Tebakan Rinai salah besar, Pram tidak bergeming saat mendengar bahwa Laras baru saja melarikan diri dan Bapak masuk rumah sakit terkena serangan jantung. Ekspresi Pram juga tidak menunjukkan apapun, ia hanya diam menatap lurus ke depan sambil berpikir keras. Rinai, mengetatkan handuk yang terlilit di tubuhnya saat ini. Pram, masih berbaik hati melakukan hal itu semata karena iba melihat keadaan Rinai yang hampir basah kuyup.
Wajah ramahnya selama ini berubah menjadi sangat dingin dan menakutkan. Pram, tidak berteriak marah atau memaki keluarga mereka seperti bayangan Rinai, tapi sikap diamnya malah membuat seluruh tubuh Rinai menggigil ketakutan.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" mereka bersitatap, bola mata hitam bulat itu menatapnya lekat. Rinai, menunduk dan menggeleng bingung.
"Pasti ada cara agar aku dan keluargamu terhindar dari rasa malu yang besar ini," lanjutnya, seolah sedang menyelesaikan masalah perkerjaan. Alih-alih mengkhawatirkan kepergian Laras, ia malah lebih mengkhawatirkan rasa malu yang akan mereka tanggung. Tidak adakah perasaannya sedikitpun untuk Laras? Jadi, apa arti sebenarnya pernikahan ini bagi Pram? "Kau punya ide?" tanyanya.
Rinai, berpikir cepat "Ak,,, aku bisa mendatangi para tamu undangan satu persatu dan mengatakan bahwa pernikahannya batal."
Pram tertawa sinis, menggeleng tidak percaya akan apa yang barusan ia dengar "Apakah kamu tahu berapa banyak undangan yang telah tersebar? Kamu berencana mendatangi mereka satu persatu berniat melakukan permintaan maaf dan menjelaskan yang telah terjadi, dalam waktu kurang dari 6 hari? Kamu yakin, Rinai?" terdengar perkataan yang seolah meremehkan.
Tapi, apa yang dikatakan Pram benar.
"Pernikahan ini akan tetap terjadi, ada atau tidak ada Laras," Rinai mendongak dan mata mereka bertemu, tatapan Pram seolah mengunci "Kamu yang akan menggantikannya." perkataan Pram barusan bagai petir yang menyambar tubuhnya. Rinai, bangkit sepontan, tidak perduli apakah handuk yang melilitnya sejak tadi terlepas dan mengekespos tubuh bagian atasnya.
"Itu tidak mungkin!" serunya tidak percaya.
Pram, mengangkat bahu dengan acuh "Semua kembali kepadamu, tapi perlu kamu tahu satu hal bahwa antara kedua orang tuamu dan diriku sudah melakukan kontrak kerjasama. Kamu yang memilih menyetujui caraku atau setidaknya berilah aku cara yang lebih logis dibandingkan mendatangi para tamu undangan satu persatu, Mbak-Yu." ejeknya. Baju yang melekat ke tubuh Rinai membuat Pram mau tidak mau menatapnya sekilas, Rinai yang menyadari arah tatapan Pram, segera mengambil handuk dari bawah kakinya dan kembali melilitkan ke tubuhnya.
"Itu adalah saran terbaik yang bisa kuberikan, kita bicara besok lagi setelah Bapak Brawijaya sudah lebih baik. Sudah hampir pukul 11 malam, lebih baik kamu kembali. Tidak baik seorang gadis berada di rumah pria lajang sepertiku di jam jam seperti ini."
Seolah baru menyadari, Rinai, segera menatap keluar. Ia benar, hari sudah gelap dan sepi. Dimana ia bisa mendapatkan taksi pada jam seperti ini? Apalagi, untuk mencapai depan jalan ia harus jalan sektitar 300 meter dari dalam komplek. Hatinya ciut, ia takut.
Pram yang mengetahui ekspresi wajah Rinai seolah dapat menangkap sesuatu. "Biar kuantar kamu pulang." Ia bangkit dari duduknya.
"Tidak perlu!" ujar Rinai sengit. "Aku bisa pulang sendiri." Ia menyerahkan handuk yang sedari ia pakai kepada Pram.
"Aku hanya menawarkan bantuan kepadamu, Mbak-Yu. Jika terjadi apa-apa denganmu malam ini bukan hanya diriku yang dirugikan, tapi pikirkan juga apa yang akan terjadi kepada keluargamu."
Kata-kata Pram membuat Rinai diam, lagi-lagi pria menyebalkan itu benar. Pram, masuk ke dalam mengganti pakaiannya dan menyerahkan sweater miliknya kepada Rinai. "Pakailah, setidaknya demi keselamatamu dariku." Pram, berkata menggoda. Alis mata Rinai terangkat bingung, ia masih ragu menyetujui pergi bersama pria ini. Tapi, diluar sana pun ia tidak dapat menjamin keselamatannya berjalan seorang diri di tengah hujan.
***
Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Bapak dan Ibu selain menyetujui cara yang diberikan oleh Pram. Rinai, tidak henti berpikir mengapa hal ini malah terjadi. Apakah Pram benar-benar jodoh yang disiapkan Allah untuknya? sehingga bagaimanapun dia menolak, skenario akan berbalik arah kembali kepadanya.
Tidak ada juga yang dapat dilakukan Pram selain cara ini. Laras, memang jelas lebih menarik dari Rinai yang terkesan tertutup dan penuh misteri. Sikap ramah dan santainya membuat Pram nyaman. Tapi kejadian ini jelas diluar prediksinya, ia pun tidak terlalu kaget pada hal semacam ini. Dalam hidupnya, ia terbiasa ditinggalkan seorang wanita. Jadi, kehilangan Laras sudah bukan hal baru lagi.
Ia merasa direndahkan oleh sikap Laras yang kekanak-kanakan, mengalihkan tanggung jawab ke pundak Rinai memang tidak seharusnya tapi bukankah harus ada yang dikorbankan atas sikap seenaknya Laras? Pun ia tidak memiliki perasaan apapun, ia hanya perlu sebuah status baru dalam hubungan antar pria dan wanita. Persis seperti yang dikatakan oleh Rinai. Ia menolak dianggap gagal bangkit dari keterpurukan cinta masa lalu.
Hari ini untuk pertama kalinya Rinai merasa menjadi wanita paling cantik di seluruh Yogyakarta, bagaimana tidak, ini pertama kalinya ia di dandani, membuat dirinya sendiri tidak mengenali siapa sosok wanita cantik dihadapannya. Untung saja bentuk tubuhnya dan tubuh Laras memiliki bentuk tubuh yang tidak terlalu berbeda sehingga baju yang seharusnya dikenakan oleh Laras kini tampak pas di tubuh Rinai. Ia masih menunduk, menggenggam ponsel tua nya dengan kuat, masih berharap ada pesan masuk dari Laras yang mengatakan kalau dia akan pulang, kalau dia akan menikah dengan Pram. Namun, sampai detik ijab kabul itu selesai tidak juga datang kabar dari Laras.
Ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran Pram. Pertama adalah saat wali nikah Rinai tidak diwakilkan oleh Bapak Brawijaya, melainkan wali hakim. Kedua, bukan nama Brawijaya yang berada di belakang nama Rinai, melainkan Ginanjar Putra Bumi. "Saya terima nikah dan kawinnya Rinai Gustyani Putri binti Ginanjar Putra bumi, dengan mas kawin tersebut tunai." Suara Pram lantang terdengar. Riuh suara para tamu yang tidak lain adalah keluarga sendiri memenuhi ruangan. Rinai menunduk sedih di dalam kamar, ditemani beberapa kerabat dekat keluarganya.
Hati Pram lega sekaligus hampa. Setidaknya ia mempunyai seorang istri, itu saja cukup. Resepsi pernikahan berlangsung sampai pukul 8 malam. Lelah, itulah yang mereka rasakan karena harus menyambut ribuan tamu undangan yang datang. Sesekali ia melirik Rinai yang juga pasti merasa lelah karena seharian ini. Namun, wanita itu tidak banyak bicara. Hanya tersenyum seadanya, bersikap sebagai seorang pengantin wanita pada umumnya. Kecantikan yang dimiliki olehnya adalah kecantikan alami. Make up membuatnya terlihat begitu berbeda, hal itu mungkin karena sebelumnya Rinai tidak pernah berdandan. Lipstik berwarna merah terang menghiasi bibir mungil wanita itu. Membuat Pram, mau tidak mau sesekali melirik kearanya karena warnanya yang begitu terang dan menggoda.
"Kamu baik-baik saja?" Tanya Pram, melihat Rinai melakukan gerakan stretching.
"Hanya sedikit pegal," Jawabnya, setengah berbisik.
Pukul 8 malam akhirnya ia dapat melepaskan pakaian yang sejak tadi menyiksa dirinya. Ia tidak pernah mengenakan korset, ini adalah kali pertama baginya dan hal itu membuat dirinya sesak. Pram, berbaring di sisi tempat tidur melihat ke arah Rinai yang baru saja selesai mengganti pakaiannya. Wajahnya memerah, gadis itu menunduk dan berjalan ke sisi tempat tidur satunya lagi. Pram, meliriknya yang dengan gerakan perlahan kini berbaring di sampingnya. Rambut Rinai terurai panjang, tubuh Rinai memancarkan wangi harum sabun, dan ia menyukai wanginya.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
Rinai menoleh, lalu kembali menunduk saat mata mereka bertemu. "Pak Brawijaya, bukan ayah kandungmu ?" Pertanyaan Pram yang tiba-tiba membuat Rinai menjadi sedikit kikuk. Rinai, menggeleng pelan. "Sebenarnya Bapak dan Ibuk adalah saudara jauh dari almarhum kedua orang tuaku."
Pram, merasa lagi-lagi ia telah dibohongi.
"Mereka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas , hanya itu yang aku tahu."
Hati Pram menjadi Iba. Melihat kesedihan di wajah istrinya ia memutuskan untuk tidak bertanya lagi saat ini. "Kamu pasti lelah, tidurlah." Kata Pram dingin, membalikkan tubuhnya dan mematikan lampu kamar. Tubuh Rinai menjadi kaku seketika berada dalam keadaan gelap. Ia coba merebahkan tubuhnya di ujung tempat tidur, berlindung pada cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah jendela kamar.