Chereads / Kutitipkan Dia Yang Berharga Padamu / Chapter 31 - Part 31-Berita Bahagia

Chapter 31 - Part 31-Berita Bahagia

Pernikahan bahagia dan langgeng adalah sesuatu yang menjadi impian bagi setiap orang termasuk Nazifa sendiri. Tak pernah ia bayangkan, kalau sosok pria yang semula dianggap aneh olehnya itu, yang selalu datang ke tempat di mana ia bekerja, kini telah benar-benar menjadi suaminya. Pria itu juga yang selama beberapa bulan ke belakang selalu menjadi pengagum rahasia Nazifa.

Afnan. Dia sosok suami yang begitu sempurna di mata Nazifa. Tak lepas dari segala kekurangan yang dimiliki. Karena sejatinya, setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Termasuk Afnan dan Nazifa.

Teringat saat di mana Nazifa begitu kecewa dan sedih atas keputusan Orangtuanya untuk menerima lamaran Afnan. Ternyata apa yang ditakutkan Nazifa tak terbukti. Nyatanya, apa yang diucapkan kedua Orangtuanya itu benar adanya. Afnan benar-benar pria yang baik dan sangat mencintai dirinya.

Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah SWT. Begitupun sebaliknya.

Kini Nazifa merasa benar-benar sangat bersyukur atas semuanya.

Sepulangnya dari mesjid, Afnan melihat Nazifa sedang meringkuk di kasur. Ia berjalan menghampiri istrinya itu.

"Zee," panggil Afnan sembari mengusap kepala Nazifa. "Kamu udah shalat?"

"Udah, Mas," jawab Nazifa pelan.

"Kamu kenapa, Zee? Sakit?" Afnan duduk di sampingnya lalu meraba kening Nazifa.

Nazifa menggelengkan kepala.

"Kepala Zee pusing banget, Mas," jawab Nazifa lirih.

"Aku tidur sebentar lagi ya, Mas. Boleh, kan?" tanya Nazifa.

"Iya, sayang. Kamu istirahat aja." Afnan mengecup kening Nazifa.

"Maaf ya, Mas. Aku nggak ikut nyiapin sarapan dulu," ucap Nazifa merasa bersalah.

"Ssst ...." Afnan menempelkan telunjuknya di bibir Nazifa. "Nggak usah mikirin itu. Kan ada Mbok," jawab Afnan.

Nazifa menganggukan kepala dan tersenyum.

"Tidurlah. Aku turun ke bawah dulu, ya. Nanti aku bangunin kalau sarapan udah siap," ucap Afnan.

"Iya ,Mas," jawab Nazifa lalu memejamkan matanya.

Tepat pukul 7 pagi, Afnan sudah terlihat rapi dan siap pergi ke kantor. Ia menghampiri Nazifa yang masih tertidur lalu duduk di sampingnya. Tangannya terulur menyibak rambut Nazifa yang turun menutupi wajah kemudian mencium pipinya lembut.

"Zee ... Bangun, sayang." Afnan menggoyang lembut bahu Nazifa.

Nazifa terlihat mengucek-ngucek matanya.

"Sarapan, yuk," ajak Afnan.

Nazifa langsung terperanjat saat melihat suaminya telah rapi.

"Ya Allah, jam berapa ini, Mas?" tanya Nazifa.

"Jam 7, sayang," jawab Afnan tersenyum.

"Maaf, Mas. Zee ketidurannya lama. Jadi nggak bantuin Mas siap-siap," ucapnya seraya menunduk dengan rasa bersalah.

"Aku malah sengaja nggak bangunin kamu, Zee. Nggak tega," ucap Afnan.

Afnan mengangkat dagu Nazifa, menatapnya dengan senyuman manis. Namun sedetik kemudian Afnan terlihat mengerutkan dahinya.

"Kamu beneran nggak apa-apa, Zee? Mukamu agak pucat, lho," ucap Afnan khawatir.

"Kepala Zee pusing, Mas," ucap Nazifa lirih seraya menurunkan kakinya dari kasur.

"Kamu minum obat, ya. Tapi sarapan dulu. Mau aku bawain sarapannya ke sini?" tanya Afnan penuh perhatian.

Nazifa menggelengkan kepalanya.

"Nggak, Mas. Aku mau sarapan bareng di bawah aja," jawabnya.

"Ayo." Afnan membantu Zee berdiri.

Tangan Afnan tak lepas menggenggam Nazifa, menuntunnya hingga ruang makan. Mama terlihat sudah duduk rapi di meja makan.

"Kamu kenapa, Zee?" tanya Mama khawatir saat melihat Nazifa yang lesu.

"Kepala Zee pusing, Ma," jawab Afnan.

"Duduklah, sayang." Afnan menarik kursi lalu membantunya duduk.

"Apa kamu kecapekan karena kemarin nemenin Mama ke Mall?" tanya Mama khawatir.

"Nggak, Ma. Zee cuma pusing aja kok," jawab Nazifa tersenyum tak ingin Mama merasa bersalah.

"Bara mana, Ma? Kok nggak keliatan?" tanya Afnan.

"Bara udah berangkat ke kampus, Nak. Katanya nanti habis dari kampus, baru dia pergi ke kantor," jelas Mama.

Afnan hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Mamanya.

"Ayo, sayang. Dimakan," ucap Afnan.

"Iya, Mas," jawab Nazifa.

Nazifa terlihat tidak begitu berselera untuk makan. Saat baru beberapa suap, ia tidak melanjutkan makannya lagi.

"Makannya dihabiskan, sayang," ucap Afnan.

"Nggak enak, Mas. Eneg." Nazifa menggeleng kemudian meneguk air minum di depannya.

"Sedikit lagi aja, Zee. Baru berapa suap. Habis itu minum obat, ya?" bujuk Afnan.

Nazifa menghela nafas lalu mulai menyuapkan makanannya lagi. Baru dua suapan, Nazifa merasa sangat mual hingga tak tahan ingin memuntahkan. Ia menutup mulutnya dengan tangan dan langsung berlari ke kamar mandi.

Afnan yang khawatir, langsung ikut berlari mengikuti Nazifa. Tangannya ikut memijat tengkuk Nazifa.

"Kamu kenapa, Zee?" tanyanya khawatir.

"Eneg, Mas. Kepalaku pusing," jawab Nazifa lirih.

Afnan merangkul bahunya, membawanya kembali duduk di kursi.

"Minum dulu." Afnan membantunya untuk minum lalu kembali duduk di kursi.

"Zee kenapa, Nak?" tanya Mama dengan nada khawatir.

"Eneg katanya, Ma. Kepalanya pusing," jawab Afnan.

Mamanya terdiam sejenak lalu menatap Nazifa dalam-dalam.

"Afnan," panggil Mamanya.

Afnan menoleh ke arah Mamanya.

"Apa jangan-jangan ...." Mama menggantungkan kalimatnya.

Afnan dan Mamanya saling menatap. Keduanya pun bersamaan melirik ke arah Nazifa, seolah mereka tengah memiliki pemikiran yang sama. Seuntai senyuman terukir di wajah Mamanya.

"Cepetan kamu bawa Zee ke Dokter," ucap Mama antusias.

Afnan mengangguk. Ia pun tak kalah antusias dengan Mamanya.

"Ayo, Zee. Kita ke Dokter sekarang," ajaknya seraya membantu Nazifa berdiri.

"Tapi kan, Mas mau berangkat kerja," ujar Nazifa.

"Nggak, Zee. Hari ini aku nggak kerja. Ayo," ajak Afnan.

Nazifa pun tak membantah. Ia mengikuti perintah suaminya untuk pergi ke Dokter. Mama memandang ke arah mereka dengan tatapan penuh harap. Tangannya terangkat ke atas dengan mulut tak hentinya mengucapkan do'a.

Sesampainya di Rumah Sakit, Afnan meminta Nazifa untuk duduk menunggu lalu bergegas menuju loket pendaftaran. Setelah itu, ia kembali menghampiri Nazifa dan duduk di sampingnya. Afnan merangkul bahu Nazifa dengan senyuman yang terus menerus menghiasi wajahnya.

"Mas ... Kenapa? Kok senyum-senyum terus dari tadi?" tanya Nazifa heran.

"Nggak. Aku nggak apa-apa," jawab Afnan.

Ia tak ingin mengatakan dulu pada Nazifa apa yang membuatnya begitu senang. Karena semuanya memang masih belum pasti. Ia harus menunggu hasil kepastiannya dulu dari Dokter.

"Ibu Nazifa Nuwaira," seru Suster memanggil.

Afnan langsung membantu Nazifa berdiri lalu memapahnya ke ruangan pemeriksaan.

"Silahkan, Pak," ucap Suster.

Beberapa menit setelah pemeriksaan.

"Bagaimana, Dok? Istri saya sakit apa?" tanya Afnan dengan was-was.

Dokter tersenyum. Tangannya terulur ke arah Afnan.

"Selamat ya, Pak. Istri Bapak hamil. Usia kandungannya 2 minggu," ucap Dokter.

Mata Afnan langsung membulat sempurna mendengar hal itu.

"Alhamdulillah," ucap Afnan senang seraya menyambut uluran tangan Dokter.

Nazifa terkejut. Namun tak bisa dipungkiri bahwa di dalam hatinya, ia pun bahagia dengan kabar itu. Ia menatap Afnan yang sedari tadi terlihat tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya itu.

"Pak Afnan, usia kandungan Ibu Nazifa baru 2 minggu. Jadi tolong dijaga baik-baik, ya. Selama trimester pertama kehamilan merupakan waktu yang rentan. Jangan terlalu capek dan stress," saran Dokter.

"Baik, Dok," jawab Afnan.

"Ini resep obatnya. Nanti diambil di Apotik ya, Pak," ucap Dokter.

"Iya, Dok. Terima kasih. Kami permisi dulu kalau begitu," ucap Afnan seraya menyalami Dokter itu.

Nazifa duduk menunggu Afnan yang sedang menebus obatnya di Apotik. Senyumnya mengembang dengan tangan meraba perut.

Aku ... Hamil, batinnya bahagia.

Afnan kembali menghampiri Nazifa dengan berlari kecil. Sungguh ia benar-benar bahagia dengan kabar ini.

"Ayo, Zee. Kita pulang," ajak Afnan.

Nazifa tersenyum lalu berdiri.

Namun ia terkejut saat Afnan dengan tiba-tiba mengangkat tubuhnya, lalu menggendongnya di depan. Otomatis semua orang yang berada di Rumah sakit itu, memandang ke arah mereka. Beberapa terlihat tersenyum menyaksikan pemandangan itu.

"Mas ... Turunin aku. Aku malu," ucap Nazifa seraya menutup mukanya dengan tangan kiri.

Namun Afnan malah tertawa dan tak menanggapi ucapan Nazifa. Sungguh ia merasa menjadi pria yang paling bahagia saat ini. Bahkan saat menyetir pun, matanya selalu melirik ke arah Nazifa. Tangan kirinya menggenggam lembut tangan Nazifa sambil sesekali menciumnya.

"Makasih, sayang," ucap Afnan lembut.

🌸🌸🌸

Saat mereka tiba di rumah, keduanya langsung disambut oleh Mama yang sedari tadi menunggu dengan gelisah.

"Gimana, sayang?" tanya Mama menatap Afnan dengan perasaan was-was.

Afnan diam sejenak tak menjawab.

"Ih, kamu! Ditanya malah diem. Bikin Mama deg-degan aja," sewot Mama.

Afnan tertawa melihat ekspresi Mamanya.

"Alhamdulillah, Ma. Hasilnya positif. Zee hamil," jawab Afnan dengan tersenyum lebar.

Mata Mamanya membulat sempurna saat mendengar ucapan anaknya. Ia melirik Nazifa yang sedari tadi menunduk tersenyum. Memeluknya lalu mencium kedua pipi menantunya itu.

"Makasih, Zee. Mama seneng banget! Sebentar lagi Mama punya cucu," ucapnya seraya memeluk erat Nazifa.

Nazifa membalas pelukan Mama dengan perasaan haru.

"Inget ya, Zee. Kamu nggak boleh capek-capek dulu. Harus jaga baik-baik kandungan kamu ini," ujar Mama saat melepas pelukannya.

"Iya, Ma."

"Ma, Afnan bawa Zee ke kamar dulu, ya. Biar Zee istirahat," ucap Afnan.

"Iya, iya. Sana. Bawa Zee istirahat," ucap Mama masih dengan senyum bahagianya.

Seperti saat tadi di Rumah Sakit, Afnan langsung kembali membopong Nazifa ke kamar.

"Mas, ih! Zee bisa jalan sendiri. Malu sama Mama," protes Nazifa.

"Nggak apa-apa dong. Jangankan di depan Mama. Di depan semua orang yang ada di bumi ini pun, aku akan terus gendong kamu," gombalnya.

Semburat merah merona terlihat di pipi Nazifa. Ia tersipu malu dan langsung menyembunyikan wajah ke dada bidang suaminya.

Mama tertawa melihat tingkah keduanya.

Semoga selamanya mereka selalu bahagia seperti itu, Ya Allah, do'a Mama dalam hati.

Afnan mendudukan Nazifa di kasur lalu pergi berlalu ke kamar mandi.

"Mas ... Kok ganti baju? Mas serius nggak jadi berangkat ke kantor?" tanya Nazifa saat melihat Afnan sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana pendek selutut.

Afnan menganggukan kepala dan tersenyum.

"Aku mau nemenin permaisuri hatiku di sini," gombalnya seraya ikut naik ke kasur.

"Kemarilah. Istirahat." Afnan menarik tubuh Nazifa lembut agar berbaring di sampingnya.

Afnan memeluk erat Nazifa sambil sesekali mencium pucuk kepala istrinya itu.

"Makasih, Zee. Aku bahagia. Sangaaat bahagia. Kamu dan calon bayi kita adalah anugerah terindah dalam hidupku," ucapnya sungguh-sungguh.

Nazifa pun ikut terharu mendengar ucapan Afnan. Tak terasa air mata menetes di pipinya. Isak tangis terdengar jelas oleh Afnan. Ia langsung melonggarkan pelukannya. Mengangkat wajah Nazifa lalu menatapnya.

"Kamu nangis, Zee? Kamu kenapa? Apa kamu nggak bahagia?" tanya Afnan bingung dan khawatir.

Nazifa menggelengkan kepala pelan.

"Nggak, Mas. Ini bukan tangisan sedih. Ini tangisan bahagia. Aku sungguh sangat bahagia. Maafin aku yang dulu sempat berpikiran buruk tentang Mas," ucap Nazifa lirih penuh penyesalan.

"Sstt ... Jangan pikirin masa lalu." Afnan menempelkan telunjuknya di bibir Nazifa.

"Yang penting itu sekarang dan masa depan. Kamu, aku dan calon bayi kita, akan terus bahagia. Selamanya kamu akan tetap menjadi milikku sampai maut yang memisahkan. Hm?"

Nazifa mengangguk dan tersenyum dalam isakan tangis. Afnan menyeka lembut air mata di pipi Nazifa lalu memeluknya kembali. Hingga tanpa disadari, Nazifa pun sudah terlelap dalam pelukan hangat suaminya.

🌸🌸🌸

Sore hari saat Bara baru pulang dari kantor, ia melihat Afnan, Nazifa dan Mama tengah duduk santai di ruang keluarga.

"Assalamu'alaikum," ucap Bara seraya mencium tangan Mamanya.

"Duduklah, Nak," ucap Mama.

"Bang Afnan kok nggak berangkat ke kantor?" tanya Bara seraya ikut duduk di samping Mama.

"Nggak. Tadi habis nganterin Zee ke Rumah Sakit," jawab Afnan tersenyum.

Bara langsung menegakkan posisi duduknya. "Kamu kenapa, Nazi?" tanya bara terkejut.

Nazifa tak menjawab pertanyaan Bara. Ia tersipu malu dan menundukkan wajahnya.

"Kamu pasti bakalan seneng deh, denger kabar bagus ini," ujar Mama.

"Ada apa sih, Ma?" tanya Bara semakin penasaran.

"Kamu akan segera punya keponakan, Bara" jawab Mama tersenyum lebar.

Bara mengerutkan keningnya mendengar ucapan Mama.

"Nazifa hamil, sayang," ucap Mama lagi saat melihat kebingungan di wajah Bara.

Deg!

Darah di sekujur tubuhnya terasa berdesir. Bara tertegun sesaat.

"Bara," panggil Mamanya.

Bara tersadar dari lamunannya dan langsung tersenyum.

"Ah ... Ehm ... Selamat ya, Nazi!" ucapnya dengan senyum yang sedikit dipaksakan. "Selamat ya, Bang! Sebentar lagi Bang Afnan akan jadi seorang Ayah!" tambahnya lagi.

"Makasih, Bar," jawab Afnan seraya merangkul bahu Nazifa yang sedang tersenyum.

"Asyik! Nggak lama lagi bakalan ada ponakan yang bisa aku cubitin," canda Bara dengan tawa.

"Heh! Awas, ya! Kalau berani nangisin cucu Mama nanti." Mamanya mencubit pelan pinggang Bara.

Bara tertawa. Namun tawanya terasa begitu hambar.

"Bara ... Ke kamar dulu ya, Ma. Mau mandi. Gerah," ucap Bara.

"Iya," jawab Mama.

Bara pergi ke kamarnya dengan senyuman tipis di bibirnya. Setitik bulir bening tanpa disadari menetes di sudut mata.

"Ah! Apa sih? Kenapa juga harus ada air mata. Ini kabar bahagia, Bara. Bukan kabar buruk," gumamnya pada diri sendiri seraya mengusap kasar bulir bening itu.

★★★