Keesokan paginya. Nabila terbangun dan hal yang dia lihat pertama kali adalah wajah Leo yang masih tertidur pulas. Dia tersenyum tapi melihat keadaannya sekarang ditambah memikirkan kejadian semalam, Nabila tersipu malu.
Dirinya juga baru tahu kalau kamar yang ditempati amatlah berantakan karena ulah mereka sendiri. Beberapa helai baju telah berada di atas yang karpet yang letaknya ada di lantai. Ranjang pun agak berantakan.
Dalam kebingungan Nabila terkejut karena Leo menarik tangannya dan memposisikan dirinya di atas Leo. Senyuman ditampakkan oleh Leo lalu mengecup singkat bibir Nabila. "Selamat pagi,"
"Pa-pagi." balas Nabila kikuk.
"Kenapa kau tak membangunkanku?"
"Kenapa aku harus membangunkanmu?"
"Yah, mungkin saja kau meminta bantuanku untuk pergi ke kamar mandi." Nabila terkejut dan wajahnya memanas.
"Ti-tidak, aku bisa sendiri kok."
"Oh benarkah? Apa tak sakit?" Tubuh Nabila bergidik saat tangan Leo menggerayang nakal miliknya.
"Leo ... jangan!" Leo terkekeh dan membalikkan tubuh mereka. Kini, Nabila yang berada di bawah sedang Leo di atas. Nabila menahan napas saat Leo kembali menyatukan diri.
Nabila pasrah ketika dirinya digagahi lagi. "Nabila, untuk hari ini kita berada terus di kamar ya aku malas berpergian." Gadis yang kini telah menjadi wanita itu menggeleng.
"Aku ... tak, mau ... kita harus pergi tamasya." rengek Nabila.
"Baiklah setelah ini ya." Tak berselang lama keduanya telah menyelesaikan mandi. Ber-dua. Entah kenapa Nabila merasa Leo berubah menjadi pria yang nakal.
Apa karena Leo telah diberikan malam pertama sehingga dia tak bisa melepaskan Nabila? "Jangan cium, itu geli. Aku tak mau kau keblablasan lagi."
Tok, tok
"Cleaning service!" seruan dari seorang pembersih kamar mengejutkan mereka berdua. Nabila dan Leo buru-buru mengambil barang mereka kemudian keluar dengan senyuman.
Secepatnya mereka menjauh tanpa menoleh ke belakang dan berkeliling Bali. Melihat kebudayaan, makan siang selama satu hari penuh.
Begitu mereka sampai, keduanya langsung berbaring di ranjang. Lelah dengan aktivitas seharian namun cukup puas. "Besok kita mau ke mana lagi?"
"Kau maunya ke mana besok?"
"Aku tak tahu." Ponsel Leo berbunyi dan tertera jelas video call dari keluarga Leo. Keduanya lalu duduk untuk menerima video call tersebut. "Halo,"
"Halo Leo, Nabila." Tampak wajah Adam yang tersenyum hangat seraya melambaikan tangan. Nabila ikutan tersenyum begitu juga Leo.
"Bagaimana kabar kalian? Apa baik?"
"Iya Kakek, aku dan Nabila baik- baik saja, kalau kakek?"
"Kakek baik di sini juga. Bagaimana liburannya? Apa bagus?"
"Bagus kakek. Kami sangat bergembira di sini terutama malam harinya." kata Leo sembari tersenyum genit pada Nabila yang kini melotot ke arah suami.
"Apa yang kau maksud Leo?"
"Kami melakukannya Kakek. Doakan saja semoga kita bisa cepat dapat anak."
"Benarkah? Itu bagus. Kakek tak sabar punya cicit dari kalian." Leo terkekeh sedang Nabila jangan ditanya lagi karena sekarang wajahnya seperti kepiting rebus.
"Iya kakek kami juga akan berusaha."
"Leo," Leo sontak menoleh pada Nabila yang kini menunduk.
"Jangan katakan lagi, aku malu." Senyuman ditampakkan oleh suaminya itu dan beralih pada Adam sekali lagi. Dia pun bertanya di mana Ayah dan Ibunya kemudian berbincang selama satu jam penuh.
Leo lalu mematikan video call dan memusatkan perhatian pada Nabila. Wajah istrinya itu terlihat gusar sekali entah karena apa. "Nabila, kenapa wajahmu gelisah? Apa ada masalah?"
"Iya ... aku berpikir untuk aku belum siap untuk jadi Ibu. Aku masih mau fokus dulu sama kuliahku." Leo membuang napas kasar.
"Baiklah jika itu maumu, aku mengalah tapi aku juga ingin kalau kita sudah dapat rejeki anak kamu jangan tolak ya." Nabila mengangguk.
"Terima kasih ya Leo, sudah mengerti aku."
"Sama-sama. Jadi mengerti denganku ya." Ada perasaan janggal menghinggapi Nabila dan benar saja Leo mendekat kemudian memberikan sentuhan.
"Ish Leo ... jangan aku malu."
"Aku ini suami istri Nabila santai saja lagi pula ini tak seperti kemarin bukan?" Wanita itu mengerucutkan bibirnya. Dia mendorong pelan Leo agar memberi jarak lalu pergi tanda dia sedang ngambek.
Nabila lalu keluar duduk di koridor. Tak berselang lama datanglah Leo, dia membujuk Nabila untuk masuk. Leo takut jika Nabila sakit terlebih sekarang angin bertiup kencang. Nabila tak membalas perkataan Leo dan malah tertuju pada sepasang turis asing yang sedang bermesraan.
Dia terus memandang mereka sampai Nabila bergidik sendiri melihat keduanya melumat bibir satu sama lain. Apakah mereka tak malu seperti itu?
"Nabila, kau mendengarku tidak?" Nabila menoleh pada suaminya dengan tatapan innocent.
Kesal, sudah pasti. Namun Leo bisa menguasai diri kemudian menoleh ke mana mata Nabila pergi dari tadi. Pria itu terperanjat kala melihat sepasang bule sedang bermesraan kemudian tersenyum nakal. "Nabila, apa kau mau juga?"
"Mau apa?"
"Ciuman?"
"Ah tak mau!" Nabila lalu masuk ke dalam bersama Leo. Begitu di dalam Leo segera menarik Nabila. Keduanya saling menghadap sekarang dan tak butuh waktu lama Leo menempelkan bibirnya pada bibir sang istri.
Nabila merasakan tekanan Leo sontak membuat Nabila menahan tubuh Leo meski tak melepaskan ciuman. Nyaman, lembut dan hangat itulah yang dirasakan oleh Nabila bahkan dia agak kecewa saat Leo melepaskannya. "Kenapa memandangku seperti itu? Apa kau kecewa?"
Leo bisa melihat bahwa sang istri kecewa dan tersenyum menampakkan sederet giginya yang putih. Dia lalu mengecup kening Nabila beberapa saat. "Tidurlah sudah malam."