Chereads / Cinta dan Kebencian / Chapter 7 - 7. Suka jadi benci

Chapter 7 - 7. Suka jadi benci

Hari Kamis, istirahat pertama...

"Eh, mas. Ada yang nyangkut nggak?" tanya Revy, menanyakan hasil sementara dari event Pekta.

Bicara soal Pekta tahun ini. Aku sama sekali tidak menyangka jika aku begitu populer, terutama di kalangan anak kelas X. Hanya dalam kurun waktu 3 hari, Bu Fitri mengabariku jika ada lebih dari 50 murid perempuan yang ingin dekat denganku. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak kelas X, dan beberapa diantaranya berasal dari kelas X-7.

Yap, Niken. Niken adalah salah satu dari anak kelas X-7 itu. Namun sayangnya, dari keenam murid X-7 yang ingin dekat denganku, tidak ada nama Sinar diantaranya.

Yang tidak aku habis pikir. Kenapa Niken repot-repot mengikuti Pekta, jika dia sendiri sudah mempunyai kontakku dan terbilang sangat dekat denganku. Dirinya sendiri pun harusnya sudah tau jika aku pun pasti sudah sadar jika dia menaruh perasaan suka kepadaku. Salah satu hal yang aku kagumi dari Niken. Dia memang tipe orang yang pantang menyerah.

"Ha? Ada sih beberapa. Kalian gimana?" tanyaku.

"Dikit. Anak-anak dah pada tau kalo aku jadian sama si Agnes." jawab Revy, agak menyesal.

"Lagian kamu tu dah beruntung banget dapet si Agnes. Mending kamu fokus aja sama dia. Aku jamin bakal enak ntar hidupmu." kataku menasehati Revy.

"Revy mana bisa bersyukur ro.." sahut Daniel yang duduk di meja depanku.

"Namanya cowok, kalo bisa 2 ngapaen 1, ya nggak Ken?" seru Revy, menoleh ke samping ke arah Niken yang duduk di meja belakangku.

"Aiisshh..! Aku dah diem-diem nguping malah kamu ajak ngomong!" keluh Niken.

Aku sedikit terkekeh dan kemudian menghadap ke samping. "Kalo kamu gimana Put?"

"Ya.. Gituk. Ada beberapa." jawab Putri, sedikit tersenyum.

"Kalo Niken pasti banyak nih fansnya." kataku seraya berdiri.

"Nggak ada. Orang aku minta ama bu Fitri buat nolak semuanya selain kamu." kata Niken, agak kecewa, dan secara tidak langsung mulai berani mengakui perasaannya kepadaku. "Mau kemana?" imbuhnya.

"Toilet bentar. Lagian kamu, dah punya kontakku malah masih ikut gituan segala." Seraya berjalan keluar kelas, aku pun terkekeh.

Di toilet belakang, aku melihat anak-anak kelas lain yang sedang merokok. Mungkin terdengar jorok dan kurang kerjaan, namun hal tersebut sudah bukan pemandangan baru lagi bagiku. Karena tahun lalu nongkrong di toilet juga pernah menjadi kebiasaanku.

Setelah aku selesai dengan urusanku di toilet, aku memalak rokok anak-anak tersebut dan pergi ke gerbang samping sekolah. Seperti biasa, saat aku sedang jenuh untuk melakukan apapun, aku selalu pergi ke tepi lapangan untuk merokok sambil menikmati angin yang berhembus.

"Kamu ini di sekolah ngerokok terus! Mana minta rokokmu." kata pak Reza, salah satu guru olahraga yang mempunyai tubuh atletis.

Walaupun dia tidak pernah mengadukanku ke pihak sekolah, namun aku tidak terlalu menyukainya. Hal tersebut dikarenakan dia adalah seorang guru bejat yang hobi mengencani para siswinya sendiri.

Tanpa banyak basa-basi, aku langsung menuruti perkataan pak Reza karena aku terlalu malas untuk berdebat dengan orang yang merepotkan seperti dia.

"Jangan lama-lama disini. Nanti kalau pak Aris lihat kamu bisa dilaporin." kata pak Reza, bejalan pergi meninggalkanku.

Hanya beberapa saat setelah pak Reza memperingatkanku, suara tegas Sinar mengagetkanku. "Shiro! Kamu ngapain?!!"

Aku bergegas mematikan rokokku dan menyembunyikannya di belakang bajuku. "Saysin.. Napa kamu makek baju olahraga?" kataku, agak gugup.

Sinar bergegas menghampiriku dan menyeretku menjauh dari tempat dudukku. "Ini apa?! Kenapa kamu ngerokok di sekolah?!" kata Sinar yang terlihat sangat marah.

Aku yang sudah tidak bisa mengelak pun hanya bisa terdiam dan memandang ke tanah. Pada dasarnya Sinar memang tidak suka dengan cowok perokok. Namun dia masih bisa mentoleransinya saat kita berada di luar lingkungan sekolah.

"Aku laporin kamu yah!" kata Sinar, berjalan pergi meninggalkanku.

Aku menghela nafas dan menggaruk-garuk rambutku. Walaupun aku tidak terlalu menganggap serius perkataan dari Sinar, namun kejadian ini membuat usahaku untuk merebut hatinya terasa semakin sulit.

Aku baru ingat, jika jam ini adalah jam kelasku untuk pelajaran olahraga yang di bimbing oleh pak Aris.

Aku kembali menghela nafas dan kemudian beranjak berdiri untuk kembali ke kelas.

Sesampainya di kelas, aku melihat sosok bu Fitri yang terlihat geram dan teman-teman sekelasku yang terdiam melihatku datang. Aku berjalan memasuki kelas dengan perasaan panas dingin, seakan aku sudah dapat melihat hal buruk yang akan menimpaku.

"Kamu pulang saja. Mulai besok tidak usah lagi sekolah disini. Saya tidak sanggup jika harus terus menerus bertanggung jawab menanggung kenakalanmu." kata bu Fitri yang terlihat sangat serius dengan ucapannya.

Kata-kata bu Fitri membuatku terdiam di tempat. Bukannya aku terkejut. Aku sudah bisa menebaknya. Hanya saja, aku berharap jika semua ini hanyalah mimpi.

Aku menoleh kearah teman-teman sekelasku yang nampak terkejut akan ucapan bu Fitri. Terlebih lagi Sinar, memandangiku dengan raut wajah penuh penyesalan. Mungkin ia sangat menyesal atas tindakannya. Namun semuanya telah terjadi, perjalananku di sekolah ini terhenti sampai disini.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku berjalan mengambil tasku dan kemudian meninggalkan ruangan kelas dengan perasaan yang bercampur-aduk.

.

.

Karena bingung harus berkata apa kepada kedua orang tuaku yang ada di rumah, aku pun hanya bisa bermalas-malasan di kost mas Yan.

"Kamu ini masih suka bolos terus. Ntar kalo dikeluarin baru tau rasa..." kata mbak Sri sambil menyetrika seragam anak-anak kos.

"Emang dah dikeluarin barusan." kataku lemas.

"Hah? Kok bisa loh?" kata mbak Sri, seakan tidak percaya.

"Dilaporin ama Sinar kalau lagi ngerokok di sekolah." jawabku pelan.

"Laaahhh... Bukane Sinar itu pacarmu? Kok tega ngelaporin loh." kata mbak Sri, kembali menyetrika.

"Pacar, kah...?" kataku dalam hati.

Memang akhir-akhir ini teman-temanku dari kelas 2 mengira aku telah berpacaran dengan Sinar karena aku dan Kikok sering membahas tentang Sinar di kos. Banyak dari mereka yang penasaran dengan sosok Sinar, seorang gadis yang mampu membuat aku yang anti pacaran ini tergila-gila kepadanya. Namun pada kenyataannya... Nasibku tak seindah yang mereka bayangkan.

Karena kepalaku terasa sangat pusing, aku pun pamit ke mbak Sri untuk pulang. Namun sebenarnya aku hanya pindah tempat ke kontrakan Ucil untuk tidur.

Sesampainya disana, aku mengambil kunci pintu di pot tanaman dan langsung membuka pintu masuk. Sejenak aku membuka handphoneku dan berfikir untuk mengabari kedua orangtuaku. Namun aku belum punya keberanian untuk dapat menyampaikan berita buruk ini kepada mereka.

Karena tidak tau apa yang harus aku lakukan, aku pun berbaring di kamar Ucil hingga akhirnya aku pun tertidur.

Beberapa jam kemudian...

"Mas, bangun." kata Ucil membangunkanku.

Perlahan aku membuka mata dan melihat Ucil yang sedang mengganti baju.

"Dicariin anak-anak noh." kata Ucil lagi.

Aku membuka handphoneku dan tidak menjawab perkataan Ucil. Seperti yang aku kira, banyak sekali pesan masuk dan panggilan terlewat.

Aku membuka pesan dari Putri dan membalasnya.

"Di kontrakan. Kamu dimana?" to Putri.

Tidak butuh waktu lama, Putri langsung membalas pesanku.

*Beep* "Aku di rumahnya Kikok. Ini kamu dicariin Niken ama Sinar. Sinar nangis trus dari tadi." Putri

"Nangis kenapa? 🙄. Nggak usah kasih tau kalo aku lagi disini." to Putri

*Beep* "Temuin bentar. kasian." Putri

"Kalo kamu ngasih tau dia aku ada di kontrakan, aku ga bakal hubungi kamu lagi."

Aku melempar handphoneku ke samping dan kemudian beranjak berdiri untuk membasuh muka.