Ia terus meremas jari jemarinya, gugup melingkupi dirinya secara brutal. Ia juga terus saja menarik nafas panjang dan menghembuskannya, membuat mau tidak mau Pram tertawa mengejek. "Kamu benar benar unik Rin, baru pertama aku bertemu wanita seperti dirimu." Pram berdecak "Tidak terbiasa pergi pada malam hari, tidak terbiasa pergi jauh seorang diri, dan kini pertama kali naik pesawat. Dengarkan aku, kita hanya pergi ke Jakarta, tidak melakukan perjalanan panjang keluar negeri, jadi tolong tenanglah sedikit." Bisik Pram gemas.
Rinai, menarik nafas panjang. "Maaf membuatmu malu," jawabnya merasa bersalah. Pram, menggeleng tidak percaya "Sudah kukatakan bahwa ideku waktu itu adalah yang terbaik, dibandingkan idemu untuk tetap melangsungkan pernikahan. Sekarang, kamu pasti sangat menyesal dan malu mempunyai seorang istri seperti ini." Rinai balas menatapnya, tak mau kalah.
Pram mendekat, membuat wanita itu spontan merapat pada jendela pesawat. Ternyata Pram sengaja membantunya memasang sabuk pengaman, "Pesawat akan segera lepas landas," ucapnya. Tidak lama lampu pesawat padam, segera melakukan take off. Rinai spontan terpekik tertahan. Ia mencengkram lengan Pram kuat-kuat. Pram segera menyalakan lampu baca di atas mereka, sedikit cahaya menyinari wajah Rinai yang mulai kembali pucat pasi.
"Kamu tahu kalau dirimu itu adalah wanita egois? Seenaknya menyentuh dan memegang orang lain, tapi aku tidak kau ijinkan sedikitpun untuk menyentuh." Pram kembali berdecak, Rinai melepaskan pegangannya pada lengan pria itu dan kembali merapat pada jendela pesawat.
"Kenapa menjauh, Rin, kamu bisa menyentuh apapun yang kau inginkan. Aku suamimu, ingat?" Pram, mulai kembali menggoda istrinya. Rinai, menggeleng keras "Tidak, kamu salah aku tidak ingin menyentuh bagian apapun darimu." Pram, tersenyum menggoda, semakin merapat pada tubuh wanita itu.
"Tapi aku ingin, " godanya
wajah Rinai merah padam. Ia mendorong Pram pelan agar pria itu menjauh. "Mas, berhentilah menggangguku." hardiknya. Pram terkekeh pelan. Kini ia menatap Rinai dengan tatapan serius "Sampai kapan kamu akan lari dari kenyataan? Disana tidak ada lagi pelindungmu, hanya ada kita berdua dalam satu rumah. Aku tidak akan bisa membantumu mengatasi rasa takut itu jika kamu tidak mengatakan semuanya dengan jelas." Pram, benar benar serius saat ini. "Mungkin perkataanmu benar waktu itu bahwa aku menikah hanya agar mendapatkan status, tapi aku tidak pernah berniat menjalani pernikahan ini seperti sebuah sandiwara drama." Pram melirik ke arah luar jendela "Lihatlah," gerakan kepalanya mengisyaratkan Rinai untuk menoleh ke samping.
Wanita itu sedikit terperanjat kaget karena kini ia benar-benar sudah berada di atas awan. Rinai menatap ke luar jendela dengan takjub, lalu beralih ke Pram yang sedang memandang ke arahnya dengan santai. "Sejak kapan kita sudah berada setinggi ini?"
"Sejak perhatianmu teralihkan padaku, sayang." goda Pram, semburat merah kembali mencuat di wajah wanita itu. Ia kembali memandang ke arah luar, berpikir apakah sejak tadi Pram sengaja melakukan semua itu agar ia teralihkan. Rasa gugupnya entah sejak kapan menghilang, Rinai melirik ke arah Pram yang kini mulai terpejam dengan kedua lengan terlipat di depan dada.
Pria ini aneh, kadang kala ia bisa berubah menjadi sangat dingin dan acuh
tapi lain waktu ia bisa menjadi begitu pengertian dan perhatian.
***
Rinai, berdiri menatap takjub pada rumah yang akan ia tempati bersama Pram untuk beberapa bulan. Setidaknya itu yang pria itu katakan sebelum akhirnya ia setuju ikut bersamanya ke Ibukota, 'hanya beberapa bulan' dan kami akan kembali ke Yogya, setelah semua urusan Pram soal investasi itu selesai.
Sebuah pekarangan terletak di halaman depan rumah, meski tentu saja tidak sebesar pekarangan yang ada di rumahnya namun itu cukup membuat hatinya terasa nyaman. Pram, membuka pintu dan memintanya masuk ke dalam. Terdapat kolam ikan di bagian belakang rumah, tidak besar namun cukup indah dengan segala pernak pernik kolam ikan dan segala hiasan nya. Terdapat 3 ikan besar berwarna warni.
Interior rumah terlihat sangat menawan dan modern, ruang tamu bernuansa putih dengan TV LCD yang menggantung di dinding berukuran besar. Sofa panjang berwarna putih dengan sebuah karpet berbulu halus kombinasi warna abu tua dan putih. Rinai, sedikit ciut mengingat rumahnya di Yogya tergolong sederhana saja. Karpet yang mereka miliki pun hanya sebatas permadani. Kalau diingat kembali, waktu itu ia kerumah Pram saat mengantarkan kabar kaburnya Laras, rumah pria itu pun tergolong besar dan modern. Hanya saja, terasa begitu sunyi.
"Ini kamar kita," Pram membuka lebar pintu kamar.
Kali ini nuansanya cokelat sedikit remang namun tidak gelap. Sebuah kasur berukuran king size berada di tengah ruangan, dengan bed cover yang juga berwarna cokelat. Sebuah lampu klasik menggantung di atas tempat tidur mereka, juga dua buah lampu kamar di sudut ruangan. Terdapat meja rias di samping tempat tidur. Juga lemari besar.
Pram, menarik masuk koper mereka berdua. "Jadi, disinilah kita akan melewatkan malam selanjutnya." Godanya, Rinai hanya diam tak menjawab. Ia memilih keluar teras belakang terdapat taman kecil, dengan jalan setapak terbuat dari batu-batuan. Harus ia akui, rumahnya begitu indah dan mempesona.
"Jika kau tidak dapat tidur dalam keadaan gelap, maka aku sebaliknya. Aku tidak dapat tidur denga pencahayaan yang begitu terang. Jadi, apakah menurutmu kamar yang sudah kudesign dapat membuatmu tidur dengan nyaman?" Sesaat Perkataan Pram, membuat hatinya tersentuh. Jadi, selama ini pria itu memikiran masalah itu, selama ini Pram tidak dapat tidur nyaman dirumah karena pencahayaan yang terlalu menyilaukan mata?
Rinai mengangguk, ia sudah melihat kamar tidur mereka dan nampaknya hal itu masih baik-baik saja untuknya. "Kalau begitu, bersiaplah karena kita akan kedatangan tamu istimewa nanti malam."
"Tamu istimewa? Siapa?" tanya Rinai, matanya membulat.
"Ibu dan adik tiriku." sudut bibir Pram tersungging. Senyuman sinisnya tidak menampakkan bahwa tamu yang dimaksud istimewa, malah sebaliknya. Pram, berbalik dan masuk ke dalam ruangan lainnya. Ruang kerja miliknya.