Chereads / Granny’s House / Chapter 18 - First time cooking part 1

Chapter 18 - First time cooking part 1

Jihan masuk kedalam kamarnya menenteng nampan berisi secangkir kopi untuk suaminya, lalu meletakkannya diatas coffe table samping meja utama yang berisikan seperangkat komputer dengan harga puluhan juta rupiah. Aldrian sengaja membelinya karena ia lebih suka bekerja dirumah dibandingkan di kantor, padahal menurutnya itu hanya alibi suaminya saja agar ia bisa kembali bekerja dirumah, karena faktanya Aldrian tetap pergi ke kantor setiap harinya bahkan terkadang sering kali izin lembur untuk menyelesaikan projectnya, dasar maniak kerja tidak bisa sehari saja beristirahat. Bersyukur mulai besok tinggal disini nenek memberi peringatan agar semua cucunya sudah dirumah saat jam makan malam. Kalau tidak nenek akan memberikan hukuman kepada siapa saja yang melanggar. Jadi Jihan tidak perlu lagi membuang tenaganya memarahi Aldrian agar tidak menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja. Tidakkah Aldrian sadar? Sebagai seorang istri Jihan juga ingin di perhatikan.

Setelah meletakan kopi buatannya ia membaringkan dirinya diatas ranjang, lalu memainkan ponselnya dalam diam menunggu Aldrian menyelesaikan pekerjaannya. Sejujurnya ia menunggu suaminya mengatakan terima kasih karena ia telah menjadi istri yang baik, bukan gila pujian selama bertahun-tahun menjadi istri Aldrian, pria itu hampir tidak pernah mengucapkan kata terima kasih, tolong apalagi kata-kata romantis dan sekarang untuk kesekian kalinya pria itu mengabaikannya lagi, ia tetap fokus pada layar monitor. Jihan menghela nafas, seharusnya memang ia sudah tahu akan seperti ini. Tidak bisa mengharapkan apapun yang berbau romantis kepada manusia es itu. Apa yang kau harapkan Jihan? Batinnya. Kemudian ia kembali menyibukan diri pada ponselnya, sebenarnya selain itu sekarang ia juga sedang gundah akan suatu hal.

Aldrian merenggangkan otot-otonya yang kaku. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang menyita waktu banyak, project kali ini bernilai sangat besar, jadi pagi, siang, dan malam, fokusnya hanya pada projectnya saja, sehingga tak sadar ia telah mengabaikan istrinya. Beruntung ia telah menyelesaikan semua revisi gambar desain miliknya dan telah mengirimnya kepada clientnya, jadi ia bisa sedikit lebih bersantai mulai dari sekarang.

Pandangannya tertuju pada kopi buatan istrinya, ia sedikit terkejut sejak kapan istrinya membuatkan kopi untuknya? Tangan besarnya meraih kopi tersebut dan mulai menyesapnya, helaan nafas lega terdengar setelah meneguknya. Ia memutar kursinya dan mendapati Jihan sedang bermain ponsel diatas ranjang dalam posisi telentang.

"Bisa rusak matamu. Jangan bermain handphone sembari tiduran." Larangnya, dan segera saja Jihan meletakan handphonenya di atas nakas dalam diam. Ia lalu membetulkan posisinya, namun tidak memejamkan matanya. Aldrian mengernyit biasanya wanita itu akan mengoceh tapi tumben sekali ia langsung nurut dan tak mengatakan apapun. Pasti ada sesuatu...

"Kamu kenapa?"

"Gapapa!" Aldrian menghela nafas meletakan cangkir yang telah kosong, kalau perempuan bilang gapapa pasti ada apa-apa. Setelah meletakan cangkir ia menuju toilet membersihkan wajahnya, sikat gigi lalu kembali menuju ranjang yang ditiduri istrinya. Ia duduk menyenderkan tubuhnya pada kepala ranjang, matanya menatap Jihan lamat-lamat. Jihan yang merasa risih akhirnya membuka suara.

"Kamu ngapain sih Al ngeliatinnya gitu banget?"

"Lagi coba masuk kepikiran kamu biar bisa peka kamu lagi kenapa. Tapi sudah coba tetep aja gakbisa."

"Emang kamu tuh gak pernah peka." Aldrian terkekeh melihat Jihan yang merajuk. Ia lalu menepuk pahanya meminta Jihan duduk dipangkuannya, Jihan yang sedang badmood menggelengkan kepalanya tidak mau.

"Jihan jangan sampai aku mengatakannya dua kali" ancamnya membuat Jihan mendecak kesal.

"Ck!! Bisanya cuman ngancem. Disuruh peka malah galak." Gerutu Jihan disela gerakannya memindahkan tubuhnya ke atas pangkuan Aldrian. Wajahnya menelusuk ke leher Aldrian, tangannya melingkar disana dan suaminya mulai mengusap punggungnya.

"Jadi kenapa?" Jihan masih tetap menggelengkan kepalanya, ia tetap enggan menjawab.

"Aku tidak akan tahu kalau kamu gak cerita. Maunya aku peka tapi tidak mau cerita, memangnya aku dewa bisa tahu isi hatimu?" Jihan mengangkat wajahnya menatap Aldrian yang sedikit tersentak, karena mata Jihan mulai berkaca-kaca. Baiklah sepertinya masalah besar pikir Al. Kemudian Jihan mulai menceritakan tentang nenek Aldrian yang memaksa semua perempuan di rumah ini harus bergantian memasak makan pagi, siang dan malam. Dan Jihan kebagian masak makan malam untuk besok. Padahal Jihan sama sekali tidak bisa masak, boro-boro masak pegang pisau saja malah ujungnya melukai tangannya sendiri, membedakan lengkuas dengan kunyit saja tidak bisa. Selama ini yang memasak makanan Aldrian, bagian Jihan hanya mencuci piring.

Bukannya menjawab Aldrian malah mencium bibir Jihan berkali-kali sampai wanita itu kesal sendiri. Jihan menepuk dada Al agar ia menghentikan kegiatannya.

"Ah rese, percuma cerita sama kamu!" Katanya jengkel, ia berniat bangun dari pangkuan Al namun segera ditahan suaminya yang tertawa gemas.

"Iya-iya aku dengar kok."

"Dengar apa?"

"Disuruh masak sama nenek kan?"

"Iyah.... gimana dong?" Lagi Jihan menyembunyikan wajahnya di leher Aldrian, nafas panas Jihan yang mengenai kulitnya membuat bulu kuduk Aldrian meremang, tiba-tiba saja gairahnya muncul.

"Ya tinggal masak." Jawab Al suaranya mulai berubah serak.

"Bodo ah, ngeselin. Nyesel aku cerita sama kamu. Gak ngasih solusi malah bikin kesel."

"Hehe gitu aja ngambek. Besok aku bantu masak"

"Kamu enggak ke kantor?" Aldrian menggeleng, Jihan tidak sadar tangan suaminya mulai masuk kedalam piyamanya membuka pengait branya.

"Enggak, pekerjaanku sudah selesai. Tadi juga sudah kirim revisinya, jadi besok aku free bisa menemani princess seharian."

Jihan tersenyum manis, perasaannya mulai lega. "Serius?"

"Iya"

"Ah sayang Aldrian... terimakasih sayang, lega sekarang aku tuh." Ucapnya sembari memberi kecupan kecil diseluruh wajah Aldrian.

"Tidak gratis loh."

"Hah??" Seketika itu juga ia memutar tubuhnya membaringkan tubuh Jihan. Membuat Aldrian kini sudah berada diatas tubuh Jihan. Ia mulai melancarkan aksinya, mencumbui Jihan dan selanjutnya membuat mini Aldrian.

🍀🍀🍀

Pintu terbuka menampakan Aldrian yang telah rapi dengan kemeja polos berwarna hitam, celana longgar dan Jas yang membalut tubuhnya. Kerutan di dahi Jihan menandakan kebingungan yang dirasakannya melihat suaminya sudah rapi nampak kesulitan menggunakan dasi. Tiba-tiba saja emosinya meningkat, sepertinya untuk kesekian kalinya Aldrian mau mengingkari janjinya. Ia menghampiri Al, kendati sedang kesal tangannya tetap bergerak membantu membuat simpul dasi untuk Al.

"Mau kemana?" Tanyanya dengan nada ketus, Al yang menyadari istrinya tengah kesal hanya mampu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"E-eh aku harus ketemu client sebentar Ji. Tiba-tiba saja aku dihubungi untuk segera bertemu."

"Katanya sudah selesai?"

"Iya tapi kali ini dia mau tanda tangan kontrak, jadi harus ketemu biar uangnya segera cair, projectnya bisa segera jalan. Kan kalau uangnya cair buat kamu juga." Bujuk Aldrian agar Jihan tidak marah kepadanya. Jihan mengerucutkan bibirnya. Pandangannya mulai kabur karena air mata.

"Terus saja ingkar janji, kerjaan kamukan memang ingkar terus."

"Aku gak ingkar janji, aku tetap nepatin janji aku. Kan ini masih pagi aku kesana hanya sebentar saja, tanda tangan kontrak lalu kembali pulang."

"Awas kalau bohong"

"Iya." Jihan menarik simpul dasinya dengan kuat.

"Jangan iya-iya saja Al. Kamu gaktau sih galaknya nenek. Kalau aku ketahuan gakbisa masak terus menurut nenek aku bukan kriteria istri yang baik buat kamu gimana? Nanti kalau disuruh pisah sama kamu gimana?"

"Jadi janda dong kamu."

"Ih Aldrian amit-amit tujuh turunan Jin!!! Sembarangan banget sih ngomongnya" Aldrian terkekeh, tangannya merangkul pinggang Jihan, wanita itu kini dalam dekapan Aldrian.

"Kamu lagian aneh-aneh aja mikirnya, nenek sudah tahu kamu tidak bisa masak."

"Itukan dulu saat tahun pertama menikah, pasti nenek mengira kalau aku sudah bisa masak."

Aldrian menghela nafas "Makanya kalau disuruh belajar tuh nurut" kemudian ia melirik jam dinding di belakang istrinya dan kembali menciumi semua sudut wajah Jihan terakhir di bibirnya dengan melumatnya sedikit.

"Sudah nanti aku pulang kok. Aku berangkat dulu." Jihan mengangguk lemas lalu Aldrian meninggalkan Jihan di kamar.

"Hati-hati. Ingat jangan pulang telat. Kalau telat tidak dapat jatah"

"Enak saja, durhaka kamu kalau kaya gitu."

Setelah berkata begitu Aldrian benar-benar menghilang dibalik pintu.