Chereads / SEBENING CINTA RINAI / Chapter 5 - CHAPTER 4

Chapter 5 - CHAPTER 4

Laras, menatap jengkel ke arah Rinai. Sedangkan sang tokoh utama hanya tersenyum simpul, memiringkan kepalanya untuk mengejek Laras yang baru saja selesai dari proses lamarannya secara resmi. "Cah Ayu cantik," puji Rinai. "Jangan cemberut, nanti cantiknya hilang." Jarang - jarang Laras memakai baju kebaya dan berdandan selayaknya seorang wanita tulen. Laras memang sedikit lebih tomboy ketika semasa kuliah dahulu. Namun ketika ia sampai dirumah, ia terpaksa harus menanggalkan semua jeans serta kaos lengan pendek miliknya. Bapak dan Ibu tegas dalam hal pakaian kedua anak gadisnya.

"Yang seharusnya tadi berada disana itu Mbak, bukan nya Laras." Ucap Laras lirih, Rinai melebarkan kedua tangannya memeluk Laras dengan penuh kasih sayang.

"Laras masih merasa kalau pilihan ini salah, Mbak. Laras baru saja menyelesaikan kuliah, harusnya mencari pekerjaan terlebih dahulu dan bukannya malah menikah. Laras belum bisa memberikan apa-apa pada Bapak" Rengeknya.

"Justru dengan kamu menikah kamu sudah membantu Bapak dan Ibuk, Ras."

"Maksud, Mbak?"

"Kamu tahu kan Bapak butuh modal untuk memperbaiki kandang perternakan dan juga hasil panen yang gagal tahun ini. Pak Pram itu jelas rezeki yang dikirim Gusti Allah untuk keluarga kita, tapi bukan maksud Mbak seolah-olah menjual kamu loh, Ras."

Laras, mengangguk "Jadi seperti itu Mbak? Mbak tahu darimana?"

"Mbak ndak sengaja menguping pembicaraan Bapak dan Ibuk waktu itu." Rinai tersenyum, menyelipkan anak rambuk ke belakang telinga Laras. "Semoga bahagia yah Cah Ayu,"

***

Sejak pertunangan antara Laras dan Pram, pria itu sering datang kerumah. Seperti sore ini, mobilnya tiba-tiba masuk ke dalam pekarangan, Rinai yang sedang sibuk pada tanaman di belakang rumah tidak menyadari kedatangan Pram. "Selamat Sore,"

Suara Pram membuat Rinai terlonjak kaget, ia memegang dadanya secara refleks. Rinai menatap Pram dengan sebal "Maaf, maafkan aku. Sungguh aku tidak sengaja membuatmu kaget seperti tadi." Jawab Pram sambil terkekeh.

"Laras, ada di dalam kau bisa langsung masuk ke dalam." Ujar Rinai ketus.

"Aku tahu. Aku hanya ingin melihat tanaman bungamu, indah sekali." Puji Pram. "Tidak berniat membuka toko bunga yang lebih besar di luar sana? Usahamu bisa lebih cepat berkembang,"

Rinai, menggeleng "Aku tidak tertarik sama sekali." ia menghindari posisi Pram dihadapanya dan berjalan melalui pria itu. Sikap Rinai padanya tidak pernah terlihat bersahabat, apakah ia seperti itu hanya kepadanya atau terhadap semua pria.

"Apa kamu membenciku, Rinai?" tanya Pram tiba-tiba. Membuat langkah Rinai terhenti, ia berbalik ke belakang "Maaf?" tanyanya.

"Kamu selalu bersikap menghindar, bahkan sejak awal perjumpaan kita dirumah ini. Apa aku melakukan hal yang tidak sopan menurutmu? atau karena kejadian waktu di kereta pagi itu, saat aku menabrakmu?"

Rinai, menatap Pram , sekarang ia baru ingat bahwa Pram adalah pria yang sama dengan yang menabraknya waktu itu. Bola mata hitam bulat miliknya itu. Rinai, menggeleng cepat. "Kau hanya salah paham, permisi."

***

Rinai, tahu kalau sebenarnya jauh di dalam hati Laras merasa berat menerima lamaran dari Pram. Semakin dekat hari pernikahan mereka, semakin terlihat gusar dan cemas Laras. Hal ini terkesan terburu-buru karena Pram yang harus segera pindah ke ibukota untuk beberapa bulan ke depan. Ia ingin membawa istrinya ke sana, Pram berencana melebarkan sayap bisnisnya ke Jakarta.

Jika Pram begitu antusias, lain halnya dengan Laras. Gadis itu malah semakin terlihat pendiam dan sering berdiam diri di teras rumah. Pram juga jarang berbincang dengannya saat berada dirumah, melainkan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bapak membahas masalah pertanian dan peternakan Bapak. Bapak tentu saja merasa bahagia dengan tawaran bantuan dari Pram.

Hingga saat hari bahagia itu pun tiba, Laras tiba-tiba menghilang dengan sepucuk surat.

Bapak, Ibu, Mbak Rinai, maaf Laras harus pergi. Laras merasa tidak bisa melaksanakan pernikahan ini. Laras, merasa tidak bisa mendampingi Pak Pram. Maafkan Laras sekali lagi yah Pak, Ibu, Mbak Rinai. Maafkan Laras. Semoga Pak Pram bisa memaklumi keputusan Laras ini.

Tertanda,

Laras - putrimu.

Bapak terjatuh begitu selesai membaca surat itu, tergeletak terkena serangan jantung ringan. Semua orang termasuk Rinai menangis dan panik, untunglah Bapak masih bisa diselamatkan begitu sampai di rumah sakit. Rinai berkali-kali mencoba menghubungi Laras namun tidak bisa, handphonenya dimatikan.

Ibu, memegang tangannya dengan tatapan memohon "Nduk, tolong bantu kami selesaikan masalah ini ya, Ibu sudah tidak sanggup mau ditaruh dimana muka Ibu bertemu dengan Pak Pram" Kata ibu sambil menangis. Rinai hanya menghela nafas dan mengangguk. Ia akan menemui Pram sekarang, segera. Harusnya sejak awal Laras tidak menerima pinangan dari Pram jika ia merasa ragu.

Gerimis turun ketika supir taksi menepikan mobil mereka tepat di depan rumah Pram. Setidaknya itulah alamat yang sesuai dengan kertas yang diberikan oleh salah satu karyawannya. 2 kali ia menekan bel hingga akhirnya Pram keluar, dengan ekspresi kaget, Ia memperhatikan rambut Rinai yang basah akibat gerimis, "Rinai? Ada apa, ditengah gerimis seperti ini?" Tanyanya bingung, mmebuka pintu rumah lebar-lebar "Masuk," perintahnya. Namun Rinai masih berdiri membisu, sungguh ia tak tahu harus memulainya darimana.

Gusti Allah, bantulah kami.