Chereads / Berikan itu hanya untukku! / Chapter 5 - Bebal

Chapter 5 - Bebal

Yalena pergi ke dapur lalu mengecek isi lemari es. Terdapat daging, sayuran, serta rempah-rempah asal Indonesia lengkap tertata rapi di dalam lemari pendingin tersebut.

Yalena mengambil daging ayam, kentang, dan beberapa bumbu rempah. Dia ingin memasak opor ayam dan sambal goreng kentang.

Ayahnya pernah mengatakan bahwa Bastille sangat menyukai sambal goreng kentang. Yalena mulai mempersiapkan berbagai bumbunya lalu mengulek hingga halus. Dia tak pernah menggunakan blender untuk menghaluskan bumbu, karena akan merusak cita rasa masakan katanya.

Yalena memasak sendiri tanpa dibantu pelayan, karena di mansion itu memang hanya ada mereka berdua. Dia tidak suka ada banyak orang di sekitarnya. Gangguan kepercayaan diri membuat dia tak nyaman berada di tengah banyak orang. Namun, ada sedikit hikmah yang dia dapatkan dari kebiasaannya mengurung diri di rumah.

Yalena sering kali menyibukan diri di dapur untuk melepaskan kebosanan, sehingga pada akhirnya dia menjadi seorang gadis yang mahir memasak tanpa harus mengikuti kelas khusus.

Semua itu Yalena pelajari secara otodidak dari ibunya. Memasak merupakan satu-satunya hobi yang dia miliki. Karena dengan memasak Yelena bisa melupakan semua masalahnya barang sejenak.

Kemampuan memasak Yalena hampir mencapai tingkat profesional karena dia terus melatihnya. Dia selalu merasa percaya diri dengan masakannya. Hal itulah yang membuatnya nyaman jika tengah melakukan aktivitas tersebut. Dia selalu merasa puas saat melihat orang-orang menyantap makanannya dengan lahap.

Tiga puluh menit kemudian Bastille turun dari kamarnya lalu duduk di kursi makan sembari bertopang dagu. Tatapannya fokus ke arah Yalena yang sedang sibuk di dapur.

Tampak Yalena tengah mengaduk-aduk sesuatu di wajan lalu mencicipi rasanya. Aroma sedap masakan gadis itu menyerebak di ruangan tersebut membuat perut Bastille semakin keroncongan.

Setelah semuanya selesai, Yalena pun memindahkan hasil masakannya ke wadah yang sudah dia siapkan. Pagi ini dia hanya memasak opor ayam dan sambal goreng kentang yang dicampur dengan hati ayam dan petai.

Kemudian Yalena memindahkan hasil kerjanya ke meja makan. Yalena yang tak menyadari keberadaan Bastille sebelumnya agak terkejut saat melihat pria itu duduk manis di kursi makan.

Bastille yang notabene seorang pria bule blasteran Indonesia Skotlandia, ternyata lebih menyukai masakan Indonesia ketimbang western. Sangat berbeda dengan Tommy kakaknya yang lebih mengidolakan western.

Tak lupa Yalena menyiapkan piring dan gelas berisi air bening di atas meja makan. Kemudian dia menyendokkan nasi dan lauk pauk ke atas piring lalu menaruhnya di hadapan suaminya. Sedikit gugup dia melayani Bastille tetapi, hal itu masih bisa dikendalikan.

"Apa ini?" Bastille dengan mata lengah.

"O- opor ayam dan sambal ken-kentang."

"Saya nggak bisa makan paha atau dada ayam utuh."

"Lalu?"

"Suwir-suwir dagingnya, baru saya bisa makan."

"O-oh. Baiklah."

Kemudian dengan telaten Yalena menyuwir-nyuwir daging dada ayam untuk Bastille. Hal itu merupakan kebiasaan Bastille dari sejak kecil yang tak bisa diubah. Agak manja memang tapi, tak masalah selama Bastille tidak memarahi apalagi memukulnya. "Sudah." Yalena menyodorkan piring itu lebih dekat dengan suaminya.

"Hhhrrmmm." Bast mendehem. "Thanks."

Yalena hanya menganggukan kepala. Di dalam hatinya dia merasa tidak sabar ingin mendengar tanggapan Bast untuk masakannya. Semoga saja Bast menyukai rasa masakanku. Batinnya.

Bastille menyinduk sendok pertama makanannya. Rasa dari masakan Yalena memang enak. Gadis itu memang pandai memasak. "Lumayan." Dia mengangguk-anggukan kepalanya.

Yalena hanya tersenyum simpul dengan wajah tertunduk saat mendengar tanggapan Bastille untuk masakannya. Kata lumayan dari suaminya membuat Yalena merasa cukup puas, setidaknya Bastille tidak akan melempar piring ke wajahnya. Kemudian gadis itu pun mengambil makanan untuk dirinya sendiri lalu mulai menyantap hasil karyanya tersebut.

Selama sesi sarapan itu, Yalena tidak sekalipun menoleh ke arah suaminya. Dia hanya terus menundukan kepala sambil fokus memakan makanannya.

Sementara Bastille amat sibuk makan seraya memperhatikan istrinya. Kepalanya kini dipenuhi tentang tanda tanya. Gadis ini lumayan cantik tetapi, kenapa dia berperilaku aneh? Kenapa dia tidak pernah berani menatap wajahku? Apa mungkin dia nggak menyukai wajah tampanku? Atau dia nggak sanggup melihat ketampananku? Batin Bastille bingung.

Mata Bastille yang nakal terus saja mencuri-curi menatap sang istri. Yalena sungguh sudah membuat Bastille merasa penasaran. "Yalena, why do you want to marry me?" tanya Bast memecahkan keheningan. Pertanyaan yang terus mengganjal dari sejak semalam.

Segera sendok di apitan Yalena pun jatuh dan menimbulkan suara bising. Dia terkejut kala mendengar suara Bastille yang tiba-tiba.

"Ya Tuhan." Bastille menepuk keningnya. Dasar cewek b*go! Batinnya kesal.

"Ma-maaf." Yalena menyesalkan lalu segera meletakkan tangannya di kedua paha dengan kepala tertunduk dalam. Dia gemetar.

"Dikit-dikit gemetar. Ya Tuhan, Lena. Berhadapan dengan saya saja sudah membuatmu gemetar. Kamu ini kenapa? Apa kamu takut padaku? Saya ini manusia, bukan monster pemakan manusia." Bastille memijat keningnya.

"Ma-maaf." Yalena bertambah takut disertai rasa tak enak hati.

"Lupakan saja. Sekarang jawab pertanyaanku tadi."

"Pe-pertanyaan?"

Bastille mendengus kesal.

Hal itu semakin membuat Yalena merasa tertekan. "Ma-maaf."

"Kenapa? Kenapa kamu mau menikah dengan saya?"

"A-apa harus ku-kujawab?" Yalena tergagap. Dia tidak menduga bahwa Bastille akan mengajaknya mengobrol.

"Sure."

"Ka-karena kamu ng-nggak bisa melihat." Yalena menjawabnya langsung tanpa berbasa basi. Jawaban gadis itu membuat Bastille tersedak makanannya hingga menyebabkan pria itu terbatuk hebat.

Yalena segera bangkit dari duduknya lalu menepuk-nepuk punggung suaminya dan memberikan air minum saat Bastille sudah berhenti terbatuk. "Mi-minum ini, Bast."

Bastille meminum air bening itu hingga tandas. Lalu mendehem untuk menetralkan tenggorokannya. "Kenapa? Apa kamu penyuka orang buta? You weird girl."

Yalena kembali menundukan kepalanya. "Bu-bukan begitu, ma-maaf. Ak-aku hanya selalu merasa tidak percaya diri bila harus beradu tatapan dengan orang lain," jawabnya dengan suara yang semakin mengecil.

Bastille mengerutkan kening sembari menatap intens ke arah istrinya. Dia merasa aneh terhadap Yalena. Perempuan itu tidak mempunyai kepercayaan diri yang baik. Padahal jika melihat kecantikannya, Yalena cukup cantik. Seharusnya dia merasa percaya diri dengan apa yang dimiliki fisiknya. Bastille semakin dibuat heran dan penasaran.

Namun, Yalena seperti tidak mau menjelaskan apapun. Perempuan itu kembali diam. Pening kepalanya kala menebak-nebak Yalena, hingga akhirnya dia pun menyerah. Bodo amat! Who's care? Bastille membatin.

"Hhrrmm." Bastille mendehem. "Besok kita akan kembali ke Indonesia. Mulailah kemasi barang-barangmu."

"Ba-baik," patuhnya.

"Kita nggak akan pulang ke kediaman Timothy, tapi ke rumahku. Saya akan mengundang Ayah dan Ibumu untuk bertamu jika kamu merindukan mereka."

"Ru-rumahmu?"

Bastille tersenyum angkuh. "Saya yakin, kamu belum pernah melihat rumah seharga tiga puluh delapan juta dollar, kan?" Sebelah alisnya terangkat menatap Yalena meremehkan. "Rumah termewah di Indonesia dengan pengamanan super ketat dan pelayanan sekelas hotel bintang lima," tuturnya dengan pongah. Bastille adalah orang yang senang pamer dan selalu membanggakan dirinya sendiri.

Yalena langsung bergidik ngeri saat mendengarnya. Pelayanan bintang lima? Keamanan super ketat? Oh Tuhan, pasti akan ada banyak orang di sana. Batinnya cemas.

Yalena meremas roknya di balik meja. Tiba-tiba tubuhnya terasa tak karuan dan nafsu makannya pun seketika menghilang karena serangan panik. Dia langsung gelisah saat mendengar kabar buruk itu. Bagaimana ini? Benaknya gelisah.

Yalena tidak bisa berada di tengah-tengah banyak orang. Dia tidak akan merasa nyaman. Seketika dia menjadi cemas sehingga keringat dingin pun bermunculan pada dahinya.

Debaran jantungnya sudah tak menentu dengan napas yang kian memberat. Kemudian Yalena merasa kepalanya pusing dan nyeri. Dia menyentuh wajahnya yang sudah memucat dengan telapak tangan yang basah mendingin. Kepalanya terasa berputar-putar lalu semuanya gelap.

Brukk!

Tubuh Yalena terjatuh ke lantai. Bastille yang tengah memperhatikan gelagat aneh istrinya pun langsung terkejut lalu segera menghampirinya. "Lena, Lena bangun." Dia mengguncang tubuhnya. "Kamu kenapa pingsan mulu? Masa iya, hanya karena mendengar harga rumahku saja kamu langsung pingsan. Merepotkan! Dasar gadis kampungan!" Bastille mengeluh sembari memijat kening lalu mengangkat tubuh istrinya dan membawanya kembali ke kamar.

Bastille tidak tahu dengan apa yang terjadi kepada Yalena. Belum genap dua hari mereka bersama, tapi Yalena sudah dua kali pingsan. Apakah aku semenakjubkan itu sehingga membuatnya terkejut? Ahh Bast, kamu memang luar biasa sempurna. Batinnya memuji dirinya sendiri. Pria itu tersenyum tipis, hatinya dipenuh kebanggaan.

Bastille duduk di tepi ranjang sembari memperhatikan wajah istrinya. Sebenarnya di hari pernikahannya kemarin itu adalah pertama kalinya dia bertemu Yalena. Dia belum pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya. Meski Bastille pernah beberapa kali main ke rumah Satrio, dia hanya pernah bertemu dengan Callena.

Pada awalnya Bastille mengira Callena lah yang akan dijodohkan dengannya. Namun, ternyata gadis yang lain. Yalena sangat berbeda dengan Callena yang sangat mudah sekali bergaul. Menurut Bastille, Yalena agak sulit dihadapi.

Beberapa kali perempuan itu tampak takut terhadap Bastille. Bahkan Yalena tidak pernah mau menatap wajahnya. Yalena selalu menundukan kepala setiap kali bersama Bastille. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa sikap Yalena seperti ini? Banyak sekali pertanyaan yang berseliweran dalam benaknya.

Tak berapa lama Yalena pun tersadar. Dia memijat keningnya yang terasa pusing sambil meringis. "Aduh," lenguhnya.

Bastille dengan segera mengambil segelas air putih di atas meja nakas. "Ini, minumlah."

"Ba-Bast?" Yalena merasa terkejut saat melihat suaminya berada di hadapannya.

"Iya ini saya, siapa lagi memangnya? Di rumah ini cuma ada kita berdua. Sudahlah, minum dulu air putih ini."

"I-iya." Yalena segera bangun dari pembaringan lalu mengambil air yang disodorkan suaminya. Dia meminumnya hingga tadas. "Terima kasih," ucapnya dengan sopan dan penuh segan. Gadis itu kembali meletakan gelas kosongnya pada meja di samping ranjang.

"Yalena, saya mau nanya."

"A-apa?" Yalena kembali gugup.

"Sebenarnya kamu kenapa? Semalam pingsan dan barusan pingsan lagi. Kamu sakit apa? Bilang saja biar saya membawamu ke Dokter."

"A-aku ga-gapapa. A-aku baik-baik saja."

"Kalo gapapa, kenapa pingsan?"

"A-aku hanya belum terbiasa dengan suasana di sini. Ma-maaf," jelas Yalena dengan diselimuti kekhawatiran. "Ba-Bast, bolehkah aku meminta sesuatu?"

"Apa?"

"Emmm, itu Bast__" Yalena meremas jemarinya. Dia ragu untuk mengatakannya. Dia takut Bastille tidak akan menyetujui permintaannya atau yang lebih parah, permintaan itu akan membuat Bastille kesal lalu marah. "Ba-Bast, ng-nggak apa-apa kan, aku mengatakannya? Ta-Tapi, kalo kamu nggak mau mengabulkannya, aku nggak bisa maksa." Dia mulai kembali gelisah.

Tiba-tiba saja Bastille merasa senang. Mungkinkah? Mungkinkah Yalena akan meminta itu? Bastille mulai menebak-nebak apa yang akan Yalena minta darinya. Benaknya langsung traveling membayangkan adegan dua puluh satu plus.

Kita kan, pengantin baru, tentu saja Yalena pasti akan meminta itu kan? Ahh tak disangka perempuan itu akan berani memintanya secara langsung seperti ini. Bastille menyugar rambutnya kebelakang dengan penuh kepercayaan diri. Hatinya sudah terlanjur meyakini jika Yalena akan meminta Bastille untuk melakukan hubungan intim yang sudah sedari tadi memenuhi imajinasinya. "Katakan saja, jangan malu-malu. Aku kan, suamimu."

"Em- i-itu--" Yalena meragu.

"Katakan saja, nggak perlu cemas. Kita kan, sudah sah sebagai suami istri. Saya berjanji akan mengabulkan semua permintaanmu. Kamu nggak perlu mengkuatirkan apapun, saya ini kuat dan kaya raya." Bastille kembali besar kepala.

Yalena menarik napas lalu menghembuskannya berulang kali sebelum akhirnya menyampaikan keinginannya. "A-aku mau di rumah kita nanti jangan ada pelayan dan petugas keamanan." Suara Yalena semakin menciut.

Segera Bastille terbatuk setelah mendengar semua. "Apa?" Keningnya berkerut.

Yalena terdiam dengan rona sedih. Dia yakin kalau Bastille pasti takkan mengabulkan keinginannya.

Bastille merasakan kepalanya berdenyut. Dia salah menduga permintaan Yalena. Bastille kira perempuan itu akan meminta hal lain, seperti bobok bareng. "Kenapa?" Bastille mengerutkan kening menatap intens ke arah istrinya.

Yalena mengerutkan tubuhnya sembari munduk dalam.

"Kenapa kamu nggak mau ada staf keamanan dan pelayan? Mereka semua penting bagi saya. Bagaimana cara mengurus rumah kalo nggak ada pelayan? Dan bagaimana menjaga rumah tanpa ada staf keamanan?" Bastille menatap Yalena dengan dengan penuh minat.

Bastille mulai kembali merasa ada yang janggal pada gadis itu. Siapa yang tidak suka dilayani dengan baik? Memiliki pelayan kompeten di rumah akan sangat membantu.

"Ak-aku siap me-mengurus rumahmu sendirian." Yalena meyakinkan Bastille.

Bastille seketika tertawa geli saat mendengar perkataan Yalena. "Mengurus rumahku seorang diri?" Di sela tawa kerasnya. "Kamu?" Tawanya kian bergema. "Kamu pasti lagi ngelindur, Lena."

Yalena terus tertunduk tanpa ada niatan menyahut.

Namun, segera Bastille menghentikan tawanya saat melihat Yalena kian murung. "Bukannya saya nggak percaya dengan kemampuanmu mengurus rumah. Tapi rumah saya ini sangat besar. Meskipun kamu bekerja sepanjang siang, kamu nggak akan sanggup bersihin semuanya dalam waktu satu hari. Bahkan dalam waktu seminggu pun saya yakin kamu nggak akan mampu menyelesaikannya."

"Ak-aku akan berusaha," ucap Yalena.

Bastille menyeringai miring. Boleh juga nih cewek. Bebal! Batinnya. "Baiklah, saya paham. Saya akan memecat semua pelayan, tapi nggak dengan staf keamanan. Saya yakin kamu nggak akan sanggup bangun sepanjang waktu untuk menjaga rumah megah saya. Di rumah saya banyak benda berharga yang bernilai milyaran. Saya nggak mau ambil resiko."

"Ta-tapi aku-"

"Kalo kamu nggak nyaman dengan keberadaan mereka. Saya akan menyuruh mereka untuk menjaga jarak. Kamu nggak akan sampai berpapasan dengan mereka saat patroli di dalam maupun di luar rumah. Gimana?"

"Ba-baiklah."