Indah, hanya itu yang terlintas dalam benaknya. Lampu-lampu jalan berwarna jingga, berbaris rapi dengan jarak sekitar 5 meter. Rinai, melangkah ke depan mencoba memperhatikan jenis aneka ragam manusia dari segala penjuru negeri yang berdatangan dengan berbagai alasan. Ada yang memang sengaja berbelanja untuk oleh-oleh pulang kerumah, ada yang hanya sekedar berjalan menyusuri sepanjang jalan Malioboro menikmati malam. Ada pula yang berfoto dari segala macam sudut di dalam keramaian, ada pula muda mudi yang hanya sekedar duduk santai sambil bercerita, tertawa riang di ujung jalan.
Bibirnya tersenyum tipis, betapa ia tidak pernah melewatkan masa muda seperti itu. Para gadis tertawa bahagia, bergandengan tangan sambil sesekali menatap sang pria dengan penuh damba. Berdiri di tengah jalan, membuatnya sesekali tanpa sengaja tertabrak. Bahunya tertabrak dengan keras dari belakang, untung ia tidak terjatuh. "Jangan berdiri diam di tengah Mbak, nanti ketabrak, lalu lintas orang malam hari disini padat." ujar tukang becak yang ada di pinggir jalan, memperingatinya nampaknya tingkah lakunya diperhatikan sang tukang becak sejak tadi. Ia mengangguk malu, lalu kembali ke dalam toserba milik Pram.
Pram, sedang mengecek laporan toko minggu ini karena lusa mereka akan berangkat ke Jakarta. Sisanya ia percayakan kepada pegawai yang masih kerabat jauh dari Ayahnya.
"Bagaimana kalau malam ini kita tidak usah pulang kerumah," suara Pram membuyarkan lamunannya. Rinai, berpaling ke belakang "Eh, lalu kita bermalam dimana?"
"Aku memiliki beberapa penginapan di daerah ini, kita menginap di salah satu hotel milikku. Bagaimana?" ajaknya, seminggu menjadi pengantin baru belum sekalipun ia menyentuh Rinai walau seujung jari. Wanita itu seolah memberi benteng, menjaga jarak darinya.
"Kenapa kita harus menginap di hotel kalau rumah kita tidak jauh dari sini, kau ada-ada saja Mas." ejek Rinai, suaranya renyah terdengar. Dengan gerakan halus ia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, kembali menatap ke arah depan jalan.
"Jelas berbeda, Rin,,,-" kata-katanya menggantung di udara melihat leher jenjang Rinai yang putih nan bersih. Pram, menelan ludah. Ia berjalan mendekat, mungkin pendekatan yang terlalu kaku tidak akan berhasil menaklukkan wanita dingin dihadapannya ini. Ia perlu pendekatan yang lain "Mau jalan-jalan, sebelum kita berangkat ke Jakarta lusa, kurasa kamu pasti akan merindukan kota ini."
Mata Rinai berbinar senang, tentu saja ia mau! Rinai, mengangguk cepat. Sudut bibir Pram tertarik sedikit. "Dapat aku tebak kamu pasti bahkan belum pernah menyusuri jalan ini seumur hidup, benar kan?"
Rinai menatapnya tersinggung, "Tentu saja pernah, bahkan sering. Apalagi saat aku harus berbelanja bunga-bunga untuk pesanan buket bunga pernikahan. Tidak jarang aku pergi seorang diri." Elak Rinai.
"Pada malam hari, maksudku." lanjut Pram,
"Oh, itu...," Ia menunduk, mengalihkan pandangannya. Kini mereka sampai pada ujung jalan. Melihat segerombolan anak muda duduk bercanda gembira.
"Kenapa? untuk ukuran wanita seusiamu jelas itu hal yang sedikit aneh, apa ada sesuatu yang membuatmu takut akan sesuatu?" pancing Pram, Rinai menatapnya, entah kapan pria itu memangkas jarak mereka jadi sedekat ini. Rinai, sedikit kikuk dengan jarak yang diciptakan oleh Pram, baru saja ia ingin menghindar namun seseorang menyenggolnya dari arah belakang membuatnya terhuyung ke depan dan menabrak tubuh Pram. Dengan tangkas pria itu menangkapnya, wangi shampo di rambut wanita itu menguar masuk ke dalam hidungnya, membuat sesuatu seolah bergerdak dari dalam. Membangkitkan gairah laki-lakinya bangkit.
Rinai, refleks menjauh. Wajahnya memerah sekaligus memucat, "Maaf," ucapnya. Pram menghembuskan nafas panjang. Entah untuk apa permintaan maaf itu!
"Jadi, kita menginap di salah satu hotel milikku malam ini." ajak Pram lagi.
alis mata Rinai, terangkat bingung. Mereka kembali berjalan ke depan, "Aku tidak tahu apakah kau sungguhan polos atau hanya berpura-pura bodoh. Kita naik becak, mau?" Ajaknya lagi, Rinai mengangguk.
Mereka naik keatas berdua, sedikit membuat wanita itu risih karena tubuh Pram yang besar. "Ke Alun-alun Pak." katanya.
"Apa maksudnya berpura-pura bodoh?" tanya Rinai, kini mereka berjalan menyusuri malam menuju Alun - Alun Yogyakarta.
"Jangan menggodaku untuk mengatakan hal itu secara lugas, Rin," Pram menatapnya intens, jarak mereka terlalu dekat dan aura wangi sabun dari tubuh wanita itu terlalu membuat kepalanya tak mampu berpikir dengan jernih.
Lagi-lagi dahi Rinai berkerut bingung, ia benar-benar tidak mengerti. "Aku tidak mengerti."
Pram kehabisan akal, "Kita sudah menikah selama satu minggu, dan selama itu kita belum satu kalipun melaksanakan kewajiban suami istri. Jujur saja berada di rumahmu membuatku tidak nyaman,-"
Rinai, menarik dirinya agak menjauh di dalam becak yang sempit itu. Wajahnya berubah pucat, hal yang membuat Pram berkali-kali mengurungkan niatnya menggagahi wanita itu. Ah, sial!!
"Kurasa aku hanya membantumu keluar dari kejadian yang akan membuat keluarga kita malu, dan bukan harus sampai kesana kan. Kita menikah hanya karena Laras melarikan diri, dan aku harus menggantikan posisinya."
Pram, tertawa hambar "Ya, benar.., menggantikan posisinya secara keseluruhan. Aku tidak mengerti kenapa pernikahan seolah menjadi sempit dalam pikiranmu. Kita menikah, meskipun diawali sebuah kejadian tidak terduga, tapi namamu dan namakulah yang akhirnya bersanding di dalam buku nikah secara resmi." Pram mengambil jeda, "Jangan bilang bahwa kamu berpikir pernikahan ini hanyalah sebatas duduk bersanding di atas pelaminan disaksikan ratusan orang lalu selesai begitu saja.'
Rinai bungkam, tidak tahu harus berkata apa. Perjalanan singkat mereka pun sampai tujuan. Pram lebih dulu turun dan mengulurkan tangannya membantu Rinai turun, namun lagi-lagi wanita itu menolak uluran tangan Pram. Mereka berjalan ke tengah, berada di dalam keramaian manusia.
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Heh? jujur aku memperhatikanmu sejak kita bertemu pagi itu di Stasiun Tugu, ingat? Selain takut pada kegelapan kamu juga menghindari kontak fisik dengan siapapun termasuk diriku. Benar kan!" Tebaknya, "Apa terjadi sesuatu di masa lalu?"
"Mas, kamu terlalu serius dalam menyikapi sesuatu." bantahnya, "Kamu percaya tradisi masangin? Dari mitos yang aku dengar, jika kita berhasil berjalan di tengah-tengah pohon beringin kembar, hajat kita akan terkabul. Kamu percaya Mas?" Rinai mengalihkan pembicaraan.
Pram, menatapnya jengkel "Tentu saja tidak, aku tidak percaya pada mitos semacam itu."
Rinai, mengangguk lalu menatap Pram dengan gerakan menantang. "Tapi aku percaya! Begini saja, kalau Mas berhasil melewati pohon beringin itu, aku akan ikuti semua kemauanmu malam ini, bagaimana?" tantang Rinai, ia pernah mendengar mitos lain yang bilang kalau pria yang dapat melewati beringin kembar adalah pria yang benar-benar tulus dan bersih hatinya.
Dahulu kala ada sebuah legenda tentang putri dari Sultan keraton Hamengkubowono pertama dalam kisah menikahkan sang putri. Dikarenakan sang putri yang tidak menyukai calon mempelai pria, sang putri pun memiliki syarat bahwa calon suaminya harus dapat melewati pohon beringin kembar dan berjalan sampai ke pendopo yang terletak di alun-alun utara. Siasat sang putri berhasil dan pria itu pun gagal.
Sejak itulah Sultan mengeluarkan titahnya, bahwa yang bisa melewati syarat putrinya itu hanyalah pria yang benar-benar berhati tulus dan bersih. Hingga akhirnya seorang pemuda dari Siliwangi datang dan berhasil memenuhi syarat sang putri.
Pram, merasa tertantang. Sebagai pria berpendidikan tinggi dan mengantongi ijazah luar negeri jelas hal itu membuat harga dirinya ikut tertantang. Apalagi yang menantangnya hanyala seorang wanita sekelas Rinai, "Jangan tarik kata-katamu." balas Pram, ia berjalan mendekati pria tua tidak jauh disana yang menyewakan penutup mata untuk menjalankan tradisi ini. Pram, mengeluarkan selembar uang 5.000 an.
Dadanya mulai berdegup mendapati Pram yang begitu percaya diri. Pram, mulai melihat dengan seksama, memejamkan matanya sejenak lalu mulai berkonsentrasi. Pram, memasang penutup mata, berjalan perlahan demi perlahan. Perjalanan yang dirasanya begitu jauh, hingga ia tangkap suara tawa kecil Rinai. Pram, berhenti dan membuka penutup matanya, ia memperhatikan sekitar dan ia memaki dalam hati. Ia merasa sudah berjalan lurus sejak tadi, lantas mengapa ia bisa tertarik jauh ke arah barat, ia mencari sosok Rinai yang ternyata tidak jauh darinya. Wanita itu tertawa menang, ia tertawa lebar dan baru kali ini ia melihat wanita itu benar-benar tertawa lepas.