah kenyataan yang terjadi di SMA Nusantara. Hanya dalam kurun waktu beberapa hari saja, aku telah berhasil menaklukkan 9 dari 10 kelas di kelas X. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berkeinginan untuk menguasai mereka, namun sejak hari pertama, dengan memanfaatkan namaku yang telah tersebar akan kenakalanku, Revy, Mozek dan Ucil telah berkeliaran memasuki seluruh ruangan kelas X dan memalak para siswa.
Tentu saja ada beberapa siswa yang menolak untuk menuruti perkataan mereka dan mengeroyok mereka bertiga. Dan di saat mereka di hajar oleh kelas lain, aku, Azka dan Kikok pun terpaksa turun tangan untuk membalaskan mereka. Dengan begitu, para murid di kelas X sama sekali tidak berani macam-macam lagi dengan kami dan menuruti semua perintah kami.
Aku yang tadinya melarang Revy untuk memeras mereka pun dengan perlahan mulai menikmati posisiku ini. Karena dengan menjadi bos di kelas X, aku bisa mendapatkan tambahan uang saku yang terbilang cukup banyak.
"Shiro!!" teriak Sinar, membuatku tersadar dari lamunanku. "Kamu dengerin aku nggak sih?!" katanya dengan nada jengkel.
"Uhm.. Maaf. Apa? Ngajak ngedate?" kataku, menggodanya.
Sinar terlihat kesal dan melemparkan pena yang sedang ia pegang ke arahku. "Nanti kamu ama anak cowok yang lain cari bambu buat tongkat. Kalau ada yang nggak mau bantu, hajar aja!"
"Merepotkan sekali..." gumamku pelan.
"Apa?!!" bentak Sinar, memelototiku.
Aku menghela nafas dan berkata, "Iya-iya... Anything for you lah pokoknya. Hehe.."
.
.
Setelah rapat selesai, kami pun berpencar untuk melaksanakan tugas masing-masing. Sedangkan aku dan beberapa siswa laki-laki pergi ke kebun milik omnya Kikok untuk mengambil bambu.
"Kulitku gatel-gatel gini. Kalau nggak buat kamu mah aku males banget Sin." keluhku, menggaruk-garuk tanganku yang terasa gatal akibat bulu bambu yang menempel.
"Udah kerjain aja. Ini tinggal bersihin bambunya dan ngasih warna doang." kata Sinar, duduk di sebelahku, mengawasi pekerjaan kami.
"Ya lah. Soalnya kamu tungguin disini. Jadi semangat akunya. Hehe.." Dengan perlahan, aku mencoba untuk merayu Sinar lagi.
"Kamu itu kenapa sih? Padahal si Niken kayaknya suka sama kamu. Tapi kamu malah kaya goda aku trus." tanya Sinar.
"Ya seleranya orang kan beda-beda. Dan aku lebih suka yang jutek kaya kamu. Jadi kaya ada gregetnya gitu. Heh he.."
"Gombal.." keluh Sinar, menahan senyum.
"Lagian, aku anggep Niken itu cuma sebagai sahabat. Begitu juga dengan Putri." Sejenak aku termenung membayangkan kebaikan mereka kepadaku. "Ya.. Aku sama mereka memang lebih baik sahabatan aja sih. Soalnya aku takut jika aku punya perasaan lebih sama mereka, nanti hubungan kita bakal rusak. Dan jujur aja, aku nggak pengen hubunganku sama mereka rusak." imbuhku, menuangkan isi hatiku.
Sejenak Sinar memandangi wajahku dan kemudian berkata, "Cowok sama cewek ga bakalan bisa punya ikatan persahabatan yang kekal. Suatu saat nanti jika kalian udah pada nikah, pasti ikatan itu bakalan renggang."
Aku terdiam dan membayangkan jika hal tersebut bakal terjadi nantinya. Dan memang hal tersebut juga pasti akan terjadi. Bukan hanya ikatan persahabatanku dengan Putri dan Niken, tapi juga dengan yang lainnya. Begitulah kehidupan.
Jujur saja, baru kali ini aku merasakan ikatan persahabatan yang seindah ini. Kami saling mengingatkan jika ada salah, saling melindungi, saling menasehati, saling membantu, dan yang lebih penting, kami saling menghormati satu sama lain, walaupun beberapa dari kami mempunyai kepercayaan yang berbeda-beda.
"Ya makanya.. Aku sama kamu harus lebih dari sahabat, biar ga bakal renggang." kataku, perlahan merangkul pundak Sinar.
"Lepasin nggak!" sentak Sinar dengan raut wajah datar.
"Jangan galak-galak gitu dong, Saysin. Nanti manisnya ilang loh." kataku, melepaskan rangkulan dan mengedip-ngedipkan bulu mataku untuk menggodanya.
"Saysin? Apaan tuh??" tanya Sinar penasaran.
"Sayang Sinar kalau disingkat kan Saysin hehehe..."
Raut wajah Sinar pun memerah. Ia memukul pundakku dengan manja seraya berkata, "Gombal teruuussss..."
"Tapi kamu suka kaaan?" kataku, mencoba untuk merangkulnya lagi.
"Pegang aku lagi. Aku tonjok kamu!" kata Sinar dengan wajah serius.
Karena tidak mau membuatnya marah, aku pun mengangkat kedua tanganku seraya berkata, "Ampun kakak."
Sedangkan Sinar yang terlihat sedang mencoba untuk menahan senyum pun hanya diam sambil mengetik pesan di handphonenya.
Walaupun aku tidak tahu pasti bagaimana perasaannya terhadapku. Namun aku bisa merasakan jika perlahan, Sinar mulai sedikit membuka hatinya untukku. Aku sudah bisa melihat bahwa sedikit lagi Sinar pasti akan menjadi milikku. Namun kehidupan tidak bisa selalu berjalan selancar yang kita inginkan.
Menjadi remaja itu sulit. Banyak kesalahan yang akan kita lakukan. Kita akan menyesal dan menangis. Menangis lagi dan lagi. Kadang aku berfikir jika orang dewasa hanyalah remaja terluka yang beruntung dapat selamat dari masa transisi.