Semua mata kini tertuju kepada Rinai, ekspresi yang sulit dijelaskan. Rinai, hanya diam dan menunduk takut. "Kenapa kamu malah menghilang sejak tadi, Nduk?" tanya Ibu, Nduk adalah panggilan sayang mereka terhadap Rinai.
"Mbak, enggak bisa menghidar seperti tadi. Sikap Mbak itu malah jadinya terlihat pengecut!" Semprot Laras, membuat Rinai mendongak dan menemukan gurat kecewa di raut wajah adiknya. Rinai, menghelas nafas. "Mbak, tuh merasa tidak cocok dengan Pak Pram. Kamu yang lebih cocok, Ras." elak Rinai.
"Sekarang Pak Pram sudah salah paham. Ia menganggap anak sulung yang akan bapak jodohkan kepada kamu, adalah Laras. Sekarang bagaimana keputusan kalian semua?" Bapak buka suara, lirih dan begitu sabar menghadapi kami.
"Apa Pak Pram mengatakan bahwa ia meminta Laras sebagai istrinya?" tanya Rinai.
Bapak menggeleng, "Belum ada kata-kata yang jelas dari Pak Pram, apalagi tadi kehadiranmu tidak disini, "
"Ya ndak bisa begitu dong Pak. Jelas-jelas hari ini tuh acara perjodohannya Mbak Rinai, kenapa jadi larinya ke Laras!"
"Jadi, lebih baik bapak tolak saja lamaran Juragan barusan?"
Ibu menatap Bapak penuh arti. Sedangkan mereka pun tidak ada yang berani menjawab. "Bagaimana? atau lebih baik bapak jelaskan kepada Juragan, kalau sebenarnya yang hendak bapak tawarkan adalah anak sulung Bapak bernama Rinai, dan bukannya kamu, Laras."
"Lebih baik begitu Pak," Jawab Laras.
"Tapi, kelihatannya Pak Pram itu tertarik kepada Laras lho pak." Sela Rinai.
"Mbak, harusnya ndak boleh tidak percaya diri seperti itu. Mbak harus yakin kalau,-"
"Enggak, Ras! Mbak ndak bisa..., Mbak merasa jurang antara Mbak dan Pak Pram itu begitu jauh. Lagipula, Mbak belum mau jauh dari Ibuk." ucap Rinai tegas.
Percakapan mereka pun berakhir dalam pikiran masing-masing.
***
Rinai, tengah memilih bunga bunga indah yang akan ia persiapkan untuk sebuah pernikahan minggu pagi esok. Ia mendapatkan pesanannya kembali, biasanya ia akan pergi ke pasar daerah Sleman, toko bunga langganan biasa ia membeli bunga yang ia butuhkan. Ia pergi seorang diri karena Laras memiliki kesibukan lain.
Naas baginya karena hari yang cerah itu tiba-tiba berubah menjadi mendung. Ia tidak membawa payung. Rinai, dengan cekatan membungkus semua bunga yang ia beli dengan plastik hingga tidak terlihat sama sekali. Seharusnya ia langsung kembali pulang begitu selesai mendapatkan yang ia butuhkan, dan bukannya malah berjalan-jalan seorang diri menyusuri Jalan Malioboro. Entah, mengapa ia tiba-tiba ingin ke tempat ini. Tempat yang tentunya tidak asing lagi baginya.
Hanya saja bedanya adalah Malioboro pada sabtu malam menjadi lebih ramai dan lebih indah dari biasanya. Rinai, melirik jam tua nya, pukul 5 sore. Gerimis mulai turun perlahan, ia menepi di salah satu kios disana. Para pengunjung yang padat mulai berlarian mencari tempat berteduh, para pedagang depan jalan segera menutup dagangannya dengan plastik besar.
Ia memandangi kejadian itu, suara gemericik hujan yang turun menciptakan sebuah melodi indah di telinganya. Sesaat ia seolah terlempar kembali ke dunianya yang sunyi. Dalam keramaian, ia merasakan kedamaian dunianya. Ia memeluk erat bungkusan bunga di dadanya. Ini adalah pertama kalinya ia berada di luar pada jam segini. Pertama kalinya ia merasa hidup diantara jutaan manusia.
Dalam sekejap, seketika dunianya berubah saat ia menemukan sepasang bola mata hitam bundar yang dulu pernah ia lihat. Ia tersentak kaget mundur kebelakang dna hampir terpeleset. Pram, menangkap pergelangan tangannya dengan tangkas hingga Rinai kembali berdiri tegak.
"Kau, kita pernah bertemu di rumah Bapak Brawijaya bukan?" tanya Pram. Rinai membetulkan letak jam tangannya, menunduk dengan kikuk.
"Iya,"
Pram, berdiri di hadapannya dengan kedua tangan di dalam saku. "Apa yang sedang kau lakukan disini? Yang kudengar anak sulung Pak Brawijaya tidak pernah keluar rumah lewat dari pukul 3 sore, nampaknya berita itu tidak benar kan?"
Wajah Rinai seketika nampak merona malu, ia menggeser tubuhnya sedikit menjauh, berdeham kecil "Seharusnya juragan seperti anda tidak mendengar berita sepintas lalu." jawab Rinai
Pram, menggeser tubuhnya ke samping Rinai, sama sama memandangi jalan yang kini telah dialiri hujan deras. "Hari itu aku tidak tahu kalau ternyata kau adalah anak sulung Pak Brawijaya, kalian adik kakak yang tampak berbeda."
Pelukan Rinai semakin erat pada kantung belanjaannya, bibirnya terkatup rapat. Bukan sekali dua kali mereka dibandingkan seperti ini. Rinai menunduk pamit kepadanya, "Saya permisi," katanya, namun Pram refleks menangkap pergelangan tangan Rinai, yang juga dihempaskan dengan refleks oleh wanita itu. Ekspresinya berubah menjadi takut, Pram dapat menangkapnya.
"Maaf, tapi diluar masih hujan deras. Biar kuantar pulang." tawar Pram, Rinai menggeleng keras.
"Tidak apa-apa, kebetulan aku juga ingin bertemu dengan Pak Brawijaya, tunggu disini." Pram berbalik arah, masuk ke dalam toko. Rinai bertanya-tanya apakah ternyata toko pakaian ini miliknya juga? Tak lama Pram kembali "Sebentar lagi mobilnya datang." dan Pram benar, tak lama seorang supir datang membawa mobil sedan hitam miliknya. Sedan yang terlihat tua, untuk pria sesukses dirinya seharusnya ia dapat memiliki mobil yang lebih bagus kan!
Berada di dalam mobil berdua dengan Pram adalah pengalaman baru untuk hidup Rinai, sepanjang perjalanan ia memilih merapat pada pintu dan diam. "Aku sudah mendengar semuanya dari Pak Brawijaya, mengenai penolakan dari kalian berdua," Pram membuka suara, "Tentu saja tanpa menjelaskan alasan detail atas penolakan tersebut. Jadi, nona Rinai yang terhormat. Boleh aku tahu apa alasan kalian berdua menolak lamaran yang kutujukan kepada keluarga kalian?"
Kata kata Pram tenang dan teratur. Wajah Rinai sedikit memerah karena malu. "Juragan, anda hanya tidak tegas dalam menentukan pilihan." Jawab Rinai, membuat Pram sedikit tercengang.
"Kamu bisa memanggilku, dengan Pram, saja Mbak-yu." Pram balas mengejek. "Apa maksud dari tidak tegas memilih?"
Rinai, tidak menyukai pembicaraan antar lelaki dan wanita. Karena itu ia terlihat agak gugup, "Apakah anda meminta Laras ataukah Saya sebagai pendamping hidup? Yang anda lakukan adalah menerima siapapun yang menyetujuinya, bukan?" ujar Rinai gamblang. "Cukup menjelaskan bahwa yang anda butuhkan bukanlah seorang pendamping hidup, tapi hanya sebatas status belaka."
Pram menatap Rinai yang masih saja menunduk meremas jari jemarinya. Wanita itu tidak bodoh, Rinai tergolong cerdas meski sikapnya terlihat pendiam dan tertutup. "Apakah itu berarti jauh dalam lubuk hatimu kau berharap kalau aku memilihmu?" kata Pram gamblang. Perkataan yang cukup membuat seorang Rinai salah tingkah dan merah padam. Rinai menatap Pram sekilas sebelum akhirnya membuang kembali pandangannya ke depan. "Justru sebaliknya Juragan, saya yakin sekali bahwa Juragan adalah orang yang pandai memilih pasangan hidup. Memilih saya sudah tentu tidak masuk ke dalam daftar kriteria Juragan untuk seorang pendamping."
Perkataan Rinai membuat Pram terkekeh, "Mbak-Yu, berkata seolah mengenal saya sangat dalam." Ia menghela nafas, "Baiklah kalau begitu, kurasa kau benar Mbak-Yu..., kurasa seharusnya aku dapat bersikap dengan tegas sejak awal hingga tidak membuat kalian berdua kebingungan."
Setelah mereka sampai, seisi rumah menyambutnya dengan tatapan kaget bercampur senang. Rinai segera lekas masuk ke dalam kamar. Dadanya tidak berhenti berdebar sejak tadi. Memikirkan kata-kata Pram barusan di mobil membuat ia berpikir apakah Pras akan memilihnya? Apakah artinya ia memiliki daya tarik tersendiri?
Namun, dugaan Rinai ternyata salah. Pram menjatuhkan pilihannya kepada Laras, ah sudah seharusnya seperti itu. Pram, meminta persetujuan dari Bapak untuk yang kedua kali, pun kesediaan dari Laras. Ia tidak ingin dikatakan pria yang tidak punya ketegasan seperti kata Rinai barusan.
Dilamar secara langsung membuat Laras tidak dapat berkata-kata. Pram, itu tergolong pria dewasa yang tampan. Aura maskulin menguar dari segala penjuru tubuhnya.
Laras, menunduk memejamkan matanya. Sebenarnya ia menyukai Pram, saat pertama kali bertemu namun ia tidak enak hati kepada Rinai. Dipilih secara resmi oleh Pram tentu membuat hatinya berbunga, namun ada sedikit keraguan yang menyelimuti.
Rinai, tersenyum tipis di balik tirai ruang tamu. Ia tahu seharusnya ini lah yang terjadi.