Sesaat setelah bell tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, Bu Fitri yang sudah menunggu di luar kelas pun menyambut pak Yanto yang sedang berjalan keluar kelas.
"Shiro, bangun! Eh, bangun!" bisik Niken, menarik-narik lenganku.
Perlahan aku membuka mata dan memandangi wajah Cantik Niken yang ada di sebelahku.
"Ada bu Fitri tuh." kata Niken pelan, sedikit mendongakkan dagu ke arah pintu masuk.
Sesaat setelah bu Fitri berjalan memasuki kelas, anak-anak yang tadinya sudah bersiap untuk pulang pun kembali duduk di meja mereka masing-masing.
"Masuk-masuk nggak salam, dah kaya jin saja anda bu." gumamku pelan.
Seketika bu Fitri pun berhenti dan memelototiku. Walaupun bu Fitri terlihat kesal, namun beliau mencoba untuk menahan amarahnya dan berkata, "Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam buuuuu..." jawab para murid dengan serentak.
"Murid pintar! Sana keluar, basuh wajahmu yang kumel itu!" ucap bu Titin dengan nada jengkel.
"Minggir." kataku, mendorong bahu Niken dan kemudian melangkahkan kakiku berjalan keluar kelas.
Setelah aku selesai membasuh muka di kamar mandi, aku berpapasan dengan Sofyan dan Andik, temanku dari kelas Xl yang sedang ingin pulang.
"Anak-anak pada mau maen ke rumahnya Olive, ikut pa nggak kamu?" tanya Andik.
"Pada mau ngapaen?" tanyaku.
"Makan-makan paling. Dia lagi ultah soalnya." sahut Sofyan.
Sejenak aku terdiam dan berfikir untuk ikut. Namun aku merasa jika aku masih perlu menyesuaikan perubahan karakterku agar tidak tercampur aduk. Saat ini aku masih belum siap untuk kembali berbaur dengan teman-teman lamaku.
"Lain kali aja deh." jawabku.
"Jangan sampe nyesel aja." kata Sofyan, mulai berjalan menjauh dan melambaikan tangannya.
Aku menghela nafas dan kemudian berjalan kembali ke kelas. Namun sesampainya di kelas, sudah tidak terlihat lagi sosok bu Fitri yang galak itu. Sebagian besar anak-anak pun sudah pada beranjak pulang, meninggalkan beberapa orang saja yang aku rasa mereka adalah para petugas kelas.
"Ngapa pada belum pulang?" tanyaku, berjalan mendekati kerumunan.
"Ambil kursi." kata Sinar, menyuruhku untuk duduk di sekitar mereka.
Aku tidak terlalu mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Aku pun menoleh ke arah Putri dan sedikit menengadahkan kedua tanganku.
"Rapat." jawab Putri pelan.
"Oh." Aku menarik kursi dan duduk di samping Putri. "Tapi napa aku harus ikut rapat? Aku kan bukan petugas seperti kalian." imbuhku.
Tiba-tiba Niken berjalan masuk, membawa 2 cup minuman dan langsung duduk di atas meja tepat di belakangku.
"Nih." kata Niken, memberikan salah satu minuman yang ia pegang kepada Putri.
"Kamu petugas pelaksanaan sama Revy." kata Sinar tanpa sedikitpun melihat ke arahku.
"Ha? Sejak kapan?" tanyaku penasaran, karena seingatku tidak ada jenis petugas tersebut di dalam struktur organisasi kelas.
"Sejak tadi." kata Sinar, berhenti menulis dan menatapku.
"Kamu jadi petugas apa?" kataku, menoleh ke belakang ke arah Niken.
"Cuma nemenin Putri. Mau?" jawab Niken, menawarkan minumannya kepadaku.
"Mau nggak?!" tanya Sinar dengan tegas.
Aku meraih minuman yang di tawarkan oleh Niken dan meminumnya. "Ehm.. Katakan Please." kataku, menyeringai.
"Bagus." kata Sinar, kembali menulis.
Anak-anak yang lain terlihat ingin tertawa, namun mereka menahannya karena merasa tidak enak dengan Sinar yang terlihat serius menjalankan tugasnya sebagai seorang ketua kelas.
Beberapa saat kemudian.
"Jadi siapa yang nyari tongkatnya?" tanya Sinar. "Kamu ya?" imbuhnya, melihat ke arahku.
"Tunggu. Ini dari tadi kita bahas apaan sih? Kita mau ada acara camping? Kapan?" tanyaku yang masih belum tahu pasti tujuan mereka menyiapkan daftar yang di buat sejak tadi.
"Minggu depan Ro..." jawab Raffael, satu-satunya pria yang mengikuti rapat tidak jelas ini selain aku.
"Kamu nggak dikasih tau? Soalnya itu pemberitahuannya pas MOS sih." tanya Putri.
"Dan masalahnya... Anak-anak kelas lain itu sudah persiapan sejak kemarin. Peralatan-peralatan pramuka jadi langka saat ini. Nah, kamu sama Revy kan yang orang sini. Jadi mungkin kamu tau tempat lain yang jual peralatan pramuka lengkap. Makanya Sinar jadiin kamu ama Revy petugas pelaksanaan. Gitu kan Sin?" terang Sufi, si mata empat yang manis.
"Gimana?" tanya Sinar.
"Anything for you deh." kataku, tersenyum manis memandangi Sinar.
"Yaudah. Awas aja kalau hari H masih belum siap." kata Sinar cuek, mencentang list tongkat pramuka.
Setelah rapat selesai, sebagian dari kami pun pulang. Sedangkan aku, Putri dan Niken pergi ke rumahnya Kikok untuk sejenak mengobrol.
"Jadi kamu rencana mau nyari tongkat dimana?" tanya Putri.
"Nyari tongkat pramuka dimana Kok??" tanyaku kepada Kikok yang masih berada di dalam kamar.
Putri menghela nafas dan berkata, "Sudah aku duga sih..."
"Kalau dah nggak ada yang jual ntar buat sendiri kan bisa." sahut Kikok, keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju ke ruang tamu.
"Trus cari bambunya yang deket sini dimana?" tanya Niken.
"Nanti coba aku tanya sama omku. Kayaknya di kebun ada banyak yang seukuran tongkat pramuka." jawab Kikok, memakai peci dan duduk di sampingku.
"Yaudah itu bicarain aja nanti. Kalian pergi ke masjid dulu sana geh." kata Putri, menaruh minumannya di atas meja.
Perkataan Putri yang menyuruh kami pergi ke masjid mengingatkanku jika hari ini adalah hari Jum'at. "Haduh!" keluhku, merasa panik.
"Napa?" tanya Niken, penasaran.
"Aku lupa! Aku harus jemput adikku!" kataku, bersiap untuk pulang.
"Nggak jumatan dulu? Ini udah jam 12 loh." kata Putri, melihat jam tangannya.
"Shiro alesan..." kata Niken, menggodaku yang terlihat panik.
"Nggak ini serius aku. Adikku pulangnya jam 11 kurang soalnya. Kalian nanti pulangnya gimana?" tanyaku, bersiap keluar ruangan.
"Jalan kaki nanti gampang. Deket situ." jawab Putri.
"Yaudah aku balik dulu." kataku, bergegas mengambil motor yang terparkir di samping rumah dan langsung pergi meninggalkan titipan.
"Iya ati-atik." kata Putri dan Niken.
"Jangan ngebut loh!" imbuh Niken dengan suara lantang.
Sesampainya di jalan raya, tanpa memperdulikan ramainya kendaraan yang sedang berlalu-lalang, aku pun memutar gas dan melaju dengan kencang.
Setelah memasuki gerbang SD Mataram, dari kejauhan aku melihat adikku yang sedang duduk manis di teras kelas bersama dengan seorang guru yang menemaninya. Aku pun bergegas menghampirinya dan berkata, "Dah lama pulangnya?"
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, adikku yang bernama Adinda (8thn) menoleh ke samping ke arah jam dinding yang ada di ujung lorong.
"Iya iya.. Nanti di jalan kakak beliin es krim." kataku, membujuk adikku yang terlihat sedang ngambek.
"Lama banget mas jemputnya. Kasihan adeknya nunggu lama." sahut guru yang menemani adikku.
"Iya bu, soalnya tadi ada tugas. Lupa kasih tau orangtua juga kalau bakal telat jemput. Kalau gitu kami pamit pulang dulu bu. Makasih ya.." kataku, menggandeng tangan Dinda yang terlihat masih sedikit ngambek.
Di siang hari itu, aku dan adekku pun pulang. Dan pada akhirnya, aku melewatkan kewajibanku sebagai seorang pria muslim. Yap, bahkan tuhan pun saat ini tidak aku takuti...