Bastille tengah duduk di sofa kamarnya kala Yalena tengah fokus menonton serial drama Cina. Begitu pusat Yalena melihat tv sampai tak menyadari ada sepasang mata yang tengah sibuk mengawasinya.
Rupanya drama Cina itu telah berhasil menguras emosinya. Hingga tak ayal akan membuat air mata Yalena lumer membasahi pipi di setiap adegan yang sedih atau mengharukan. Kini Yalena tengah menangis hingga sesenggukan gara-gara si raja yang merupakan pemeran utama pria dalam drama tersebut, dicurangi sang ayah mertuanya sendiri.
Rupanya si ayah mertua bekerja sama dengan paman si raja untuk menjatuhkannya dari tahta. Yalena merasa kasihan pada permaisuri dan raja dalam drama itu karena telah menjadi korban keserakahan keluarganya sendiri.
Keduanya yang sudah saling mencintai pun dipaksa untuk berpisah karena runtuhnya kekuasaan si raja. Raja itu akhirnya dieksekusi di depan sang permaisurinya. Itu adalah drama paling menyedihkan yang pernah Yalena tonton. Dia menyesal bukan main kala menyaksikan akhir yang begitu menyedihkan. "Kenapa kisahnya menyedihkan banget, sih?" gumamnya sambil menangis sesenggukan.
Senyuman Bastille tersungging kala melihat keluguan Yalena. Lelah Yalena rela menumpahkan air mata hanya untuk karena menonton drama. Sia-sia saja dasar gadis konyol. Batinnya. Lalu kembali dilihatnya Yalena yang menangis. Bentuk bibir gadis itu menyerupai hurup U yang terbalik. Terlihat tangannya pula mencubiti cover bed sambil berdesis pelan. "Jahat banget! Tega, kamu pasti akan menyesal, Liu Chen!" Racaunya bergumam pelan saat melihat adegan sang raja ditusuk menggunakan pedang.
Permaisuriku kuatkan lah hatimu. Di kehidupan selanjutnya, kita tidak akan pernah berpisah. Raja dalam drama berkata dengan terbata-bata.
Tidak, Yang Mulia. Jangan tinggalkan aku. Permaisuri dalam drama menangis sambil memeluk jasad suaminya.
"Kasian banget Ning Xi dan Zhou." Yalena kembali bergumam sedih seraya menyeka airmata di pipinya. Adegan sang raja sekarat sungguh menguras emosi. Dia tidak ikhlas kalau sampai rajanya mati. Raja dalam drama itu terlalu tampan untuk dibiarkan mati muda. Hatinya sungguh dibuat campur aduk. Ingin rasanya dia masuk ke dalam drama itu lalu menyelamatkan sang raja agar tidak jadi mati.
"Apa kamu nggak lapar?"
Pertanyaan Bast mengejutkan Yalena. Gadis itu segera mencari-cari keberadaan ponselnya untuk melihat waktu. Benar saja, sebentar lagi jam makan malam dan Yalena belum memasak. Dia beringsut ke sisi ranjang hendak turun.
"Saya nggak menyuruhmu memasak. Saya nggak jahat seperti suami-suami durhaka di sinetron ikan terbang yang akan tetap menyuruh istrinya memasak disaat keadaannya buruk begini." Nada bicara Bastille sinis seperti biasa membuat Yalena hanya bisa menunduk tanpa bisa menyahut. "Kita beli saja," imbuh Bastille.
Yalena masih diam dengan raut wajah takut.
"I ordered food, sebentar lagi mereka sampai. Tunggu saja."
Yalena pun setuju, dia kembali ke duduknya semula untuk melanjutkan menonton drama.
Beberapa menit kemudian terdengar suara bell pintu berbunyi.
Bastille mengerutkan kening. Apakah itu mereka? Kenapa cepat sekali? Batinnya. Dia bangkit dari duduk lalu mulai menggerakan tongkat meraba jalan.
***
Bast pun membukakan pintu kala sudah sampai di depan. Namun, deg. Rupanya yang baru datang itu bukan si pengantar makanan.
"Bast, ini kami Oma dan Opamu." Terdengar suara nenek Sandra.
Ryan dan Sandra merupakan kakek dan nenek dari Bastille. Keduanya asli Scotland tetapi, berkewarganegaraan Indonesia. Namun, dua tahun belakangan mereka memutuskan untuk menetap di sini. Keduanya memang
"Oma? Opa? Wh- what are you doing here?" Spontan Bast bertanya yang lantas mendapatkan kemarahan sang kakek.
"Cucu kurang ajar! Bukannya disambut, malah ditanyai yang enggak penting. Inikah sikap yang diajarkan kedua orang tuamu saat berhadapan dengan orang tua?" Kakek Ryan berteriak dengan suara yang agak serak khas orang tua.
Bast menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bukan begitu, Kek. Aku cuma enggak nyangka saja Kakek dan Nenek akan menemuiku."
"Kenapa memangnya? Kamu enggak suka?"
"Bu- bukan begitu, aku cuma__"
"Sudahlah." Kakek menerobos masuk dengan tangan nenek yang masih setia digandengnya. "Mana Cucu Menantuku? Aku ingin bertemu dengannya."
"Dia di kamar, tubuhnya sedang kurang sehat."
Kakek Ryan mengangguk lalu berjalan menuju ke kamar Bast dan Yalena.
***
"Silakan masuk, Oma, Opa." Bast.
Ryan dan Sandra pun memasuki kamar. Sementara Yalena hanya bisa memperhatikan keduanya. Gadis itu bahkan tak lagi mempunyai kekuatan untuk gugup. Dia mencoba serileks mungkin agar sakit di perutnya tidak kembali timbul. Oma, Opa? Batin Yalena. Dan saat ketiganya tampak, barulah dia sadar kala melihat sepasang manusia tua. Dia tersenyum ke arah keduanya lalu perlahan beringsut untuk turun dari ranjang untuk menyambut kedatangan mereka.
Sandra bergegas menghampiri Yalena. "Enggak usah turun. Oma, dengar dari Bast, kalo kamu sakit. Lebih baik istirahat saja, enggak perlu menyambut kami. Kami mengerti." Dia tersenyum lalu duduk di dekat cucu menantunya. "Sakit apa kamu, Nak?"
Yalena tersenyum ramah. "Hanya sakit perut, bukan masalah besar."
Sandra menoleh ke arah Bast cucunya. "Bagaimana mungkin Istrimu bisa sakit perut? Kamu pasti enggak mengurusnya dengan baik."
Bast tersenyum kesal karena merasa telah disalahkan.
"A- eu- enggak kok, Oma. Bast memperlakukanku dengan sangat baik. Tapi, perutku ini memang selalu begini setiap kali datang bulan. Aku yang ceroboh, lupa membawa obat tradisional yang biasa kuminum." Yalena.
"Ya ampun, malang sekali kamu, Nak. Semoga kamu lekas sembuh yah?"
Yalena mengangguk. "Makasih, Oma."
Sandra mengangguk lalu tersenyum.
"Hhhrrrmmmm." Ryan mendehem membuat semua yang ada di ruangan menoleh ke arahnya. "Berapa usiamu, Nak?"
"Du- dua puluh tiga tahun, Opa."
Ryan memanggutkan kepala. "Bagus, berarti kalian enggak boleh menunda-nunda waktu untuk memiliki momongan."
Bast terbatuk karena tersedak salivanya. "Enggak baik membicarakan momongan disaat Lena sedang sakit seperti ini, Opa." Dia mengingatkan.
"Baiklah. Jadi, kapan kalian akan pulang ke Indonesia?"
"Nanti saat keadaan Lena sudah membaik." Bast.
"Hmm, aku mau kalian tinggal bersama kami." Ryan.
"Tapi, aku sudah memiliki rumah."
"Rumahmu enggak lebih baik dari rumahku, anak sombong." Ryan menatap sang cucu sinis. Bast memang selalu beralasan setiap kali diminta berkunjung.
"Bukan begitu, Opa. Rumahku jaraknya lebih dekat ke kantor. Aku selalu terlambat masuk kerja setiap kali menginap di rumahmu."
"Alasan, bilang saja kalo kamu enggak mau tinggal bersama kami."
Bast selalu pusing setiap kali bertemu dengan Ryan dan Sandra. Mereka selalu memaksakan kehendak, dan selalu menempatkannya dalam posisi yang sulit. Beruntung, saat kakeknya hendak nyerocos, makanan pesanan Bast pun tiba membuat pria itu bisa menghindar. "Itu pasti orang yang mengantar makanan. Tunggu sebentar, aku ke depan dulu."
***
Bast tengah menerima telepon dari kakaknya di sebuah ruangan bergaya klasik yang berlatar putih. Pria itu tampak tak setenang ruangannya. Bast begitu panas dikerubungi amarah. Kakaknya baru saja memberinya kabar buruk. Dia mengatakan bahwa Robert Boseman ayah dari Angelica mantan pacaranya, semalam bertemu dengan Mark secara rahasia di kediamannya. Tommy memberikan bukti-bukti foto mobil Mark yang terparkir di depan rumah Robert. Hal itu semakin membuat Bast naik pitam. "Mark, apa yang sedang kau rencanakan?" gumamnya sembari mengepalkan tangan dengan geram.
Mark semakin gencar mencari sekutu sedangkan, Bast sama sekali belum melakukan tindakan apa pun. Dia belum bisa pulang ke Indonesia selama kesehatan Yalena belum membaik. Pria berrahang tegas itu sungguh dibuat gemas karenanya. Namun, sebisa mungkin dia menahan diri. Bast tidak boleh gegabah. Dia belum tahu pasti siapa yang sekutu dan siapa yang musuh. Petinggi perusahaan yang telah bergabung dengan Mark belum dapat dipastikan jumlahnya dan siapa-siapa saja mereka. Selain Robert dan para dirut cabang, dia belum memegang nama-nama yang lain. Pergerakan Mark sungguh rapi terstruktur. Sangat sulit untuk mengikutinya. Dia selalu selangkah lebih depan.
[Kamu harus cepat pulang. Kita enggak tau pasti kapan pergerakan mereka akan dimulai. Tapi, saat nanti itu terjadi, kita harus benar-benar siap.] Suara Tommy dari sambungan telepon. [Bagaimana keadaan Adik Ipar sekarang?]
"Dia masih belum membaik."
[Kenapa kamu enggak pulang bersama Angelica saja? Dia pasti enggak akan keberatan membantumu untuk memantau kesehatan Istrimu selama dalam perjalanan.]
"Apa kamu sudah gila?! Ayahnya adalah bagian dari musuh kita sekarang."
[Ayahnya, tapi, Angelica enggak. Dari dulu dia enggak suka ikut campur masalah perusahaan, dan jika dia terlibat, dia mungkin akan lebih memilihmu menjadi sekutunya daripada Ayahnya. Dia masih sangat mencintaimu, aku tau itu.]
"Kamu berbicara seolah mengetahui semuanya, Tom. Lebih baik kamu istirahat. Sepertinya kamu lelahi sehingga berbicara ngawur begitu."
[Tapi, aku sungguh yakin kalo Angelica enggak terlibat.]
"Seriously?"
Tommy berdecak kesal. [Argh sudahlah, menjelaskan sampai mulut berbusa pun, kamu enggak akan percaya.] Tut tut. Sambungan terputus.
Bast terkekeh saat mendapatkan respon kesal dari sang kakak. Sepertinya dia tersinggung hingga memutuskan sambungan telepon. Namun, raut wajah Bast seketika berubah serius kala mengingat kembali tentang Robert. Sepuluh tahun yang lalu Robert pernah mengajukan perjodohan Angelica dengan Bast kepada kedua orang tua Bast tetapi, ditolak. Karena Bast belum yakin dengan perasaannya, dan berengseknya dia. Hingga mereka akhirnya putus pun, Bast masih tak paham akan perasaannya terhadap Angelica. Entahlah.
Bast menatap jam di ponselnya. Rupanya waktu sudah menunjukan jam setengah satu malam, dan dia lupa untuk mengecek keadaan Yalena setelah makan malam tadi. Karena dia mendapatkan telepon penting dari Tommy. Tak mau banyak berpikir, pria jangkung itu pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Rumah yang besar nan megah itu ternyata begitu hening dan sepi. Bast mengedarkan pandangannya, kesunyian seperti ini kadang membuat Bast merasa kesepian. Dia tak mau terus sendiri, dia ingin memiliki banyak teman.
Perlahan dia mendorong daun pintu kala sudah sampai di depan kamarnya. Dia masuk. Tampak Yalena masih belum tidur. Gadis itu masih asik menonton drama Cina yang tadi siang. Bast menatapnya heran. Apa ceritanya semenarik itu? Hingga malam pun dia rela begadang demi menontonnya. Batin Bast. "Kamu belum tidur?"
"Astaga!" Yalena tersentak kaget saat mengetahui keberadaan sang suami yang entah dari kapan sudah berdiri di sana. "Bast." Dia memegangi dadanya yang naik turun akibat intonasi napas cepat. Dadanya pun tak kalah syock hingga mengakibatkan detak jantungnya berpacu. "Kamu membuatku terkejut."
"Kamu enggak menjawab pertanyaanku."
"Pe- pertanyaan? Pertanyaan yang mana?" tanyanya hati-hati takut-takut terkena bentak lagi.
Bast menghela napas pasrah. "Sepertinya telingamu penuh, perlu dikorek. Kapan terakhir kali kamu membersihkan telinga?"
"Ma- maaf." Yalena menundukan kepalanya dalam.
"Sudahlah, saya enggak peduli." Dia naik ke atas ranjang lalu berbaring di samping Yalena. "Jangan lupa matikan tvnya kalo nanti kamu mau tidur. Saya enggak suka ada pemborosan."
"O- oh, iya." Dia tersenyum canggung hingga menampakan gigi putihnya yang berjejer rapi. Yalena kembali menampakan giginya untuk memalsukan perasaan takutnya. Takut Bast akan terkena marah lagi.
"Dasar gadis aneh." Bast membalikan tubuhnya membelakangi Yalena lalu menarik selimut hingga ke dada.
Yalena menghela napas seraya menggelengkan kepala dengan sebelah tangan memegangi dada. Baru saja tadi siang dia merasa senang mendapatkan sikap lembut Bast, malam ini pria itu telah berubah kembali menjadi si pria bermulut tajam setajam silet. Ada apa sebenarnya? Kenapa sikapnya selalu saja berubah-ubah? Hal itu membuat Yalena salah tingkah dan bingung. Bast benar-benar pria yang tidak mempunyai pendirian. Batinnya. Dia pun memutuskan untuk tak mengambil pusing sikap sang suami, lalu kembali melanjutkan menonton drama.
***
Bast bangun dari tidurnya karena teringat suatu pekerjaan yang belum selesai. Dia pun bangkit dari pembaringan. Bast menoleh ke arah tv yang masih menyala, sedangkan si penonton sudah terkapar asik berselancar di dunia mimpi. Pria itu berdecak kesal. "Enggak disiplin," keluhnya.
Ditatapnya wanita yang tertidur pulas di ujung ranjang dengan meringkuk dan sebelah tangan terpelintir kebelakang. Dia khawatir hal itu akan membuat tubuh Yalena sakit saat bangun nanti. Kemudian berinisiatif untuk membenarkan posisi tidur sang istri. Dia mengangkat tubuh Yalena lalu membaringkan dengan posisi yang nyaman dengan kepala dialasi bantal. "Merepotkan." Kembali dia mengeluh. Namun, matanya seperti terpaku tak dapat beralih. Dia menatap Yalena penuh damba lalu membungkukan tubuhnya hendak mengecup bibir gadis tersebut. "Aku pasti sudah gila," gumam Bast setelah mengecup bibir istrinya. "Argh sudahlah, daripada nanti menggila, lebih baik aku segera pergi." Dia melengos mengayuh kakinya keluar dari kamar sambil sesekali menepuk keningnya.