Cerita Sebelumnya:
Bara terdiam sejenak. Kemudian tangannya mengusap lembut puncuk kepala Maura.
"Jangan lupa besok kencan pertama kita."
Chapter 3
Sosok tinggi dengan jubah putih menghampiri Bara.
"Kau tahu resiko yang akan kau ambil?" Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya, "waktumu akan berkurang." lanjutnya.
Bara mengangguk pasti. Ia sangat yakin dengan permintaannya. Bara ingin agar orang lain dapat melihat sosoknya untuk beberapa saat, hanya ketika dia berkencan dengan Maura. Bara tahu resiko yang akan diambilnya, waktu yang telah diberikan akan berkurang.
***
Semalaman pikiran Maura dipenuhi oleh bayangan Bara. Mungkin otak Maura sedang tidak beres, sampai-sampai ia terus saja memikirkan hantu itu.
Ditengah pelajaran, Kepala Sekolah memasuki kelas Maura. Beliau menghampiri guru yang tengah mengajar. Tak lama kemudian, seorang gadis memasuki ruang kelas. Kelas mendadak ramai, terutama laki-laki. Tampaknya dia merupakan siswi pindahan yang dibicarakan saat pagi tadi. Gadis bertubuh mungil itu memang manis, ia memiliki rambut pendek sebatas bahu. Beberapa menit kemudian, dia memperkenalkan dirinya.
"Perkenalkan namaku Diana Olivia, kalian bisa memanggilku Diana." ujarnya ramah.
Semua perhatian tampak tertuju pada siswi pindahan itu, begitupula Damar. Damar adalah teman kecil Maura selain Putri.
Diana duduk tepat dibelakang bangku Maura dan Putri. Maura mencoba menyapanya dengan ramah.
Suara bel istirahat terdengar nyaring. Sejak pagi tadi Maura belum melihat sosok Bara. Biasanya hantu itu selalu muncul tiba-tiba. Kemana dia?
Maura menggelengkan kepalanya berusaha menepis semua pemikiran tentang Bara.
Beberpa detik kemudian, Damar menghampiri Maura yang tengah dilanda gundah.
"Dorr!" Damar berniat mengagetkan Maura, namun gagal. Gadis itu hanya melempar tatapan datar ke arahnya.
"Kau kenapa?" tanya Damar.
Lelaki berambut sedikit gondrong itu mengambil makanan yang ada di depan Maura.
Maura menggeleng, ia memang tidak menceritakan soal Bara pada Damar.
"Mana Putri? Tumben sendiri?"
"Di perpustakaan." jawab Maura singkat.
Damar kembali mengambil makanan milik Maura. Maura sudah terbiasa dengan tingkah Damar. Sahabatnya itu memang selalu seperti ini. Sebenarnya Damar termasuk siswa yang cerdas, hanya saja penampilannya yang sedikit urakan menutupi kecerdasannya. Lihat saja, rambut belakangnya terlihat sedikit mencuat melewati kerah baju miliknya.
Damar memang sahabat Maura. Akan tetapi, lelaki itu tidak akur dengan Putri. Mereka selalu bertengkar. Damar sangat senang menjahili Putri. Maura tahu sebenarnya mereka tak benar-benar saling membenci. Justru itulah cara mereka untuk saling peduli. Aneh? Memang.
***
Langit biru kini tergantikan oleh pekatnya malam. Telihat kerlip cahaya bintang menghiasi langit malam. Dengan pantulan sinar rembulan menjadikannya perpaduan yang sangat indah.
Tok..tok..tok..
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Maura. Siapa yang bertamu malam-malam? Ia terdiam sejenak, sebelum kemudian terperanjat dari tempat tidurnya.
Bara!
Nama itu langsung tertulis jelas dipikirannya. Sedetik kemudian, ia segera menepis jauh-jauh pikiran tersebut. Bara tak mungkin datang dengan mengetuk pintu seperti itu, dia adalah hantu, ingat?
Maura tak berniat untuk pergi membukakan pintu.
"Mauraa.. ada temanmu mencarimu." teriak Widia —ibunda Maura dibalik pintu.
Dengan segera Maura bergegas menemui teman yang dimaksud Widia.
Sambil berjalan menuju teras depan, Maura menerka-nerka siapa temannya yang datang malam hari.
Maura tersentak melihat sosok yang duduk di hadapannya.
"Bara?"
"Hai," sapanya santai.
Maura mentapnya heran sekaligus kaget. Bagaimana bisa Bara terlihat oleh ibunya?
Maura masih terdiam. Ia sangat bingung dengan apa yang terjadi sekarang.
"Kenapa Bunda bisa melihatmu?" tanya Maura.
"Rahasia, aku hanya bisa melakukan hal ini sekali. Aku tidak mau orang mengira kau gila karena berbicara sendiri saat kencan nanti." jelas Bara panjang lebar.
Bercuma saja Bara menjelaskannya, toh Maura sama sekali tak mengerti.
Kencan? Ah, Maura hampir lupa kalau hari ini hantu itu mengajaknya berkencan. Maura tak menyangka jika Bara akan datang malam hari, ia kira kencan tersebut tak jadi dilakukan.
"Kau yakin akan keluar dengan pakaian seperti itu?" Bara menatap Maura dari ujung kaki hingga kepala. Maura tengah memakai pakaian tidur.
Kini giliran Maura yang memandang Bara. Tak seperti biasanya, Bara memakai kemeja dipadu dengan celana jeans. Sangat simple, tapi harus Maura akui, Bara memang terlihat keren sekarang. Biasanya Bara hanya memakai pakaian serba hitam.
"Siapa bilang kita akan berkencan?" tanya Maura sarkastis.
"Sudah kubilang aku tak menerima penolakan, cepat ganti pakaianmu!" perintah Bara.
Maura berjalan memasuki rumah dengan terus merutuki hantu menyebalkan itu.
Bara tertegun melihat Maura. Maura tampak manis dengan sweater longgar yang dikenakannya, rambut ikalnya ia kepang di sebelah samping. Maura terlihat manis.
Maura menjadi salah tingkah karena Bara terus menatapnya. Ia berusaha mengalihkan perhatian.
"Kau dapat darimana baju-baju itu? Apa ada toko baju khusus untuk hantu? Hahahha," ujar Maura tertawa kikuk.
"Cerewet," tukas Bara.
Maura mengerucutkan bibirnya kesal.
Tak lama kemudian, Bara meminta izin pada Widia untuk mengajak anak semata wayangnya itu keluar. Widia memberikan izin dengan syarat tak boleh pulang larut.
"Siap Bunda." jawab Bara mengiyakan syarat yang diberikan Widia.
"Pacarmu ini lucu sekali, Ra." ujar Widia membuat guratan merah diwajah Maura.
Dengan segera Maura menyangkal perkataan ibunya.
"Dia bukan pacarku, Bunda!"
Widia hanya menanggapi jawaban anaknya itu dengan gelak tawa.
"Ayo cepat, katanya mau pergi!"
Maura mengajak Bara segera meninggalkan Widia dan tawa jahilnya. Tanpa ia sadari, Maura telah menerima tawaran kencan Bara.
Suara jangkrik terdengar nyaring di tengah heningnya malam. Dua sejoli itu berjalan menyusuri danau yang berada tak jauh dari taman. Bara meminta Maura untuk mengikutinya dan jangan protes. Dengan terpaksa, Maura menuruti perintah Bara.
Tak berapa lama Bara menghentikan langkahnya, begitupun Maura. Maura mengedarkan pandangannya. Di hadapannya terdapat banyak ilalang yang menjadikannya semak belukar. Danau tersebut memang berada tepat di belakang taman, sehingga tak jarang ada rumput liar yang tumbuh di sana.
Terlintas sebuah pikiran negatif di kepala gadis beriris coklat itu. Tentu saja, siapapun pasti akan berpikiran sama dengan Maura. Untuk apa pergi ke tempat seperti ini? Harusnya Bara mengajaknya pergi menonton atau sekedar makan malam layaknya orang berkencan.
"Kenapa kau membawaku kesini?" tanya Maura berusaha menyembunyikan rasa takutnya.
"Diam dan tunggu saja," hanya sebuah jawaban menggantung yang dilontarkan oleh Bara.
"Tutup matamu!" perintah Bara.
Pikiran negatif Maura semakin menjadi. Apa yang sebenarnya hantu itu rencanakan?
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Maura ketakutan.
"Hahahah.. tenang saja aku tidak akan melakukan apapun, sekarang tutup matamu."
Akhirnya Maura menuruti perintah Bara untuk menutup matanya.
"Kalau kubilang buka matamu, kau boleh membukanya,"
Maura mengangguk pelan.
"Sebentar lagi.. sekarang, kau boleh membuka mata!"
Maura membuka kelopak matanya perlahan. Ia tertegun, tampak ribuan kunang-kunang terbang memenuhi langit malam. Cahaya yang dipantulkan berpadu dengan cahaya bintang, membuatnya tampak indah. Maura dapat melihat pantulan keindahan tersebut di atas air danau.
"Indah.." Maura terpukau dengan apa yang di lihatnya. Ia benar-benar tak menyangka Bara akan memperlihatkan keindahan ini padanya.
"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Maura tak mengalihkan pandangannya dari ribuan kunang-kunang tersebut.
"Rahasia," jawab Bara singkat. Sebuah senyuman tipis terpatri di wajah pucat miliknya.
Maura dan Bara duduk menikmati keindahan tersebut. Keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Semilir angin malam menerpa wajah kedua sejoli itu.
"Maura," panggil Bara.
"Hm?"
"Apa sekarang kau sudah menyukaiku?"
"Eh?" Maura tersentak dengan pertanyaan yang dilontarkan Bara.
Kenapa tiba-tiba ia menanyakan hal itu? Perkataan Bara barusan membuat Maura menjadi salah tingkah. Entah apa yang terjadi padanya. Lidahnya terasa kelu. Maura mencoba mengalihkan perhatian dan beranjak dari posisi duduknya. Ia berjalan menghampiri seekor kunang-kunang yang hinggap di antara ilalang.
BRUKK!!!
Belum sempat Maura menangkap kunang-kunang tersebut, ia terjatuh. Kakinya tersandung sebuah kayu yang tergeletak di sana. Dengan segera Bara menghampiri Maura.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bara memastikan kondisi Maura.
Maura mengangguk. Bara membantunya untuk berdiri, namun Maura tak bisa melakukannya. Kakinya terasa sakit saat digerakkan, sepertinya kaki Maura terkilir.
Sedetik kemudian, Bara berjongkok di hadapan Maura. Tubuhnya memunggungi gadis itu.
"Naiklah," titahnya.
"Eh?" Maura belum sepenuhnya mencerna perintah Bara barusan. Mendadak otaknya menjadi sangat lamban mencerna perkataan Bara.
"Ck, naiklah, aku akan menggendongmu!" ulang Bara sedikit kesal.
Rona merah menyelimuti wajah Maura. Ia sedikit ragu untuk menerima tawaran Bara.
"T-tapii.."
"Kau mau Bunda memarahiku?"
Maura menggeleng.
"Kalau begitu cepat naik ke punggungku!"
Akhirnya Maura menuruti perintah Bara. Wajahnya seperti kepiting rebus sekarang. Bahkan debaran jantungnya pun tak terkendali.
"Kau berat juga hahahha," ledek Bara.
Maura mengerucutkan bibirnya kesal. Ia menyembunyikan wajahnya di punggung tegap Bara.
Bau ini.. aroma Bara..
To be Continued