Wajah yang biasanya terlihat tenang nan ayu itu kini tiba-tiba terlihat tegang, hanya karena perkataan Bapak yang bilang bahwa juragan muda yang memiliki beberapa hotel dan homestay sekaligus pemilik peternakan di Yogyakarta saat ini tengah mencari pasangan hidup. Keluarga mereka terkenal sebagai keluarga yang beradab tinggi, Bapak dan Ibu masih tergolong keluarga ningrat. Kedua anak gadisnya jauh dari gosip-gosip berita miring, terkenal dengan budi pekerti yang luhur.
Lihat saja, Rinai. Anak pertama keluarga mereka yang satu ini hampir tidak memiliki satu pun berita miring. Pakaiannya selalu tertutup rapi dan sopan, menjuntai menutupi hingga bagian lutut. Bajunya tertutup rapi dengan setelan blouse lengan panjang atau kaos lengan panjang. Rinai, bekerja sebagai perancang buket bunga lepas. Ia tidak suka terikat, jadi ketika datang pesanan buket bunga untuk berbagai acara, Rinai dengan senang hati melakukannya.
Pekarangan rumah mereka luas, ditumbuhi berbagai macam jenis bunga. Bunga anggrek, Melati, Kemuning dan banyak lagi. Rinai, merawat mereka dengan telaten. "Maksudnya apa toh Pak,?" Tanya Rinai, tidak mengerti akan ucapan Bapaknya.
"Bapak berencana menjodohkan kamu dengan Juragan, Ndok. Ndak apa-apa kan? Usia kamu juga kan sudah cukup matang untuk menikah." Ujar Bapak.
"Lho, kok tiba-tiba sih Buk?" kini ia beralih ke sang Ibu, meminta penjelasan sekaligus pertolongan. Sang Ibu hanya tersenyum seraya meletakkan nampan berisi pisang goreng dan juga singkong goreng, hasil panen mereka minggu ini.
"Ndak ada yang tiba-tiba, Rinai, sayang. Jika sudah waktunya menikah ya pasti menikah." Sang Ibu mengelus bahunya pelan.
"Betul itu, Mbak!" Seru Laras, "Yang melamar Juragan pula, wah mimpi apa Mbak Rinai semalam, macam tertimpa durian runtuh saja yah Pak." timpal Laras. Wajah Rinai masih terlihat cemas, semua keluarganya mendukung hal ini.
"Tapi, Bapak sudah bilang sama Juragan mengenai Rinai?" sela Ibu.
Bapak mencomot gorengan pisang dari nampan, "Belum, biar saja dia lihat sendiri nanti pas hari minggu."
"Bapak beritahu dia kalau kita punya dua anak gadis yang cantik-cantik? Tidak hanya Rinai, tapi juga ada Laras. Ibu takut nanti dia malah salah duga, anak gadis mana yang akan hendak dijodohkan dengannya."
"Walaaaahhh,,, yah sudah pasti Mbak dong Buk. Aku kan masih kelihatan seperti anak kecil, jadi ndak mungkin Juragan itu salah duga. Iya kan Pak?"
Bapak terlihat sedikit berpikir, mengangguk samar.. "Ya sudah kita lihat saja nanti hari minggu bagaimana."
"Juragan itu sudah tua Pak?" tanya Laras penasaran. Membuat Rinai bergidik ngeri sesaat.
Bapak dengan wajah berbinar mengacungkan jempolnya ke depan "Sebentar," Ia lalu kembali ke kamar dan kembali dengan sehelai foto "Ini yang namanya Bapak Pramestyo wicaksono, biasa dipanggil Pram, bagaimana menurut kalian?"
Rinai dan Laras melihat ke arah foto yang sengaja diletakkan Bapak di atas meja. Rinai, sedikit tercengang, mengingat - ingat sepertinya ia pernah melihat pria itu tapi entah dimana.
"Oalaaaah, ganteng loh Mbak ternyata. Cocok dengan Mbak,!" seru Laras lagi, membuat semburat di wajah Rinai memerah. Ada gurat kecemasan tercetak jelas disana, Rinai menggigit bibir bawahnya seraya menunduk. Ibu, meremas tangan Rinai dengan lembut. "Semuanya kembali sama Rinai, Ibu tidak ingin memaksa." kata-kata sang Ibu barusan sedikit membuat hatinya lega.
***
Hari minggu pun tiba, hari yang dinanti-nanti sejak 5 hari lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa dada Rinai bertalu-talu sejak subuh tiba. Ia tidak pernah memiliki pengalaman mengenai seorang pria, jadi ia benar-benar kehabisan akal akan apa yang harus ia katakan hari ini. Jika seisi rumah sibuk menyiapkan segalanya, Rinai memilih berkutat dengan tanamannya di pekarangan samping rumah. Hanya itu satu-satunya hal yang dapat mengobati debaran jantungnya yang berdetak kencang.
Diluar perkiraan, ia pikir Pram akan datang bersama rombongan keluarga atau setidaknya dengan seseorang yang mendampinginya. Nyatanya Pram datang seorang diri kerumah mereka. Sebuah mobil sedan hitam masuk ke dalam pekarangan rumah, gerakan Rinai yang sedang mengguntingi daun-daun berwarna kuning terhenti. Ia berdiri, menatap sang tamu.
Pria itu keluar, dengan setelan batik cokelat motif elang. Tubuhnya tegap dan tinggi. Setelannya rapi dan aroma parfum maskulin menguar begitu saja hingga membuat Rinai sedikit tersihir. Jam tangan mahal melingkari tangan kanan Pram, dengan gentle ia berjalan mendekat membuat Rinai menahan nafasnya.
"Assalamualaikum, " Suaranya berat dan tenang, tatapan mata tajam itu lagi-lagi bertemu tatap dengannya. Alis mata Pram sedikit terangkat melihat Rinai berdiri terpaku, "Benar ini rumah Bapak Brawijaya?"
"Eh,,,. Be,, benar. Silahkan masuk." Jawabnya tergagap.
"Eh, Bapak Pramestyo Wicaksono?" Laras, tiba di muka pintu bertemu tatap dengan Pram, sikapnya sungguh santai. Pram balas dengan anggukan ringan, "Oalah, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga, mari Pak silahkan masuk kenalkan saya Larasasti Putri Ayu, biasa dipanggil Laras." Laras mengangsurkan tangannya begitu saja ke hadapan Pram, yang disambut dengan ramah oleh pria itu. Ada sedikit rasa cemburu di hati Rinai, bukan karena Laras berhasil menyalami tangan Pram, bukan itu. Tapi karena Laras dapat menguasai dirinya sendiri dan membawa suasanya nyaman bagi Pram.
"Dan kamu pasti putri dari Bapak Brawijaya?" Tebak Pram.
"Benar sekali, " Laras, menjentikkan jarinya ke udara. Tatapan Pram berbeda, ia seolah merasa menemukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang terdengar.
"Mari silahkan masuk Pak, biar saya panggilkan Bapak di dalam." Kata Laras sopan, Ia tidak tahu kalau sikapnya barusan berhasil mencuri perhatian Pram. Rinai, merasa tersingkir. Bukan karena ulah Laras, melainkan karena sikapnya sendiri. Ia mencuri pandang dari teras depan, memilih sembunyi di balik dinding. Perlahan, ia pergi menghilang entah kemana hingga Pram akhirnya pulang dari rumah mereka.