"Kau keterlaluan sekali! Kau pasti tahu bukan tentang Leo yang memiliki wajah cacat? Apa karena kau sempurna kau bisa merendahkan seseorang yang cacat sepertiku dan Leo? Asal kau tahu saja, kau tidaklah sempurna. Tabiatmu sangat buruk." Napas Nabila memburu kala menuturkan pernyataan tersebut.
"Aku diam sebab mengira kau adalah temanku meski kau selalu menjelekkanku tapi beda jika kau menghina suamiku itu berarti kau sama sekali tak menghargaiku dan mulai saat ini kau bukan sahabatku lagi!" Jessica tersenyum sinis.
"Memangnya kau sahabatku apa? Tidak sama sekali. Sejak dari dulu aku membencimu!" Beberapa saat Nabila terdiam lalu mengukir senyum kecut.
"Baiklah aku doakan semoga kau tak mengalami kejadian yang lebih buruk lagi." Setelah itu Nabila menarik tangan Leo meninggalkan tempat itu.
Tiba ditempat parkir, Nabila berhenti. Pundaknya bergetar dan isakan tangis mulai terdengar. "Dia jahat sekali, hiks ... padamu. Aku ...." Sebuah pelukan diberikan oleh Leo.
"Kau bodoh sekali karena menuruti permintaannya. Apa kau tahu dia sengaja melakukannya untuk membuatmu malu?!" Bukannya membalas kesal, Leo tersenyum seraya membelai rambut istrinya itu.
"Aku tahu ... tapi aku tak apa ada kau bersamaku dan ketika kau berada di sisiku, aku merasa aman meski banyak orang yang menertawakanku." Nabila tertegun. Dia lalu membalas pelukan dengan masih menangis kali ini dia merasa tersentuh pada ucapan Leo.
"Sudah jangan menangis lagi, nanti mereka mengira aku melakukan sesuatu yang buruk terhadapmu. Ayo kita pulang." Sesegukan Nabila mengangguk lalu bergerak masuk ke dalam mobil.
Leo ikut juga masuk ke dalam mobil dan tak lama mobil milik Leo pergi menjauh dari acara ulang tahun Jessica. Sepanjang perjalanan, tak ada suara yang keluar sehingga Nabila mengantuk dan tertidur di perjalanan.
Melihat Nabila tertidur, Leo menghentikan mobilnya sekadar untuk membuat posisi Nabila nyaman. Dia lalu kembali melanjutkan perjalanan sampai di kediamannya.
"Leo, kenapa Nabila?" tanya Silvia sang Ibu yang menyapa keduanya begitu Leo masuk beserta Nabila dalam gendongan.
"Dia kelelahan Ibu. Aku akan membawanya masuk ke kamar." Sahutan Leo dibalas dengan anggukan. Tiba, Leo lantas membaringkan Nabila di atas ranjang.
Tak lupa dia menyelimuti istrinya itu setelah melepaskan kedua sepatunya. Dia menarik napas kemudian mengembuskan secara perlahan. Leo duduk di kursi tepat depan meja rias Nabila yang hanya sedikit barangnya.
Secara iseng dia mengambil sebuah buku berwarna pink yang ditata rapi bersama beberapa buku. Letaknya berada di tepi meja rias. Dibukanya dan membaca sedikit.
Rupanya itu adalah buku diary dari istrinya dan ketika dilihat tanggal dan tulisannya, diary tersebut ditulis saat Nabila masih remaja. Senyuman tipis tampak kala Leo membaca hal-hal yang menyenangkan atau pun lucu tapi ada kalanya sedih saat pria itu membaca pengalaman pahit Nabila.
Beberapa kalimat menciptakan keterdiaman dari Leo. Dilihatnya Nabila dan buku diary itu secara bergantian lalu beralih pada cermin yang menampilkan dirinya dengan luka di sebelah wajahnya.
Bukan tanpa sebab, salah satu impian Nabila adalah menikahi pangeran tampan yang baik dan cinta pada wanita itu apa adanya tanpa mempermasalahkan kecatatan yang dia punya dan Leo bukanlah pangeran tampan.
Dia adalah pria yang sadar dari trauma berkat Nabila. Leo tak peduli dengan penampilan istrinya itu atau pun ketidaksempurnaan Nabila. Ia juga punya cinta tapi Leo tak memiliki wajah tampan.
Nabila sudah berkorban banyak untuknya, menemani dia selama ini jadi Leo akan membuat impian Nabila yang satu ini harus terjadi yaitu menikahi pangeran tampan.
🌟🌟🌟🌟
"Jadi kau serius mau pergi ke luar negeri selama beberapa bulan?" Leo mengangguk.
"Kenapa tiba-tiba sekali, Leo. Kau tahu bukan aku tak mau berpisah denganmu? Tapi kenapa kau melakukan ini padaku? Apa kau marah dengan apa yang dilakukan Jessica padamu?" Leo menggeleng.
"Aku sudah bilang kalau aku pergi untuk urusan bisnis. Aku pasti akan pulang, jangan khawatir."
"Tapi Leo ... aku akan merindukanmu." Pria itu tersenyum dan mendekati Nabila. Dia merangkul hangat tubuh sang istri yang langsung membalas dengan pelukan erat.
"Aku tahu, aku juga akan merindukanmu tapi aku harus melakukannya untukmu. Demi keluarga kita juga." Nabila mengembuskan napas panjang lalu kepalanya menengadah ke atas memandang pada Leo.
"Berjanjilah padaku bahwa kau akan sering meneleponku. Kau harus memberikanku kabar."
"Baik sayang, aku akan ingat itu."
"Kau juga jangan nakal di sana ya." Leo tertawa.
"Tentu saja sayang tak akan. Asal kau juga harus janji kalau kau tak akan nakal di sini." Nabila tersenyum mengangkat tumitnya untuk mencium bibir Leo beberapa detik.
Hanya sekilas, dagu Nabila ditarik kembali dan mendapat ciuman bibir yang memabukkan dari suaminya sendiri. "Ekhem," Nabila dan Leo sama-sama terkejut melihat kehadiran Adam yang semringah.
"Jangan bermesraan nanti kapan Leo perginya. Mobil sudah menunggumu dari tadi." Keduanya lalu keluar dan benar saja mereka sudah menemukan satu mobil telah terparkir.
"Aku harus pergi," Leo lalu mengecup kening Nabila dengan lembut dan melepaskan diri dari Nabila untuk ke dalam mobil. Mobil itu pun pergi menghilang dari pandangan.
Adam berjalan masuk ke dalam namun tidak dengan Nabila. Dirinya senantiasa melihat jalan yang dilalui mobil tadi. "Aku akan menunggumu Leo karena aku mencintaimu, pangeranku."
Leo tersenyum seraya melihat buku diary yang dia bawa. "Aku akan menjadi pangeran yang kau impikan Nabila, aku janji."