Tahun ini, bersama dengan orang-orang baru, untuk yang kesekian kalinya aku kembali merubah sebagian besar sifatku. Bagaikan seorang anak yang ingin mencari jati diri. Saat memulai sesuatu yang baru dan bertemu dengan orang-orang baru, aku selalu menunjukkan wajah dan sifat yang baru pula. Selain itu, aku juga mempunyai kemampuan untuk dapat memahami lawan pemikiranku, membuatku merasa tertekan dengan sifat-sifat yang saling bertolak belakang satu sama lainnya.
Di sebuah cafe tidak jauh dari pusat kota, 13 dari 47 murid kelas X-7 berkumpul dan saling bercengkrama.
"Aku kalau di kelas tuh serasa kaya sekolah di luar negeri, banyak bulenya." ucap Mozek, seorang cowok berbadan kekar yang berbrewok lebat. Penampilan Mozek yang terlihat dewasa hampir sulit untuk di percayai jika dia masihlah anak remaja berusia 16 tahun.
"Kalau aku sih cuek bodo amat! Mau aku pendek item dekil kek, yang penting mah tetep PD aja." Sahut Ucil sambil memakan kentang goreng yang ada di hadapannya dengan lahap.
"Kamu mah emang nggak punya malu Cil. Hehe." sahut Agnes terkekeh pelan. Agnes adalah gadis keturunan Tionghoa dan merupakan anak tunggal dari keluarga terkaya di kota Mataram.
"Kamu ini juga blesteran kan Ken?" tanya Revy.
"Hu'umb. Daddyku orang inggris keturunan Germany." jawab Niken yang kemudian meminum minumannya.
"Lah trus mamimu?" tanya Zahra, seorang gadis yang juga keturunan arab, sama seperti Putri. Namun tidak seperti Putri yang selalu berpakaian tertutup di dalam maupun di luar sekolah, Zahra hanya mengenakan pakaian tertutup saat bersekolah dan acara-acara resmi.
"Asli Batavia. Eh, abis ini karaoke yuk!" seru Niken dengan penuh semangat.
"Boleh-boleh tuh!"
"Pada dicariin emak kagak ntar?"
"Aku ikut aja sih."
Anak-anak yang lain sedang asyik bercengkrama satu sama lain, namun aku hanya bisa menyimak sambil menikmati sebatang rokok yang aku hisap.
Beberapa jam kemudian, di depan cafe.
"Aku anterin ya? Dah malem gini." kataku kepada Putri.
"Trus Niken gimana?" tanya Putri.
"Ya gantian nanti nganterinnya. Motorku sport soalnya. Cuma bisa bonceng 1 doang." jawabku pelan, memandangi anak-anak lain yang berhamburan keluar dari tempat parkir.
"Yuk pulang. Shiro, kamu anterin kita ya sekalian?" sahut Niken, menepuk pundakku dari belakang.
"Mana bisa sekalian. Cuma muat satu orang jok belakang." kataku pelan, menoleh ke arah Niken.
"Kita naik taxi aja lah Ken. Kasihan Shiro nanti harus bolak-balik." sahut Putri, hendak menelfon taxi.
"Ih bisa bisa. Coba dulu." Niken meraih tangan Putri untuk membatalkannya melakukan panggilan.
"Kamu ini ngenyel banget sih Ken. Yaudah, kalo gitu kamu aja yang bareng Shiro. Biar aku naik taxi sendiri." keluh Putri, merasa agak kesal.
"Uhm.. Aku nggak papa kok harus bolak-balik nganter kalian." Karena takut mereka bertengkar, aku pun menyela pembicaraan mereka.
"Jangan lah. Kasihan kamu nanti." kata Putri, bersikukuh dengan pendiriannya.
Niken juga terlihat agak kesal, dan seperti dengan terpaksa, ia pun menuruti perkataan Putri. "Yaudah aku temenin kamu aja naik taxi."
Aku masih stay di depan cafe menemani mereka. Hingga tidak lama kemudian, taxi menjemput mereka untuk mengantarkan mereka pulang.
"Kalau matic mah bisa bonceng dua mas." kata Ucil yang juga masih stay di cafe bersama dengan Daniel.
"Besok kamu belilah biar aku bisa pinjem. Kalian abis ini mau kemana?" kataku kepada Ucil dan Daniel.
"Ke rumahnya Daniel. Aku mau kontrak di situ. Tanya-tanya dulu sama bapaknya." jawab Ucil.
"Yaudah aku balik dulu kalo gitu." kataku, berjalan menjauh seraya melambaikan tangan.
Walaupun tadi aku hampir sama sekali tidak berkontribusi dalam perbincangan, namun aku merasa senang bisa berkumpul dengan mereka. Sudah cukup lama aku tidak merasakan perasaaan bahagia seperti ini. Tahun lalu, di luar sekolah mungkin aku masih mempunyai beberapa teman. Namun saat sudah memasuki wilayah sekolah, mereka semua menjauhiku, takut akan masalah yang mungkin akan mereka dapatkan jika bergaul bersamaku. Selain itu aku juga sadar, jika sebuah jalinan pertemanan tidak mungkin bisa semanis perkenalan. Oleh sebab itu aku sedikit takut jika mereka yang bersamaku hari ini juga akan pergi dan bersikap tidak lagi peduli.
.
.
Beberapa hari kemudian, hari Jum'at pada jam pelajaran ke 2. Kami, kelas X-7 sedang belajar mapel bahasa jawa. Suasana kelas terasa sangat hening. Bahkan anak-anak yang suka ribut pun sama sekali tidak berani untuk bersuara. Hal tersebut dikarenakan guru yang membawakan mapel fisika di kelas kami adalah bu Heny, seorang guru yang aura intimidasinya bahkan lebih dahsyat daripada si nenek sihir bu Fitri. Selain terkenal sebagai guru yang tegas dan galak, bu Heny juga terkenal sadis. Beliau tidak segan-segan untuk menghancurkan mental anak-anak didiknya di hadapan orang banyak hanya karena mereka kurang pandai dalam mapel yang beliau ajarkan.
"Siska Auliya, maju ke depan dan terjemahkan halaman 4 bagian pertama ke dalam aksara jawa. Niken Rachelia, terjemahkan halaman 4 bagian kedua." kata bu Heny dengan suara lantang.
Niken dan Siska perlahan berjalan maju ke depan untuk menerjemahkan beberapa kalimat ke dalam aksara jawa di papan tulis. Sudah lebih dari 5 menit mereka berdiri di depan, namun tidak banyak yang mampu mereka terjemahkan.
"Trus saja berdiri kaya model. Saya ini bukan guru tapi juri." kata bu Heny, menyindir Niken yang terlihat tidak terlalu serius berdiri.
Walaupun kena sindir oleh bu Heny, namun Niken sama sekali tidak memperdulikannya dan masih berdiri dengan gaya sesuka hatinya.
Bu Heny beranjak berdiri dari mejanya dan menghampiri Siska. Sejenak beliau memperhatikan pekerjaan Siska dan kemudian menatap Siska dengan sorot mata tajam. "Ada gambar cowok gantengnya ya di buku kamu?" tanya bu Heny kepada Siska yang sejak tadi terus memperhatikan buku yang sedang ia pegang.
"Tidak bu." jawab Siska pelan dan kemudian kembali mencoba menerjemahkan kalimat yang ia baca ke dalam aksara jawa.
"Ini cacing apa ceker ayam? Tulisan anak saya yang masih TK saja lebih bagus dari ini." kata bu Heny, mengkritik pedas tulisan aksara jawa Siska yang sulit untuk dapat di mengerti.
Siska mengambil penghapus dan mencoba untuk menghapus seluruh pekerjaannya. Namun karena Siska melakukannya dengan lembut, ia pun kembali terkena semprot.
"Saya disini bukan hanya untuk mengajar kamu. jangan lelet!" sentak bu Heny agak kasar.
Siska mempercepat penghapusan pekerjaannya hingga penghapus yang ia pegang terjatuh.
"Disuruh cepat sedikit nangis! Sudah goblok, cengeng!" sentak bu Heny.
Mendengar ejekan bu Heny, Siska semakin tersedu-sedu. Namun dengan sekuat hati, ia mencoba untuk menahan tangisannya sambil menulis kembali pekerjaannya.
Siska adalah gadis periang yang ramah. Namun dibalik semua itu, dia adalah seorang gadis yang menderita Bradikardia, yaitu sebuah gangguan pada detak jantung. Penderita Bradikardia memiliki detak jantung di bawah rata-rata yang dapat menimbulkan gejala pusing, susah nafas, cepat merasa lelah, susah untuk fokus dan hilang konsentrasi dsb.
Bu Heny membiarkan Siska begitu saja dan kemudian berjalan menghampiri Niken.
"Daripada buang-buang uang tidak jelas, kamu mending langsung jadi model saja. Sudah fashionable!" kata bu Heny, memandangi pakaian Niken yang terlalu pendek nan ketat. "Fashionable bagi orang gila." imbuhnya pelan.
"Besok-besok kalau mau pamer BH, dipakai di luar seragam saja. Tampang ada, tapi otaknya tidak ada." kata bu Heny lagi, mengkritik BH Niken yang terlihat cukup jelas karena seragamnya yang terlalu tipis.
Mungkin karena kesal terus-terusan di kritik pedas, Niken pun berhenti menulis dan berkata, "Bu bu, saya itu bukan orang jawa. Ini saya mikir keras buat ngerjain. Jangan kaya nyamuk deh bikin gatel telinga."
Entah bagaimana perasaan bu Heny, namun perkataan Niken mampu membuatnya terbungkam sejenak. Tapi memang bagi Niken dan sebagian besar siswa di kelas ini, mata pelajaran yang dibawakan oleh bu Heny sama sekali tidak berguna untuk kehidupan mereka di dunia nyata.
Bel istirahat akhirnya berbunyi, menyelamatkan Siska dan Niken.
"Kerjakan LKS halaman 5 sampai 20. Minggu depan yang tidak mengerjakan tugas, tidak boleh ikut pelajaran saya selamanya." seru bu Heny seraya merapikan buku-bukunya.
Beberapa saat setelah bu Heny keluar ruangan. Anak-anak X-7 mengeluh sana sini. Mereka merasa keberatan untuk dapat mengerjakan PR yang telah diberikan bu Heny.
Hari ini aku mendapat giliran duduk di meja pojok paling depan. Aku sedikit menoleh ke belakang, melihat sosok Siska yang masih terlihat sedih. Tadinya aku berniat untuk menyelamatkan Siska dan Niken dari kritikan pedas bu Heny. Namun aku merasa ragu untuk dapat menyampaikan maksudku dengan baik. Karena bagiku, sulit sekali untuk dapat berbicara dengan jelas saat sedang emosi.
Saat ini, aku sama sekali tidak mempunyai sesuatu yang dapat aku takuti kecuali kekerasan dan perkataan kasar. Bukannya aku takut jika mereka menyakitiku. Namun aku takut jika aku kehilangan kontrol akan sebagian dari diriku dan menyakiti hati maupun fisik orang lain.
.
.
Mapel pada jam terakhir adalah kesenian yang di bimbing oleh pak Yanto, seorang vokalis grup band kawakan yang cukup tenar pada masanya. Beliau sangat sopan dan tutur katanya pun terdengar lembut saat sedang berbicara. Nilai dan absensi murid pun sangat di permudah oleh beliau. Namun dengan sifat baik hatinya tersebut, pak Yanto sangat sering diremehkan oleh para murid. Hampir di setiap pelajaran kesenian, banyak dari para murid laki-laki maupun perempuan yang lebih memilih untuk pergi ke kantin daripada harus duduk di kelas mendengarkan penjelasan pak Yanto yang sangat membosankan.
Walaupun aku sama sekali tidak mempunyai niat di bidang kesenian, akan tetapi aku hampir tidak pernah membolos di mata pelajaran pak Yanto. Jujur saja, aku merasa sangat kasihan dengan beliau yang terlalu diremehkan oleh para murid dan masih bersikap baik kepada mereka.
"Eh, kamu bisa main piano nggak sih?" tanya Niken yang duduk di sebelahku karena Revy menghilang entah kemana.
"Hmm? Kalau cuma ting tong ting tong gitu aku ya bisa." jawabku, memperhatikan pak Yanto yang sedang mempraktekan beberapa jenis kunci nada dengan piano yang beliau bawa.
"Ih aku seriuus.. Ting tong ting tong emang bell rumah?" kata Niken, tersenyum dan mendorong pundakku.
"Aku duarius. Udah ah, aku mau tidur. Ngantuk banget." kataku yang kemudian menelungkupkan wajahku di atas meja.
Aku memang selalu mengikuti mata pelajaran pak Yanto karena aku sangat menghormati beliau. Namun hal tersebut tidak merubah kenyataan jika suara pak Yanto yang lemah lembut membuat penjelasan beliau terasa membosankan dan membuatku mengantuk.