Rinai, terbangun dengan nafas tersengal, keringat membanjiri dahi hingga ke bagian lehernya. Ia duduk merapat pada sandaran tempat tidur, menarik selimut tinggi hingga ke atas dadanya. Tubuhnya bergetar, mimpi buruk itu datang lagi setelah sekian lama menghilang. Diusap wajahnya dengan cucuran keringat itu dengan punggung tangan. Rinai, menatap punggung Pram yang tidur dengan pulas disertai dengkuran halus miliknya.
Rinai, bangkit dari tempat tidur mengambil air minum yang sengaja ia siapkan di atas nakas meja samping tempat tidur dan meminumnya dengan tergesa. Rinai, mengambil nafas panjang, terapi pernafasan jika rasa takut seperti ini kembali muncul. Ruangan memang sedikit redup, ia tidak berani berkata kepada Pram bahwa ia tidak dapat tidur dalam keadaan gelap seperti ini.
Rinai, mengalah dan menuju ruang tamu, menyalakan televisi dan merebahkan dirinya disana. Dadanya masih berdebar-debar, bayangan hitam itu kembali di pelupuk matanya. Rinai, menutup kedua matanya mencoba menghalau semua mimpi buruk itu, tapi ia tidak bisa. Ia terisak perlahan, hingga akhirnya terlelap.
***
Pram, kini berdiri dihadapannya dengan kedua lengan terlipat di depan dada. "Kenapa tiba-tiba menghilang dan tidur di ruang tamu?" tanyanya, Rinai, sedang menyiapkan sarapan pagi untuk seisi rumah, tangannya sibuk mengatur piring diatas meja, mengangkat nasi goreng dengan telur mata sapi dari dapur ke ruang makan.
"Tidak ada apa-apa?" jawabnya berbohong. "Aku akan panggil Ibuk dan Bapak, kita bisa sarapan pagi bersama." Jawabnya cepat dan menghilang dengan lincah, Pram mengambil bangkunya dan duduk terlebih dahulu disana. Ia terdiam sesaat menghadapi suasana seperti ini, 'seperti rumah' memang saat ini ia sedang berada di dalam rumah dengan keluarga barunya, hanya saja ia belum pernah merasakan hal ini lagi sejak bertahun-tahun lamanya.
Meja makan yang penuh dengan piring dan makanan, ruang makan yang terisi penuh oleh anggota keluarga. Rinai, yang dengan telaten menyiapkan makanan sederhana di atas piring miliknya seraya tersenyum. "Monggo Nak Pram, silahkan dimakan. Harap maklum, hanya ini yang dapat Rinai sediakan, berhubung rumah masih sangat berantakan selepas pesta pernikahan kemarin, kami belum sempat belanja kembali ke pasar." ujar Ibu Rinai dengan suara yang lemah lembut.
"Ini sudah lebih dari cukup untuk saya, biasanya saya jarang sekali makan pagi." balas Pram.
"Wah, sama seperti Bapak kalau begitu, mengajak Bapak untuk makan pagi itu susah sekali," keluh Ibu, melirik ke arah Bapak yang masih terlihat tidak enak kepada Pram.
"Silahkan, Mas, ini kopinya." panggilan Rinai terhadapnya yang dalam seketika berubah membuat Pram tercengang sesaat. Ia tersenyum menunduk dan mulai menikmati suasana barunya.
***
"Pindah!! kemana?" suara Rinai sedikit meninggi dari biasanya, terlihat kilatan kaget di mimik wajahnya. Ia sedang mencuci piring bekas makan mereka pagi tadi, meski kaget tangannya tetap bergerak lincah.
"Ke Jakarta, bukankah sejak awal aku sudah mengatakan bahwa akan membawa istriku serta ikut bersamaku." Jawabnya. Rinai melupakan satu hal, ia lupa akan hal ini. Bagaimana ia bisa jauh dari Bapak dan Ibu, bagaimana bisa ia kembali kesana, ke tempat itu. Wajahnya berubah menjadi pasi.
"Tidak bisakah aku tetap berada disini? Aku tidak terbiasa pergi jauh dari mereka." elaknya, kini piring kotor sudah kembali bersih. Badannya berbalik menghadap Pram yang berdiri santai menatapnya sejak tadi.
Pram, menatap Rinai. "Tidak, " Jawabnya singkat.
"Tapi..., haruskah secepat itu?" ia memicingkan matanya.
"Lebih cepat lebih baik." balas Pram, acuh.
"Bagaimana kalau aku menolak pergi bersamamu?" Rinai, mulai mendebatnya. Membuat Pram yang sejak tadi tenang kini mulai terlihat menggeram dengan sikap tidak patuh istrinya.
"Sayangnya tidak ada pilihan itu, sayang." jawab Pram, mengejek. "Kita akan pindah minggu depan, jadi bersiaplah." setelah mengatakan hal itu pria itu pun berniat pergi,
"Tolong jangan seperti ini," ucapan Rinai membuat langkahnya terhenti. "Pram, ini tidak adil buatku kan! Kau datang dan merubah segala kehidupan yang telah kujalani hingga 27 tahun. Setidaknya, beri aku waktu untuk memutuskan ikut denganmu atau memilih hidup disini."
Wajah Pram, berubah menjadi dingin. Rahangnya terlihat mengeras, namun ia masih dapat menahan ego dan juga amarahnya. "Rinai, seseorang yang bersalah atas hidupmu bukanlah diriku tapi Laras, adikmu. Kuharap kamu tidak melupakan hal itu, jadi tolong jangan salahkan diriku atas semua yang terjadi. Aku tidak mungkin pergi seorang diri kesana tanpa wanita yang kini menyandang status sebagai istriku, bukan?" Pram, menatapnya tajam sebelum akhirnya ia memilih pergi dan menghindari perdebatan dengan wanita itu.
***
Ketika malam tiba, Rinai terlalu pengecut untuk mengatakan kepada Pram bahwa ia memiliki phobia terhadap kegelapan dan Pram terlalu egois untuk sekedar menanyakan apakah tidak apa-apa untuknya tidur dalam keadaan gelap. Hingga akhirnya gadis itu kembali terjaga dengan nafas tersengal-sengal. Rinai, berteriak tertahan dan bangkit terduduk melipat kedua lututnya dengan gemetar. Bedanya, kali ini ia tidak terjaga seorang diri melainkan Pram juga ikut terjaga. Dengan cekatan Pram menyalakan lampu kamar dan mendekati Rinai, pria itu menyentuh pundak Rinai yang dengan cepat dihempaskan dengan kasar olehnya.
Dahi Pram berkerut bingung, sunggu wanita dihadapannya ini berbeda sekali dengan wanita yang biasa ia lihat. Tubuh Rinai bergetar hebat, ia terisak tertahan, Rinai tampak sedang mencoba sekuat tenaga terapi pernapasannya yang nampaknya gagal. Rinai, menutup kedua matanya dan mulai menangis histeris, Pram tidak mengerti namun ia tidak bodoh bahwa ada sesuatu yang menimpa gadis ini di masa lalu.
"Hei,,,, tenanglah, Rinai, lihat aku.. Rinai!!" suara Pram meninggi, Rinai coba menepiskan tangan Pram dari tubuhnya, namun cengkraman pria itu lebih kuat lagi.
"Tidak.....Tidak!!" teriaknya, ia mendorong Pram, menjauh ke sudut tempat tidur, tidak berapa lama terdengar ketukan kasar di pintu kamar mereka. Pram segera membukanya dan tampak kedua orang tua Rinai datang dan masuk begitu saja ke dalam kamar.
"Ndukk.... Ndukkkk, tenang ini Ibu Ndukkkk." Panggil sang Ibu mencoba menangkan wanita itu, dengan sekuat tenaga sang Ibu membawanya kepelukan, memeluk erat Rinai hingga getaran tubuh wanita itu sedikit mereda. Bapak dan Pram hanya berdiri di dekat pintu melihat pemandangan itu.
"Bu.... Ibukk....," Rinai mulai bersuara, menangis dalam ketakutan luar biasa hingga akhirnya wanita itu kembali tenang dan tertidur. Ibu mengusap kepala Rinai lembut dalam beberapa saat lamanya, setelah melihat keadaan kembali tenang dan sudah bisa ia tinggalkan, Ibu pun menghampiri Pram.
"Maaf Nak Pram, Rinai tidak bisa tidur dalam keadaan gelap, dia phobia terhadap gelap. Ibu mohon biarkan lampunya tetap menyala yah." kata sang Ibu pelan, Pram hanya bisa mengangguk tanpa dapat mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada istrinya, dan apa yang tengah disembunyikan oleh keluarga ini darinya.