Wanita itu penuh dengan kejutan. Entah ada berapa banyak lagi yang ia sembunyikan di dalam dirinya, selain trauma yang penuh misteri itu. Rinai, mengejutkan Pram dengan penampilannya yang sederhana tapi mempesona, membuat pria itu untuk sesaat diam dan tak berkutik memandangi wajah cantik istrinya malam ini.
Rinai, membiarkan rambut hitamnya tergerai jatuh dengan poni yang menutupi dahinya ia persis seperti anak remaja. Gaun selutut dengan panjang setengah lengan bermotif batik yang diberikan Pram kepadanya sangat pas di tubuh wanita itu, meski ia tidak memakai make up yang mencolok dengan hanya sedikit taburan bedan dan sapuan lipstik berwarna natural, bagi Pram itu lebih dari cukup.
Rinai bergerak kikuk, "Apa menurutmu bajunya tidak terlalu pendek?" ia menarik-narik ujung baju bagian bawah dengan sedikit malu. Merusak imajinas Pram mengenai tubuh wanita ini. "Aku ganti saja dengan,-"
"Tidak!" sela Pram, "Kamu sempurna malam ini, dan jangan rusak segalanya." ancam Pram.
"Tapi, aku tidak terbiasa memakai pakaian serendah ini." ucapnya lirih.
Pram, mendekat ke arahnya. "Tidak, panjangnya pas dan potongannya sangat pas juga ditubuhmu Rin, tidak kusangka secepat ini aku mengingat bagaimana bentuk tubuhmu." ia bergumam di kata-kata terakhirnya. "Hanya ada Ibu dan adik tiriku yang datang, tidak ada orang lain jadi kamu tidak perlu merasa cemas atau canggung. Meski mereka bukan orang-orang yang bersahabat."
Kata-kata terakhir Pram, malah membuat Rinai semakin canggung dan takut. Ia takut salah dalam bersikap, salah berbicara yang akhirnya hanya akan membuat Pram merasa malu.
Suara deru mobil terdengar masuk ke dalam pekarangan rumah, Pram, mengangkat satu jarinya ke depan sebagai isyarat kalau tamu mereka sudah datang. Rinai benar-benar tidak menyangka bahwa hidupnya kini berubah, perlahan semakin banyak orang-orang yang masuk ke dalam kehidupannya selain orang tua, Laras dan para tetangga yang sudah ia kenal lama.
Kini, ia merasa hidupnya mulai melebar dengan hadirnya Pram, dan sebentar lagi keluarganya. Tidak bisa dipungkiri bahwa jantungnya mulai berdegup kencang, terlebih saat ia dengan suara nyaring sang Ibu yang mulai melangkah masuk ke dalam rumah dengan tatanan rambut sanggul ke atas yang hampir saja membuat Rinai tertawa, untunglah ia dapat menahannya.
Rinai, mengangsurkan tangan ke depan sebagai salam penghormatan namun sang Ibu hanya menatapnya tajam dari atas hingga bawah dan melewatinya. Hati Rinai ciut dalam seketika. Belum sempat ia kembali menata hatinya, kini ia dihadapkan kepada seseorang yang pernah ia kenal di masa lalu.
Seorang pria dengan perawakan kulit putih, kacamata bening , serta model rambut yang tertata rapi dengan belahan pinggir. Kini, ia merasa jantungnya berdegup tambah kencang. Mereka saling menatap dalam tatapan penuh tanda tanya besar. Dokter Bagas tidak banyak berubah, ia tetap orang yang sama seperti yang dulu ia kenal. Ramah, dan hangat. Penampilannya juga seperti dulu, dengan kemeja lengan panjang dan jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia selalu rapi.
"Rin," panggilan Pram, membuat wanita itu tersentak kaget. "Suruh dia masuk jika dia mau, jika tidak biarkan saja ia berada di luar." kata Pram ketus yang tidak lama mendapat pukulan kecil di lengannya dari sang Ibu.
"Bagas, masuklah." Sela Ibunya.
Rinai, membuang pandangannya ke bawah dan mempersilahkan pria itu masuk. Bagas yang seolah mengerti akan sikap Rinai pun melangkah masuk dengan santai. "Kamu terlalu cepat mengambil keputusan menikah, Pram." Ibu membuka percakapan, saat mereka berempat duduk di meja makan dengan posisi Rinai di sebelah Pram, dan Bagas di sebelah Ibunya. Saling menghadap satu sama lain.
"Ibu ingin melihatku menjadi pejantan tua yang tidak menikah-nikah?" jawab Pram,
"Kamu terlalu berlebihan! Siapa yang menyiapkan ini semua? Kamu?" Ibu, beralih menatap ke arah Rinai dengan tajam. Wanita itu menggeleng pelan sambil menatap Pram.
"Ayolah, Bu, jangan membuatnya takut dengan menatapnya seperti itu. Pesawat kami baru tiba pagi ini, jadi tidak mungkin kalau kami harus menyiapkan segalanya sendiri. Jaman sudah semakin canggih tanpa perlu repot-repot, kami memesan makanan seafood ini secara instan."
"Kelihatannya enak, bisa aku makan sekarang?" Bagas menyela, "Aku sengaja menahan lapar agar dapat makan dirumahmu sepuasnya."
Pram berdecak sinis, "Sikapmu menggelikan sekali."
Alih-alih marah, Bagas malah tertawa senang melihat Pram yang emosi. Ia memulai lebih dulu menikmati jamuan makan malam dari pria yang disebut kakak lelakinya ini, meski Pram terus saja berkilah kalau mereka saudara tiri. Namun Bagas pria yang dilahirkan oleh ibu yang sama selalu menganggap Pram kakak terbaik yang dia punya.
"Kalau aku tidak salah baca, nama calon pengantin yang ada di undangan pernikahanmu waktu itu sepertinya bernama Larasati Putri Ayu, benar? Bagaimana bisa dipanggil Rinai?" tanya Bagas dengan senyumannya, dua buah lesung pipi tampak disana. Sang Ibu mengangkat kepala menatap ke arah Rinai.
"Dan itu bukan urusanmu!" balasnya acuh.
"Baiklah, maaf jika menyinggungmu aku hanya sedikit penasaran." pancing Bagas,
"Sering-seringlah datang kerumah jika tidak sedang sibuk, Pram. Pintu rumah terbuka untukmu." kata sang Ibu.
Pram tersenyum sinis, "Sampai kapanpun itu bukanlah rumahku, Bu, dan rasanya tidak akan pernah." Pram, menatap Ibunya dingin. Ditinggalkan dalam deras hujan pada usia 7 tahun membuatnya tidak dapat melupakan hal itu, semua kenangan buruk itu sudah terlanjur tercetak jelas dalam ingatannya. Meski akhirnya mereka kembali bertemu sesekali dan menjadi lebih dekat ketika suami kedua Ibunya meninggal, tapi tetap tidak dapat mengurangi perih yang terlanjur menggores hatinya.
***
"Bagaimana kabarmu, Nai?" suara Bagas membuat tubuh Rinai berbalik secara spontan menatap pria itu. Rinai, melirik dari celah bahu Bagas mencari tahu keberadaan Pram yang sedang berbincang santai dengan sang Ibu di ruang tengah.
"Hai, dokter.." balasnya, kikuk.
"Maaf kami tidak dapat datang ke pernikahan kalian minggu lalu, kami sedang berada di luar negeri."
Rinai mengangguk "Tidak apa-apa."
"Sungguh aku tidak tahu kalau kamu yang akan menikah dengannya. Yang kubaca namanya sangat berbeda dengan dirimu."
Rinai, menyelipkan rambut ke belakang telinga, ia takut Pram mendengar perbincangan mereka. "Ada sedikit masalah, sehingga mau tidak mau aku menikah dengannya."
Dahi, Bagas sedikit berkerut bingung, namun belum berhasil ia mendapatkan seluruh jawaban yang ia ingin ketahui suara Pram memisahkan mereka.
"Rin, tolong ambilkan air putih dingin." teriaknya,
"Sebentar, " Rinai pun berbalik cepat mengambilkan minuman dingin dan hendak menghampiri Pram.
"Nai," Panggil Bagas sebelum Rinai berjalan jauh, Rinai menoleh sebentar ke arahnya "Senang melihatmu lagi." ujarnya dengan senyuman yang sulit diartikan. Rinai, kembali berjalan dengan perasaan campur aduk. Ia pernah menyukai pria itu dulu, perasaan sebatas suka yang terpendam dalam hati. Ia bahkan tidak berani hanya untuk menatapnya lama, lalu bagaimana ia dapat mengakui perasaannya pada pria itu.
Ia yang seorang pesakitan dan pemalu, rasanya tidak pantas mendampingi Dokter Bagas entah hanya sebatas seorang teman apalagi seorang kekasih. Hubungan mereka lebih cocok sebagai dokter dan pasien, tidak lebih.