Usai obrolan singkat yang cukup membuatnya gemas. Bastille pun kembali mencumbu tubuh istrinya. Gairahnya semakin menggelora hingga membuat suasana kamar semakin panas terasa. Hasratnya kian meluap minta dipuaskan. Pria itu menyadari hal aneh yang terjadi kepada Yalena tetapi, dia tak peduli. Lib*no-nya sudah di ubun-ubun. Dia ingin segera mendapatkan haknya. Dia tidak mau tahu dengan apa yang dialami sang istri. Yang dia inginkan hanya pelepasan yang akan membuat tubuh terasa lebih baik. Yalena tidak berhak menolaknya, karena inilah salah satu kewajiban seorang istri. Gadis itu tidak boleh enggan-enggan, dia harus berlapang dada menerima semua ini. Pemikiran egois pada benak Bastille terus menguasai kepalanya.
Air mata Yalena sudah mengering. Daripada menolak, dia pun berusaha menahan tekanan sampai akhir. Dia tidak mempunyai banyak keberanian untuk menolak ataupun menjelaskan keadaannya saat ini. Sikap penakut sudah mengakar kuat pada perempuan itu. Tak ada yang bisa diperbuat saat ini, bahkan untuk bergerak sedikit saja, dia tak berani. Seperti berada dalam situasi terancam antara hidup dan mati.
Pertama kali di dalam seumur hidupnya, Yalena memperlihatkan seluruh tubuhnya kepada seseorang. Dia merasa sangat malu. Tubuhnya ini hanyalah tubuh seorang gadis biasa yang tidak pernah melakukan perawatan. Dia tak seperti gadis lain pada umumnya yang akan rela merogoh kocek dalam hanya demi perawatan tubuh. Yalena tidak pernah memperdulikan tubuh maupun kecantikannya karena kecantikannya itulah dia mengalami perundungan dan berakhir menjadi gadis payah seperti sekarang. Dia tidak pernah berani memimpikan akan dicintai seseorang lalu menikah. Akan terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Gadis buruk sepertinya takkan ada seorangpun yang menginginkan.
Bastille sangat menikmati tubuh Yalena. Pagi ini dia merasa sangat dimanjakan. Dia menyukai peran barunya sebagai seorang suami. Bastille baru saja merasakan bagaimana bahagianya mempunyai seorang istri. Dia tidak perlu repot-repot lagi menyewa wanita malam untuk memuaskan dahaganya, karena kini dia sudah mempunyai pelampiasan.
Raut wajah Bastille seketika menjadi cerah, seperti cahaya baru saja terbit dari wajahnya. Rasa hangat ini membuat Bastille tidak bisa berhenti. Dia ingin bisa mencumbu tubuh sang istri tanpa henti. Andai saja manusia tidak membutuhkan uang dan makanan, dia mungkin akan bermalas-malasan seperti ini sepanjang waktu, nyaman berada di dekat sang istri. Namun, saat dia hendak menyatukan tubuhnya dengan istrinya, tiba-tiba saja ponselnya berdering menyerukan nama kakaknya. "Astaga, apalagi ini?" geram Bastille. Tadi istrinya pingsan dan kini ponselnya berdering. Tuhan seperti tak rela melihat dia mendapatkan kesenangan.
Bastille mengambil benda pipih di atas nakasnya lalu mematikan sambungan telepon. Dia tidak mau membuang-buang waktu, dia ingin segera memasuki Yalena lalu memuaskan hasratnya. Akan tetapi, lagi-lagi ponselnya kembali berdering membuat Bastille seketika naik pitam. "Damn it!" Dia menyambar benda yang terus berbunyi di atas nakasnya lalu mengangkat panggilan tersebut dengan geram. "B*jingan kamu, Tom!" raungnya penuh amarah. Bastlle beringsut duduk ke sisi ranjang.
[Wow, wow, wow. Pagi-pagi sudah marah-marah, apakah aku telah menganggu kesenanganmu?] Suara Tommy dari sambungan telepon. Tommy Labrinth Timothy adalah saudara kembar dari Bast yang merupakan seorang pengacara terkenal sekaligus pemilik sebuah Firma hukum yang cukup terkenal di Indonesia.
Yalena sangat terkejut saat mendengar Bastille berteriak keras. Dia merasakan takut tetapi, agak sedikit lega saat Bastille menyingkir dari atas tubuhnya. Yalena langsung menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Dia duduk bersandar ke kepala ranjang. Dilihatnya Bastille yang tengah menerima telepon. Apa mungkin itu pengacara Tommy yang terkenal itu? Namun, Yalena tidak terlalu heran, karena dia tahu Tommy dan Bastille ialah saudara kembar. Syukurlah Tommy menelpon, Yalena jadi bisa bernapas lega sekarang. Dia akhirnya telah bebas dari kungkungan pria jahat itu.
"Hah! Kamu masih berani bertanya?" Nada suara Bastille terdengar sinis. "Shit, Tommy! Kamu harus membayarnya saat aku pulang nanti." Pria itu mengacak-acak rambutnya frustasi. Suasana hatinya seketika rusak gara-gara ulah kakaknya sendiri. Bastille kesal bukan main saat ini. Ingin rasanya dia mencekik seseorang untuk melampiaskan kekesalannya.
Terdengar suara tawa dari sambungan telepon. Tommy tertawa cukup keras saat mendapatkan respon kesal dari saudara kembarnya. [Sorry, Bast sayang. Aku tidak ada maksud untuk mengganggumu. Aku meneleponmu pagi-pagi begini karena ada hal penting yang harus aku sampaikan.] Suara Tommy berubah serius.
"Apa?" tanya Bastille malas.
[Paman Mark mulai melakukan pergerakan. Aku mendapatkan informasi bahwa dia melakukan pertemuan dengan Dirut dari setiap anak perusahaan. Aku harap kamu cepat pulang. Kita tidak bisa membiarkan dia terus seperti ini. Akan sangat berbahaya bagi posisimu.]
Bastille mengepalkan tangannya kuat. Amarahnya semakin tersulut saat mendengar kabar tidak menyenangkan ini. Mark memang b*jingan, dia bahkan tidak membiarkan Bastille menikmati masa-masa pengantin barunya. Pria tua itu terus berusaha membangun sekutunya setiap kali Bastille lengah. Sialan! "Aku akan segera pulang besok. Kamu terus awasi dia. Tua bangka itu benar-benar sudah keterlaluan."
[Baiklah. Aku akan memberitahu Mom dan Dad.]
"Oke. Bilang ke Mommy kalau aku dan Yalena akan pulang besok. Persiapkan segala sesuatunya."
[Iya.]
Bastille menutup sambungan teleponnya. Gairahnya yang sedari tadi menggebu-gebu seketika lenyap saat mendengar kabar menyebalkan yang telah berhasil membuatnya kesal. Dia meletakan kembali ponselnya di atas nakas. "Aku lapar," ucap Bastille tanpa melihat ke arah sang istri.
Seketika terasa kejut listrik kecil pada tubuh Yalena saat mendengar suaminya berbicara kepadanya. "La-lapar?" beonya.
"Iya, saya lapar, apa kamu tuli?" bentak Bastille. Dia yang masih kesal dengan ulah Mark pada akhirnya malah melampiaskan kepada Yalena. Dia berbicara cukup keras sehingga membuat tubuh kecil gadis itu tersentak. Namun, Bastille segera mengelus dadanya saat menyadari hal itu. Dia memperbaiki ucapannya. "Aku dengar dari Paman Satrio kamu pandai memasak. Masakan aku apa saja, aku akan memakannya selagi rasanya enak." Suaranya melembut.
"Ba-baiklah." Yalena melilitkan selimut pada tubuhnya lalu turun dari atas ranjang kemudian memunguti pakaiannya. Dia segera pergi ke kamar mandi. Yalena berlari-lari kecil dan hal itu terlihat lucu bagi Bastille hingga membuat pria itu mengembangkan senyuman kecil. Gadis bodoh. Batinnya.
Namun, sesaat kemudian, Bastille terpikirkan akan Mark. Dia harus menyelidiki dulu masalah yang dibuat pamannya tersebut dan siapa saja Dirut yang menghadiri pertemuan itu. Bastille harus mengantongi nama-nama penghianat itu sebelum perang benar-benar akan dimulai. Karena akan sangat berbahaya jika System Technology Thimoty jatuh ke tangan yang salah. Mark yang serakah ingin menyatukan MC (Mark Corporation) dengan System Technology Thimoty yang sudah tentu akan menaikan kembali nilai saham.
Namun, bukan itu masalahnya. Bastille tidak menyetujui akusisi tersebut karena MC merupakan perusahaan yang memproduksi senjata militer berspesialisasi senjata kimia berbahaya. Bastille tidak suka dengan niat Mark. Senjata kimia sejatinya sudah dilarang digunakan dalam peperangan karena dampaknya yang sangat mengerikan. Namun, masih banyak perusahaan nakal yang masih memproduksinya sehingga masih dapat digunakan dalam peperangan sampai saat ini. Senjata kimia menyebabkan kerusakan yang cukup parah baik terhadap makhluk hidup maupun lingkungan. Karena jika digunakan, tidak akan ada penangkalnya. Senjata itu akan merusak apapun yang dimasukinya. Termasuk tanah sekalipun. Mengerikan.
Bastille men-scroll layar ponselnya lalu menelepon Antony asistennya.
[Tuan.] Suara Antony dari sambungan telepon dengan penuh segan.
"Cari tau siapa saja Dirut yang menghadiri undangan pertemuan, Mark."
[Baik, Tuan.]
Bastille langsung menutup sambungan teleponnya.
Sementara di kamar mandi, Yalena sedang membersihkan tubuhnya. Otaknya tak dapat berhenti memikirkan apa yang baru saja dialami. Dia menyentuh dada, perut, dan setiap bagian tubuhnya yang sedari tadi disentuh Bastille. Apa yang baru saja dia alami merupakan hal asing. Kemudian dia menyentuh bibirnya. Dia merasa tidak percaya bahwa dia sudah melakukan ciuman bibir. Wajah Yalena langsung memerah dengan panas menyertai. Namun, seketika kesedihan merambat ke dada. Ini semua terjadi tanpa keinginannya. Yalena masih berusaha menerima segala perlakuan Bastille yang kasar dan semena-mena. Apa aku akan mengalami ini setiap hari? Sorot matanya berubah sendu.