Sinar sang surya menerobos masuk menghangatkan dua jiwa yang tengah bergumul di pembaringan. Kehangatannya kian membangkitkan gairah. Decap nyaring suara kecupan Bastille memecahkan keheningan. Pria itu tengah asik mencumbui sang istri untuk memuaskan hasrat yang sudah dia tahan sepanjang malam. Yalena kini berada dalam kuasanya, Bastille tak memberikan celah sedikitpun bagi gadis di bawahnya untuk menolak.
Kenikmatan demi kenikmatan Bastille dapatkan dari gadis di bawah tubuhnya. Meski pun pria itu masih belum melakukan hal utamanya. Namun, nyatanya for play saja masih belum saja cukup untuknya. Semakin lama dia semakin menggila bergerilya, semakin tubuhnya meminta lebih dari ini. Berbeda dengan Yalena yang merasakan ketakutan bahkan kepanikan sehingga tidak dapat terlalu masuk ke dalam alur permainan sang suami. Yalena ingin menolaknya tetapi, tak berdaya. Dia terlalu takut bahkan untuk bergerak menghindari Bastille. Yalena takut Bastille akan marah lalu meneriakinya, atau yang lebih parah lagi, pria itu akan memukulinya. Salah satu ketakutan terbesarnya adalah kekerasan baik secara verbal, maupun fisik. Yalena selalu panik saat mendengar hal mengerikan itu. Trauma perundungan dan ketakutan berlebih benar-benar telah mempersulit hidupnya.
Yalena yang kini berada di bawah tubuh Bastille hanya bisa menangis dalam diam. Dia tak berani melawan ataupun menolaknya. Perasaannya benar-benar campur aduk. Yalena merasakan ketakutan berlebih, khawatir, gelisah, cemas, dan canggung secara bersamaan. Tubuhnya mulai bergetar hebat diiringi air mata.
Yalena! Calm down, everything will be fine. Batin Yalena sambil mengepalkan telapak tangannya dengan sekuat tenaga. Dia mencoba menenangkan dirinya yang sudah merasa tak karuan dengan amat keras. Kelopak mata berkerut, debaran jantung berpacu tak beraturan, intonasi napas terpompa cepat, semua otot tubuh terasa kaku menegang, dengan keringat dingin membasahi sekujur tubuh, meski cuaca dingin terasa menusuk.
Bastille yang kini tengah bergairah tak dapat mengendalikan dirinya. Dia menciumi bibir Yalena dengan rakus. Setelah cukup puas dengan mulut gadis itu, dia pun beralih ke bagian sensitif lainnya. Bastille mulai mendaratkan kecupan-kecupan kecil pada l*her Yalena. Tangan nakalnya yang sedari tadi sibuk menggenggam tangan perempuan itu, sekarang mulai menggerayangi. Perlahan dia menurunkan tali lingerie yang masih dikenakan istrinya. Bahu dan pangkal lengan Yalena tak luput dari serangannya. "Ah- Ba-Bast," lirih Yalena dengan wajah yang sudah memerah karena malu. Irisnya tampak amat sayu setelah cukup lama menangis dan menahan gelora aneh pada tubuhnya.
Perempuan itu tak sanggup untuk melanjutkan semuanya. Kini Yalena sedang mencoba untuk memohon pada Bastille agar pria itu mau menghentikan apa yang sedang dia lakukan. Bastille yang tengah terpaku dengan dua gundukan kembar di hadapannya pun tersadar. "Hmm?" sahut pria itu tanpa mengalihkan tatapannya. "Ma-maaf, tapi___ bi-bisakah kita berhenti du-dulu?" Meski ragu dan merasa takut dia pun memberanikan diri mengajukan permintaannya.
Bastille langsung mendengus kesal. "Maksudmu apa? Apa kamu nggak mau menerimaku karena aku buta? Apa kamu merasa jijik kepadaku?" Suara Bastille terdengar marah. "Bu-bukan begitu." Suara Yalena semakin menciut saat mendengar tanggapan Bastille untuk permintaannya. "Kalo gitu, lebih baik kamu diam! Jangan mengangguku! Saya nggak suka diganggu," ketusnya. "I-iya," jawab Yalena patuh. Gadis itu tak sanggup untuk menyahut lagi. Seketika dia langsung terdiam karena merasa semakin takut menghadapi Bastille.
"Meski kamu merasa jijik padaku, kamu tidak boleh menolakku. Tahan saja karena aku tidak akan bisa berhenti sebelum semuanya selesai." Manik legam Bastille menatap marah sang istri. Yalena hanya mampu menatap mata elang di atasnya dengan tegang manik menggenang. Dia benar-benar ketakutan sekarang. Namun, sorot mata Bastille seketika teralihkan pada setiap lekuk tubuh sempurna istrinya. Dia sudah tidak sabar lagi ingin segera merasakan dirinya berada dalam sana. Bastille sungguh penasaran dengan rasa yang dimiliki Yalena.
Tangan Bastille mencengkram rahang Yalena. "Kamu istriku, dan kamu juga mempunyai kewajiban untuk melayaniku."
Jantung Yalena semakin berpacu saat mendengar ucapan Bastille yang tegas lebih seperti mengancam. Seketika rasa kecemasan langsung menyerang tubuh. Dia panik dan takut pada suaminya. Dia mulai merasakan terancam. Lalu kepalanya berdenyut nyeri, keringat dingin membanjiri tubuh. Beberapa saat kemudian, dia pun kehilangan kesadarannya. Yalena pingsan.
Melihat Yalena pingsan, Bastille pun seketika merasa kesal. Dia menepuk-nepuk pipi gadis di bawah tubuhnya. "Lena, Lena bangun. Oh come on!" Dia meremas rambutnya merasa kesal dan frustasi. "Argh shit! Dasar gadis payah!"
Bast sungguh sudah kesulitan menahan hasratnya. Namun, dia juga tidak mau meniduri wanita yang sedang tak sadarkan diri. Lalu tanpa berpikir panjang, dia meraih gelas berisi air di atas nakas dan menumpahkan seluruh isinya ke wajah Yalena, hingga pada akhirnya gadis itu langsung terbangun sambil terbatuk karena sebagian air masuk ke rongga hidungnya. "Kamu sudah sadar?" Bastille tersenyum senang.
Yalena yang masih terbatuk pun menganggukan kepala. Bast tersenyum puas saat melihat istrinya bangun. "Jangan pernah berpaling dari seorang Thimoty, atau kamu akan menerima akibatnya." Gadis itu menunjukan mimik menyesal. "Ma-maaf."
"Hey Yalena! Apa kamu tau? Kamu beruntung aku nikahi. Di luar sana banyak gadis-gadis cantik yang bermimpi untuk menjadi istriku," tutur Bastille. "Kamu harus lebih banyak bersyukur. Jangan lagi menunjukan wajah menyedihkanmu itu di hadapanku."
Yalena hanya diam mendengarkan nasihat Bastille Sebenarnya dia juga memiliki keluhan. Wanita yang harus dinikahi Bastille itu seharusnya Callena,kakaknya. Namun, karena Callena sudah memiliki pacar, dia bersikeras menolak perjodohan itu, dan pada akhirnya, Yalena mengajukan diri. Dia tak tega kalau ayahnya harus memisahkan Callena dari Abian pacarnya. Kakaknya itu sudah menjalin hubungan dengan Abian dari sejak masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Hubungan mereka sudah berjalan kurang lebih enam belas tahun lama. Namun, mereka belum menikah karena masih terhalang restu dari Satrio.
Bast mengerutkan kening saat melihat Yalena yang malah terbengong. "Kenapa bengong? Siapa yang menyuruhmu melamun?" Suaranya terdengar sinis.
"Ma-maaf." Yalena yang tersentak pun lantas meminta maaf.
"Kesalahanmu tidak bisa dimaafkan. Kamu sudah membuat saya kesal setengah mati." Bastille diam sejenak sembari memperhatikan ekspresi wajah perempuan tersebut, Yalena tertunduk lesu. "Tapi, tenang saja. Masih ada cara untukmu agar bisa mendapatkan maafku." Gadis itu langsung menatap penuh harap ke arah Bastille yang kini duduk di samping. Matanya tak kuasa menahan haru. Yalena pasti akan melakukan apapun asalkan Bastille mau memaafkan kesalahannya. Agar dia tidak dimarahi dan dipukul.
"Hhrrmm." Bastille berdehem saat melihat wajah polos Yalena. "Hisap," titahnya.
Yalena malah kebingungan. Dia pun memberanikan bertanya, "A-apa? Hi-hisap apa? Maaf, aku ti-tidak mengerti. To-tolong maafkan kebodohanku."
Kini Bastille kebingungan mendengar pertanyaan dari Yalena. Dia tidak akan membunuh gadis itu. Bastille hanya ingin Yalena memberikan servis khusus kepada juniornya. Tapi, kenapa perempuan itu berkata seolah Bastille akan mencabut nyawanya? "Ya ampun Yalena, masa begitu saja tidak paham." Bastille menepuk keningnya sambil mendesah kecewa.
Aku pasti sudah membuatnya kesal. Batinnya dengan raut sendu terpancar.
Bastille mengacak-acak rambutnya. "Kamu tahu spong?"
Yalena menggelengkan kepalanya pelan.
"Ya Tuhan," gumam Bastille sambil mengusap wajahnya kasar. "Berapa usiamu, Lena?"
"Dua pulun tiga tahun."
"Dua puluh tiga tahun?" beo Bastille terkejut. "Dan kamu masih belum paham maksudku?" Bastille tersenyum miris. "Apa saja yang kamu lakukan selama dua puluh tiga tahun? Apakah hanya makan lalu tidur? Seperti itu setiap harinya?" Bastille tertawa kesal. Sadar yang Yalena tidak paham keinginannya, Bastille pun menyerah. "Sudahlah. Lupakan tentang itu. Tidak etis kalau saya harus menjelaskan semuanya secara gamblang."
Yalena pun seketika dibuat bingung dengan sikap plin plan suaminya. Kenapa begitu? Apa susahnya kalau dijelaskan? Aku juga manusia yang bisa memahami bahasa Bast dengan baik. Jelaskan saja agar dia bisa memahaminya. Aku siap mendengarkannya meski panjang kali lebar. Batinnya. Inginnya mengatakan semua itu, tapi hanya mampu membuncah di dalam hati.
"Yalena, apa mungkin kamu masih perawan?" tanya Bastille tanpa basa basi.
Rasa malu seketika menyergap Yalena. Segera dia tutupi wajahnya dengan telapak tangan untuk menyembunyikan rona kemerahan. Sadar Bastille masih menatapnya dengan terbengong, Yalena pun menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. "Ma-maafkan aku. Ja-jantan pu-pukuli aku. Am-ampuni aku."
Bastille mengerenyih kala mendengar ketakutan Yalena. Ada apa dengan gadis ini? Apa dia waras?