Sore hari pun tiba dengan segala kegelisahan meliputi hati Yalena. Dia merasa terganggu dari sejak siang tadi saat Bastille mengatakan hal itu.
Entah kenapa tubuh Yalena menjadi terasa kurang nyaman. Rasa nyeri pada perut terus mengelumuni. Entah karena gugup atau dia salah memakan sesuatu tetapi, perutnya sekarang terasa sangat sakit. Bukan hanya perut yang terasa begah, sakitnya juga terasa pada beberapa bagian tubuh lain. Ya Tuhan. Batinnya.
Yalena mencoba merebahkan tubuhnya di atas ranjang, meringkuk. Perasaan dia kini sungguh semakin terasa tidak karuan. Ingin sekali dihilangkan dengan segera rasa nyeri pada tubuhnya. Bagaimana caranya? Andai di sini ada Mama, Mama pasti akan membuatkanku teh lemon lalu memelukku sehingga membuat perasaanku menjadi lebih tenang. Mama, aku rindu. Batin Yalena kembali bergumam.
Yalena amat gelisah kala membayangkan malam nanti. Bagaimana ini, Tuhan? Bagaimana jika sakit ini akan bertahan sampai nanti malam? Penjelasan apa yang harus kuberikan kepada Bast nanti? Akankah dia mau mengerti? Benaknya. Rasa takut terhadap Bastille membuat pikirannya dilema.
Lamunan Yalena kembali menerawang ke malam lalu. Malam di mana Bastille mencoba menyentuh tubuhnya tanpa mempedulikan keadaan Yalena. Dia merasa tidak sanggup setiap kali memikirkan hal itu. Malam tadi adalah malam yang paling menegangkan, karena disaat tubuh Yalena dalam keadaan baik pun, dia masih merasa kepayahan. Bagaimana jadinya jika hal itu kembali terulang nanti malam, disaat keadaannya sakit seperti ini?
Tiba-tiba saja perasaan aneh kembali timbul. Kepayahan, pengecut, dan lemah, akan sampai kapan semua itu bersarang pada diri Yalena? Apakah akan selamanya dia menjadi manusia yang tak berguna? Ingin sekali Yalena bisa memiliki kepercayaan diri seperti orang lain dan hidup dengan normal. Kapankah dia bisa memiliki hal itu?
Perlahan matanya pun terpejam. Dia berharap dengan tertidur bisa mengurangi sedikit rasa sakit pada perutnya. Selang beberapa menit Yalena pun terlelap.
Helaan lembut napas Yalena menghembus perlahan. Gadis itu pulas sembari terus memegangi perutnya yang terasa kurang baik.
Tak ada yang menyadari bahwa di luar rumah ada seorang pria asing mencoba memanjat dinding. Pria itu tepat berada di bawah jendela kamar Yalena. Dinding setinggi dua puluh meter itu dipanjat dengan mudahnya. Dia terlihat sangat lihai melakukannya. Mungkin pria itu seorang ahli parkour.
Hanya butuh waktu beberapa detik saja, dia sudah sampai di balik jendela lantai atas. Pria itu terlihat mengintip untuk mengawasi keadaan sebelum pada akhirnya membuka jendela tersebut perlahan lalu menyelinap masuk dengan mudahnya.
Pria asing itu membuka penutup wajahnya. Dia adalah Takashi Tomohisa dua puluh tujuh tahun, sepupu dari Bastille anak dari bibi Flora Elsie Thimoty dan Daichi Tomohisa. Pria blesteran Scotland Jepang itu berwajah Asia.
Tomo mengedarkan pandangannya di ruangan itu. Dia hanya melihat sekilas tubuh seorang perempuan yang tengah tertidur di atas ranjang. Tanpa pikir panjang, pria itu pun segera menggeledah ruangan tersebut.
Lemari, meja nakas bahkan tutup toilet tak luput dari pengawasannya. Tomo memeriksa setiap bagian ruangan itu dengan tenang dan hati-hati. Namun, tanpa sengaja dia menyenggol sebuah gelas di atas bufet sehingga menyebabkan kegaduhan. Yalena yang terkejut lantas segera terbangun.
Yalena bangkit dari tidur seraya mengucek manik indahnya. Dia duduk terdiam di atas ranjang untuk mengumpulkan kesadarannya yang masih belum terkumpul sepenuhnya.
Gadis itu merentangkan kedua tangan yang terasa pegal. "Aduh, sakit lagi." Dia bergumam dengan wajah mengerut seraya memegangi perut. Ditekannya perut itu berharap sakitnya akan berkurang. Namun, hal itu tak terjadi. Sakitnya masih tetap terasa.
Tomo membeku di tempatnya saat melihat Yalena bangun. Kecemasan seketika menghampirinya. Dia takut wanita itu akan berteriak dan membuatnya ketahuan. Sial! Aku ceroboh! Batinnya.
Terlihat sebuah bayangan di ujung netra Yalena. Dia pun menoleh. "A-ada apa Ba-Bast?" Namun, matanya seketika membeku saat beradu tatapan dengan orang lain.
Yalena seketika menarik selimut hingga menutupi setengah wajahnya. "Si-siapa kamu?" Gadis itu merasa gugup dan takut saat melihat ada pria asing di kamarnya. Dia beringsut sembari mengerutkan tubuhnya.
Tomo yang terpaku kala melihat Yalena pun segera tersadar. "A-aku Tomo. Kamu nggak perlu takut, aku bukan orang jahat." Perlahan dia berjalan mendekati ranjang.
"To-Tomo?"
"Iya, aku ke sini untuk mencari barangku yang sudah diambil Bast."
"Barangmu?"
"Iya, jangan mengatakan apapun tentangku kepada Bast atau nanti kamu akan terkena masalah besar."
Deg
Masalah? Masalah besar? Seketika ketakutan langsung menggerayanginya. Yalena tidak mau mendapatkan masalah. Dia cukup menderita dengan keadaanya saat ini. Segera saja gadis itu menganggukan kepalanya cepat.
"Bagus." Tomo tersenyum senang. "Aku pergi dulu, selamat tinggal." Pria itu segera berlari lalu memanjat jendela kemudian melompat.
"Oh?" Yalena membekap mulutnya saat melihat Tomo melompat dari ketinggian. Dia syok sesaat di sana. "What's going on?" Dia segera bangkit dari tempat tidur lalu melihat ke bawah jendela itu. Namun, dia tak mendapati siapapun di bawah sana. "Ke mana dia? Apa dia baik-baik saja?" Mata Yalena terus melihat ke bawah mansion hendak mencari tahu keadaan pria tadi.
Cklek! Suara pintu dibuka yang seketika membuat tubuh Yalena berbalik. Dia terpegan saat melihat siapa yang memasuki kamar. "Ba-Bast?"
Bastille menatap heran istrinya yang tengah berdiri mematung di dekat jendela. Dia berjalan sembari menggerakan tongkatnya lalu duduk di sofa. Pria itu menyandarkan punggung tegangnya pada punggung sofa.
Bekerja seharian sungguh melelahkan. Setumpuk pekerjaan seperti tak pernah ada habisnya meski dikerjakan setiap hari. Belum lagi pemikiran tentang para penghianat yang terus saja tinggal di kepalanya. Mereka sungguh sudah membuat Bastille pusing. "What are you doing there? Come here."
Yalena merasa gugup tetapi, dia tetap mengiyakan suaminya. Dia duduk di samping Bastille dengan perasaan tak tenang. Gadis itu tak menyangka bahwa suaminya akan menarik tubuhnya ke dalam dekapan.
Bastille pun duduk bersandar sembari memeluk istrinya dengan kedua tangan kekarnya. Kepala Yalena yang menyandar di dada sang suami pun dapat mendengar detak lembut jantung Bastille. Dia seperti dapat merasakan kelelahan yang suaminya sedang alami. "Ba-Bast."
"Hmmm?" Mata Bastille terpejam.
"A-apa kamu le-lelah?"
"Hmm." Bast mengeratkan pelukannya sembari menghirup aroma wangi yang lembut pada rambut Yalena.
Berada di dekat Yalena selalu membuatnya nyaman. Gadis itu selalu mematuhinya. Bastille sangat menyukai sikap patuhnya.
Yalena tampak bingung dalam dekapan Bastille. Suaminya begitu baik kali ini, dia bahkan memperlakukannya dengan lembut. Sedikit ada rasa nyaman yang dia rasakan dalam pelukan Bastille. Gadis itu memejamkan matanya sembari menghirup aroma lembut pada tubuh suaminya yang maskulin tetapi, menenangkan.
Bastille mengangkat kepalanya saat merasakan kepala Yalena sedikit bergerak. Dia menatap puncak kepala istrinya sekejap. Kemudian dia mengangkat dagu sang istri menengadahkan kepala ke arah wajahnya.
Dag dig dug jantung Yalena saat menatap langsung mata legam Bastille. "Sepertinya kita harus menunda malam pengantin kita. Saya stress berat hari ini. Banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan. Mungkin saya harus bergadang."
Bola mata Yalena seketika membulat. Hatinya segera menjadi lega saat mendengar hal itu. Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam? Batinnya. Bagai mendapat jacpot, hatinya seketika bergembira. Untuk pertama kalinya Yalena tersenyum manis kepada sang suami. "Hmm." Dia menganggukan kepala. "Aku mengerti, Bast."
Bastille merasakan wajahnya memanas saat melihat senyuman pertama Yalena untuknya. "A-iya." Seketika otaknya macet.
"Apa kamu lapar? Aku akan membuatkanmu makan malam. Mau kubuatkan apa?"
Bastille terbengong saat melihat Yalena berbicara cukup baik, dia bahkan bertanya dengan berani sambil menatap langsung wajahnya. "E- aku- aku mau-" Kini giliran Bastille yang kehilangan kata-kata saat wajahnya ditatap Yalena dengan berani.
"Katakanlah, jangan ragu. Akan kubuatkan apapun untukmu." Sekali lagi gadis itu menebarkan senyumannya kepada sang suami.
Bastille terpaku menatap wajah Yalena. Gadis cantik di hadapannya telah berhasil mengambil alih kesadarannya. "Emm- ma-masakan aku makanan terenak yang kau bisa buat." Dia balas menatap mata Yalena.
Ini pertama kalinya gadis itu menatap dengan baik wajah suaminya. Dia mengerutkan kening saat matanya memperhatikan dua bola mata legam Bastille. Dia menatapnya heran. Mata itu seperti tepat menatap mata Yalena.
Kemudian Yalena mengucek-ngucek matanya memastikan dia tidak salah melihat. Lalu mengibaskan sebelah telapak tangan di depan wajah Bastille. Namun, mata Bastille sama sekali tak berreaksi. Yalena memijat keningnya seraya tersenyum simpul. Apa aku sudah menjadi semakin bodoh? Bast kan, buta. Mana bisa dia melihatku? Tatapannya tadi mungkin hanya kebetulan. Batinnya.
Yalena bangkit dari duduknya hendak ke dapur. Namun, tiba-tiba saja sakit pada perutnya kembali mendera. Kali ini rasanya lebih sakit dari sebelumnya. "Ahh." Yalena yang hendak melangkah segera memegangi perutnya.
Aduh, ini sakit banget. Sakitnya seperti akan datang bulan. Batinnya. Kemudian dia menjatuhkan dirinya ke lantai karena rasa sakit yang begitu menyiksa.
Yalena menggeliat kesakitan dengan wajah meringis. Tangannya meremas perut yang kini terasa amat nyeri.
Bastille turun dari sofa saat melihat istrinya jatuh tersungkur. "Kamu kenapa?" tanyanya panik.
Keringat dingin sudah membasahi sekujur tubuhnya akibat sakit yang ditimbulkan. Dia menggigit bibir bawahnya dengan suhu tubuh yang mendingin. "Pe-perutku."
Tiba-tiba saja terasa sesuatu yang hangat keluar dari bawah. Ternyata benar Yalena datang bulan. Hal ini selalu menyiksanya setiap kali datang. Namun, yang membuatnya heran, kali ini tamu tak diundangnya itu datang lebih cepat.
Obat tradisional yang selalu Yalena konsumsi dikala seperti ini lupa tak dia bawa. Bagaimana ini? Mamanya pun tak ada. Bagaimana dia akan melalui rasa sakitnya ini tanpa bantuan ibunya.
"Are you okay?" Bastille terlihat cemas karena melihat Yalena yang begitu kesakitan.
"A-aku datang bulan," jawab Yalena tanpa menatap wajah Bastulle. Rasa sakit itu makin mendominasi.
"What?" Bast bingung. "Apa kita harus ke rumah sakit?"
"Nggak, aku nggak mau. Ada brankar dan orang mati di sana. Aku nggak mau, aku nggak mau ke rumah sakit." Yalena panik. "Tolong jangan bawa aku ke rumah sakit. Aku nggak bisa, aku takut."
"Oke-oke, aku nggak akan membawamu ke rumah sakit. Lalu apa yang bisa aku lakukan sekarang? Apa mau kupanggilkan dokter?"
Yalena menganggukan dengan segera kepalanya.
Segera Bast mengambil ponsel lalu men-scroll-nya mencari nama teman yang merupakan seorang dokter di Scotland. Pria itu merasa risih karena dia harus tetap menjaga rahasianya di saat panik. begini Ponsel khusus untuk penyandang tunanetra itu bekerja sangat lamban membuatnya merasa geram. Segera dia mengklik setelah nama temannya ditemukan. Dering pertama panggilannya langsung diangkat.
[Hallo.] Suara Angelica dari sambungan telepon.
"Can you help me?"
[What happened?] Suara Angelica terdengar cemas.
***
Bastille memperhatikan dengan tidak tenang Angelica yang tengah memeriksa Yalena. Wajah dan bibir istrinya terlihat semakin putih pucat. Apakah itu sangat menyakitkan? Batinnya.
"Do you have a history of Edimetriosis*?" tanya Angelica kepada Yalena.
"Not, I was always like this every time I had my period."
"I'm serious, you should have this checked in the hospital."
"No!" Suara Yalena meninggi. "I cant," lirih Yalena. Kemudian segera memegangi lagi perutnya yang terasa sakit.
Angelica menatapnya heran.
Yalena tersadar jika dia sudah berlaku tidak sopan. "So-sorry. I didn't mean to speak like that." Wajahnya terlihat menyesal.
Bastille mendekati Angelica lalu berkata, "She has Nosocomephobia*."
Angelica hanya menatap Bastille sembari mengerutkan kening. Kalau seperti ini, tidak ada cara lain selain memanggil para medis ke rumah serta memboyong semua peralatan medis yang diperlukan.
Selesai memeriksa dan memberikan obat, Angelica pun izin pamit. "Who is she? Is she your girlfriend?"
"No. She not my girlfriend." Bastille tersenyum untuk kesopanan kepada teman sekaligus mantan pacarnya tersebut. "She is my wife."
"Apa?" Wajah Angelica terlihat syok. "Seriously?"
"Yes, why am I lying?"
Angelica berusaha mengendalikan kekagetannya dan mencoba bersikap sebiasa mungkin. "Aku turut berbahagia." Perempuan cantik itu tersenyum tipis. "Kapan kalian menikah? Kenapa kamu nggak mengundangku?"
Bastille tertawa kecil. "Yesterday. Jangan bertanya seperti itu. Pesta pernikahanku hanya diadakan kecil-kecilan dan tertutup. Kami hanya mengundang lima ratus tamu saja. Hanya keluarga dan kerabat serta sebagian rekan bisnis Ayah dan Ibuku."
Angelica menatap sedih Bastille seraya menghela napas berat. "Too bad, I thought we were close friends."
Bastille merasa tidak enak hati saat mendengar keluhan Angelica. "Angel, no. Please__" Terpotong.
"No, please. Don't worry, I'm just kidding," sahut Angelica dengan ramah.
Bast kembali tersenyum dengan ramah. "Thanks."
"Fine." Angelica tersenyum untuk kesopanan.
***
Usai mengantarkan Angelica ke depan pintu, Bastille pun kembali ke kamarnya lalu menelepon Antony. "Antony, kami akan menunda kepulangan ke Indonesia."
[Kenapa?]
"Istriku sakit. Kami akan pulang saat nanti keadaan Istriku sudah membaik."
[Are you sure?]
"Yes."
[Oke, kalo begitu aku akan meminta bantuan Kakakmu untuk menangani masalah Mark.]
"Thanks."
[You're welcome. Jangan terlalu keras kepada Kakak Ipar, pelan-pelan saja.]
"Siapa yang kau maksud Kakak Ipar?" tanya Bastille sinis
[Hhrrmm. Oke, aku sibuk. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Selamat sore.] Tut tut tut panggilan terputus.
Bastille menatap heran layar ponselnya geram. "Apa dia sudah gila?"