"Zee, kamu lagi apa? Sudah Mama bilang kamu istirahat aja di kamar. Jangan capek dulu," ucap Mama menghampiri Nazifa yang sedang sibuk menyiapkan makan siang.
"Nggak apa-apa, Ma. Zee udah sehat kok. Ini juga dibantuin Mbok," jawab Nazifa masih fokus ke masakan.
"Kamu kok masaknya banyak banget, Zee? Kan yang makan cuma kamu sama Mama."
Nazifa tersenyum.
"Zee mau nganterin makan siang Mas Afnan sama Bara ke kantor, Ma. Zee juga kan belum pernah ke sana. Boleh kan ,Ma?"
"Ya boleh dong, sayang," jawab Mamanya tersenyum. "Tapi Mama di sisain masakannya kan di rumah?" canda Mama.
Nazifa tersenyum simpul. "Tenang, Ma. Stock banyak melimpah ruah," jawab Nazifa.
"Oh iya, Zee. Nanti sepulang kamu nganter makan siang, temenin Mama ke Mall, ya."
"Ke Mall, Ma?"
"Iya. Mama ada yang mau dibeli. Tapi butuh pendapat kamu," ujar Mama.
"Iya, Ma. Nantin Zee temenin," ucap Nazifa tersenyum.
"Ada yang bisa Mama bantuin nggak?" tanya Mama saat melihat Zee sibuk.
"Nggak ada, Ma. Ini udah mau selesai kok. Tinggal dimasukin kotak makan aja."
Sunggguh Nazifa merasa jadi perempuan paling beruntung. Memiliki Suami yang begitu baik dan mencintainya, ditambah Ibu Mertua yang memperlakukannya seperti anak sendiri. Semula Nazifa berpikir, Ibu Mertua dari keluarga kaya akan memperlakukannya dengan kejam seperti dalam drama-drama. Tapi ternyata semuanya salah! Mama begitu baik dan sayang pada Nazifa. Nazifa merasa benar-benar bersyukur atas semua anugerah ini.
"Ma ... Zee pamit dulu, ya." Nazifa mencium punggung tangan Mama.
"Iya. Hati-hati, ya. Jangan lupa nanti langsung pulang terus anterin Mama. Ok?"
Nazifa mengangguk.
"Pak Supri, bawa mobilnya hati-hati, ya," ucap Mama.
"Baik, Bu."
"Assalamu'alaikum." Nazifa mengucap salam lalu segera bergegas naik ke mobil.
"Wa'alaikumsalam."
Perjalanan ke kantor memakan waktu kurang lebih setengah jam dari rumah. Nazifa sengaja tak mengabari Afnan kalau ia akan datang ke kantor untuk mengantar makan siang. Ia ingin memberi kejutan pada suaminya itu. Nazifa turun dari mobil dengan senyum yang merekah di wajahnya. Tertegun sebentar mengamati gedung kantor tempat suaminya bekerja. Raut kekaguman jelas terpancar di wajahnya.
"Tinggi banget gedungnya," gumam Nazifa.
Nazifa berjalan dengan perasaan senang saat membayangkan bagaimana nanti ekspresi Afnan yang terkejut melihat kedatangannya. Belum jauh kaki melangkah dari parkiran, ia melihat sosok yang tidak ia sukai berjalan mendekat ke arahnya. Nazifa menarik nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan kembali langkahnya berpura-pura tak melihatnya.
Tapi tidak dengan Christine!
Dia dengan sengaja menghalangi langkah Nazifa.
"Maaf, Mbak. Saya mau lewat," ucap Nazifa dengan santai.
Tapi Christine hanya tersenyum sinis. Ia tetap menghalangi ke mana Nazifa melangkah.
Nazifa terdiam tak melanjutkan langkahnya. Ia mendongakkan wajah menatap wanita yang sedang berdiri di depannya.
"Mbak maunya apa?" tanya Nazifa to the point.
"Kamu tanya mau saya apa? Kalau saya mau kamu pergi dari kehidupan Mas Afnan, bagaimana?" tanya Christine dengan nada menantang.
Nazifa hanya tersenyum dan menggelengkan kepala mendengar ocehan Christine. Ia berbalik dan kembali melangkahkan kakinya namun terhenti karena Christine menarik tangannya.
"Heh! Saya lagi ngomong sama kamu, ya!" bentaknya dengan nada tinggi.
"Maaf, Mbak. Tapi saya nggak ada urusan sama Mbak," jawab Nazifa santai seraya memutar badan hendak pergi.
"Kurang ajar kamu, ya!" Christine kembali menarik kasar tangan Nazifa.
Nazifa melirik tangan Christine yang sedang mencengkeram kemudian mengibaskannya.
"Mbak pikir, Mbak ini siapa? Seenaknya saja meminta saya pergi dari kehidupan Mas Afnan," tanya Nazifa dengan wajah menantang.
Ia tak lagi menghindari Christine. Ia ingin mengeluarkan semua uneg-uneg yang selama ini ada di hatinya.
"Saya istri sah Mas Afnan. Sedangkan anda? Anda siapa? Hanya sekretaris dari rekan bisnisnya. Anda yang seharusnya menjauh dari Mas Afnan. Saya tau anda memiliki perasaaan terhadap suami saya. Tapi saya ingatkan sekali lagi! Mas Afnan sudah berkeluarga. Dan dia suami saya! Anda yang seharusnya sadar diri! Masih muda, carilah laki-laki lain. Jangan pernah jadi pelakor!" ucap Nazifa dengan menatap tajam Christine.
Christine menatap tak percaya dengan apa yang didengarnya. Ia pikir Nazifa tidak akan melawan dan hanya menangis. Tapi ternyata, ia salah menduga.
"Wow! Berani sekali kamu bicara begitu sama saya!"
"Kenapa saya tidak berani? Memangnya anda siapa? Presiden? Raja?" tantang Nazifa.
"Denger, ya! Kamu itu nggak ada pantes-pantesnya jadi istrinya Mas Afnan! Ngaca dong! Penampilan udik, norak!" Ejek Christine.
Nazifa mengamati penampilan dirinya sekilas. "Iya. Saya memang udik. Tapi Mas Afnan mencintai saya," jawabnya dengan nada yang ditekankan di setiap katanya.
"Pernikahan kalian itu masih seumur jagung. Jangan bangga dulu! Saya bisa merebut Mas Afnan dari kamu! Ingat kata-kata saya! Laki-laki manapun nggak akan menolak kalau disuguhi sesuatu yang lebih membuatnya bergairah," ucap Christine dengan nada tinggi.
Ada amarah yang bergemuruh di dada Nazifa. Ingin rasanya ia mencakar-cakar wajah perempuan di depannya itu. Tapi ia berusaha mengontrolnya.
"Mudah-mudahan Mbak Christine cepet bangun dari mimpinya, ya," ucap Nazifa santai dengan senyuman.
Christine menjadi bertambah kesal saat melihat ekspresi santai Nazifa. Sesuatu terjadi tanpa diduga. Saat Nazifa hendak pergi, Christine langsung menarik kerudung yang di kenakan Nazifa hingga terlepas. Nazifa sangat terkejut akan hal itu.
"Astaghfirullahaladzim!" Tangan Nazifa reflek meraba rambutnya yang tergerai.
"Kembalikan kerudung saya!" Nazifa mencoba mengambil kembali kerudung dari tangan Christine.
Tapi karena tubuh Christine yang tinggi, Nazifa kesulitan.
"Cepat kembalikan kerudung saya!" Nazifa mulai panik.
Tanpa keduanya sadari, dua pemuda yang baru saja keluar dari gedung dan sedang berjalan ke parkiran, menyaksikan hal itu.
Bara dan Andre!
Keduanya sempat tertegun sesaat melihat hal itu. Terutama penampilan Nazifa tanpa kerudung. Namun Bara segera tersadar dari lamunannya dan berlari ke arah mereka.
"Kembalikan!" Nazifa masih berusaha merebut kembali kerudungnya.
Namun Christine malah tersenyum sinis. "Bagus juga tuh rambut."
"Ambil tuh!" Christine melemparkan kerudung Nazifa.
Dengan cepat Nazifa berlari untuk mengambil kerudungnya.
Tapi ternyata, Bara telah lebih dulu memungut kerudung yang tergeletak di tanah itu lalu berjalan menghampiri Nazifa kemudian menyerahkannya.
"M-makasih," ucap Nazifa gelagapan dan langsung memasang kembali kerudungnya.
"Ada masalah apa loe sama Nazi? Hah!" Bara marah tak terima.
"Nggak usah ikut campur! Ini bukan urusan kamu!" ketus Christine.
"Loe sekretaris di perusahaan Andre kan? Jangan berulah! Jauhin Kakak gue. Kalau nggak, loe bakal nyesel!" ancam Bara.
Christine mendengus kesal.
"Ayo." Bara mengajak Nazifa masuk ke kantor.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba Nazifa berhenti. Memutar balik badan lalu kembali menghampiri Christine yang tengah berdiri dengat raut wajah kesal. Nazifa menatap tajam Christine hingga ...
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Christine. Christine terkejut dengan tamparan tiba-tiba itu. Tak hanya Christine, Bara dan Andre yang menonton dari depan pintu kantor pun ikut terkejut.
"Jangan pernah melecehkan saya lagi dan jauhi suami saya!" tegas Nazifa dengan tatapan tajam lalu berbalik meninggalkan Christine yang masih tertegun memegang pipi.
Nazifa berjalan beriringan dengan Bara, sedang Andre mengekor di belakang. Nazifa terlihat menyeka bulir bening di sudut mata. Rasa marah dan sedih menjadi satu. Ia tak terima dengan apa yang dilakukan Christine tadi. Juga perkataan Christine tentang niat mengacaukan rumah tangga dirinya dan Afnan. Sungguh ia takut. Takut kalau Afnan akan tergoda nantinya.
Mereka bertiga memasuki lift menuju lantai atas di mana ruangan Afnan berada.
"Kamu nggak apa-apa kan, Nazi?" tanya Bara saat melihat Nazifa menyeka air mata.
"Nggak. Tapi aku kesel. Pengen rasanya aku cakar-cakar muka dia tadi," ucap Nazifa dengan nada gemas.
"Emang dia ngomong apa aja tadi?" tanya Bara penasaran.
"Dia bilang aku nggak pantes buat Mas Afnan. Dia juga bilang bakal ngerebut Mas Afnan dari aku. Aku gemes, Bara! Kesel!" Nazifa meremas kuat-kuat ujung kerudung dengan tangan kiri.
"Nggak usah diladenin. Anggap aja orang nggak waras. Jangan diambil pusing." Bara mencoba menenangkan Nazifa.
Andre yang sedari tadi berada di belakang mereka, hanya diam menyimak.
"Eh! Kenapa loe diem aja? Sekretaris loe tuh, bikin ulah!" sewot Bara.
"Eits! Jangan bawa-bawa gue dong. Itu kan urusan pribadi, bukan kerjaan," bantah Andre.
"Kamu ada apa tiba-tiba ke kantor?" tanya Bara pada Nazifa.
"Kenapa? Nggak boleh?" Nazifa mengerucutkan bibirnya.
Bara tertawa. "Bolehlah. Jangan cemberut gitu, dong," candanya.
"Nggak ada apa-apa. Cuma mau nganterin makan siang buat kamu sama Mas Afnan," jawab Nazifa mulai sedikit tersenyum.
"Ooh," jawab Bara singkat.
"Ooy! Jangan terlalu baik sama Adik ipar loe. Itu cuma bikin dia tambah sakit hati aja tau," celetuk Andre.
Bara langsung menyikut perut Andre yang berdiri tepat di belakangnya.
Nazifa menoleh ke arah mereka. Matanya mengerjap beberapa kali mencoba memahami ucapan Andre.
"Maksud Mas Andre?" tanya Nazifa tak mengerti.
"Nggak usah didengerin, Nazi. Dia mulutnya emang suka asal jeplak. Harus dijitak dulu biar diem," ujar Bara seraya mengunci leher Andre dengan lengannya.
"Sakit, sakit, sakit," Andre meringis seraya menepuk lengan Bara agar melepas kunciannya.
"Makanya jangan asal ngomong." Bara melepaskan kuncian lengan di leher Andre sambil melotot.
Nazifa tertawa kecil dengan tangan menutup mulut saat melihat tingkah keduanya.
Bara tersenyum memandang Nazifa.
"Biasa aja kali ngeliatinnya," celetuk Andre menyindir Bara.
Bara langsung membuang muka ke arah lain sedangkan Andre malah terkekeh.
Tak lama mereka pun tiba di depan ruangan Afnan.
"Kamu tunggu di dalem aja. Bang Afnan kayaknya masih di ruangan meeting," ucap Bara.
Nazifa mengangguk dan tersenyum.
"Oh iya. Ini, Bar. Makan siang kamu." Nazifa menyodorkan kotak makan siang pada Bara.
"Makasih, ya," ucap Bara tersenyum.
"Lah terus, gue gimana?" tanya Andre. "Tadi kan harusnya kita keluar buat makan siang. Tapi malah nggak jadi."
"Aku kan nggak tau ada Mas Andre. Jadi aku nggak bawa," jawab Nazifa pelan tanpa memandang Andre.
"Tar loe makan bareng gue. Ayo!" Bara menarik lengan Andre ke arah ruangannya.
🌸🌸🌸
Sepeninggal Bara dan Andre, Nazifa langsung masuk ke dalam ruangan Afnan. Ia mengamati sesaat ruangan yang cukup luas itu. Berdiri menatap ke luar jendela. Namun Afnan belum juga muncul. Nazifa duduk di sofa menyandarkan punggung.
"Mas Afnan lama," gumamnya.
Nazifa mulai menyandarkan kepalanya ke tepian sofa dan tanpa sadar ia tertidur di sana.
Setelah acara meeting yang berjalan alot, Afnan pun segera kembali ke ruangannya. Saat membuka pintu ruangannya, ia dibuat terkejut saat melihat Nazifa tengah tertidur di sofa. Namun sedetik kemudian, Afnan tersenyum simpul. Perlahan ia mendekat ke arah Nazifa. Membungkukkan badan lalu mencium lembut pipi istrinya itu.
Nazifa langsung terbangun saat merasakan sentuhan di pipinya.
"Maaf, Mas. Aku ketiduran," ucap Nazifa.
Afnan ikut duduk di sampingnya.
"Nggak apa-apa." Afnan mengusap lembut kepala Nazifa. "Kamu udah lama?"
"Lumayan."
"Kok nggak ngabarin kalau mau ke sini?"
"Sengaja. Biar kejutan," jawab Nazifa sambil tersenyum. "Ini, Mas. Aku bawain makan siang." Nazifa membuka kotak makan.
"Kamu yang masak?" tanya Afnan.
Nazifa mengangguk.
"Kan udah aku bilang, kamu jangan capek-capek dulu. Baru juga sembuh," ujar Afnan.
"Nggak apa-apa, Mas. Zee udah sehat kok. Nggak usah khawatir."
"Bandel." Afnan memencet gemas hidung Nazifa.
"Ih ... Sakit," rengek Nazifa memegang hidungnya.
Afnan tertawa sambil memeluk Nazifa.
"Ayo, Mas. Dimakan dulu. Mau disuapin?" tanya Nazifa.
"Kamu tau aja. Aa ...." Afnan membuka mulutnya.
Nazifa mulai menyuapi suaminya yang terus tersenyum memandang ke arahnya.
"Mas."
"Hm?"
"Ehm ...." Nazifa menggantungkan kalimatnya.
"Kenapa, sayang?"
"Aku boleh tanya sesuatu nggak?"
"Bolehlah. Mau tanya apa emangnya?"
"Mas ... Suka sama perempuan yang berpakaian seksi nggak?" tanya Nazifa hati-hati.
Afnan mengerutkan kening mendengar pertanyaan Nazifa.
"Kenapa kamu tanya begitu?" tanya Afnan bingung.
"Maaf, Mas. A-aku cuma takut aja. Aku ...." Kata-kata Nazifa tergantung karena Afnan langsung memeluknya.
"Aku ngerti maksud kamu, Zee. Jangan khawatir. Aku akan selalu menjaga pandangan. Cuma kamu yang aku cintai. Aku nggak akan pernah mengkhianati kamu," ucap Afnan semakin mengeratkan pelukannya.
Nazifa terharu mendengar ucapan suaminya. Air mata pun perlahan menetes di sudut matanya.
Semoga Allah selalu melindungi rumah tangga kita dari prahara dan bencana, Mas. Termasuk dari Christine, doa Nazifa dalam hati.
Afnan melepas pelukannya lalu mengambil alih kotak makan di tangan Nazifa.
"Sekarang gantian aku yang nyuapin. Kamu juga belum makan siang, kan? Aa ...."
Nazifa tersenyum lalu mulai menerima suapan dari Afnan.
"Mas, aku minta izin pergi ke Mall, ya?"
"Ke Mall? Sama siapa?"
"Tadi pas aku lagi nyiapin makan siang, Mama minta aku temenin ke Mall. Katanya ada yang mau dibeli," jelas Nazifa.
"Kapan?" tanya Afnan.
"Sehabis dari sini, Mas."
"Boleh. Tapi langsung pulang, ya," ucap Afnan.
"Iya, Mas."
Setelah bekal makan siang sudah habis tak bersisa, Nazifa segera membereskannya lalu beranjak dari sofa.
"Aku pulang dulu ya, Mas." Nazifa mencium tangan Afnan.
Namun bukannya membiarkan Nazifa pulang, Afnan malah merangkul pinggang Nazifa. Menariknya lebih dekat tanpa jarak.
"Mas."
"Ada yang ketinggalan," ucap Afnan.
"Ketinggalan? Nggak ada, Mas. Zee cuma bawa makan siang aja kok. Nggak bawa tas," jawa Nazifa polos.
"Sstt ...." Afnan meletakkan telunjuknya di bibir Nazifa.
"Dessertnya belum kamu kasih," ucap Afnan dengan senyum menggoda.
Nazifa tersipu malu. Afnan mulai mendekatkan wajahnya pada Nazifa. Bahkan hembusan nafasnya sudah terasa hangat di wajah. Tapi ketukan pintu dan kemunculan Nina sekretarisnya membuat keduanya terkejut. Dengan cepat Nazifa mendorong dada Afnan dan tertunduk malu. Sedangkan Afnan berusaha bersikap tenang dan tersenyum.
"Ma-maaf, Pak. Nanti saya kembali lagi," ucap Nina langsung kembali keluar dan menutup pintu.
Afnan terkekeh melihat Nazifa yang tersipu malu. Ia kembali merangkul Nazifa.
"Mas ... Nanti ada yang masuk lagi," ucap Nazifa tertunduk malu.
"Biarin," jawab Afnan cuek.
Ia kembali mengangkat dagu Nazifa lalu menciumnya mesra hingga membuat Afnan terbuai dan lupa kalau dia masih di kantor.
"Mas ...." Nazifa mendorong tubuh Afnan. "Ini di kantor." ucap Nazifa seraya menahan senyum.
Afnan tersipu malu. "Maaf. Aku lupa," bisiknya.
"Aku pulang dulu, Mas." Nazifa melepas rangkulan Afnan.
"Aku antar ke bawah, ya."
"Nggak usah, Mas."
"Ya udah. Tunggu aku di rumah, ya," ucap Afnan seraya mengedipkan sebelah mata.
Nazifa mengulum senyum.
"Assalamu'alaikum," ucap Nazifa seraya berlalu pergi.
"Wa'alaikumsalam."
★★★