Seperti dugaan semua orang yang mengetahui Jihan akan masak makan malam mereka. Dapur sore hari ini menjadi ribut sekali karena bertransformasi sebagai tempat medan perang antara nenek vs Jihan. Dari pekikan suara nenek yang gemas dengan cucu menantunya sampai rengekan Jihan yang dikeluarkannya tiap kali mendapat omelan. Pokoknya ramainya itu ngalahin pasar malam, pasar pagi kalau ada siang juga masih kalah dengan keributan mereka. Sampai-sampai tingkah laku mereka berdua membuat Hana was-was, takut-takut kalau mereka bisa membakar rumah ini karena lupa mematikan kompor sebab sibuk bertengkar, atau mungkin menjadi ajang unjuk kebolehan menggunakan pisau? Tapi Iya kalau digunakan dengan benar, arti kata lain memotong yang seharusnya dipotong, daging misalnya, nah kalau bukan gimana? apa tidak jadi geger satu rumah ini? Haduh Hana pusing setengah mati, mau membantu Jihan tapi nenek melarang keras. Jadilah akhirnya Hana menjadi penonton gratisan yang memantau tindakan nenek dan Jihan.
"Haduh Jihan... ini lada bukan ketumbar. Masa kamu gak bisa ngebedain? Nenek pusing sama kamu. Kok sudah jadi istri tidak bisa masak?"
"Jihan juga pusing sama ketumbar sama lada nek. Aduh.. pusing, kayaknya Jihan mau istirahat dulu deh nek" katanya sembari berlalu tapi belum sampai tiga langkah nenek sudah menarik rambut Jihan, yang otomatis membuat Jihan meringis.
"Aduh nek ampun!!!!"
"Enak saja! Mau lepas tanggung jawab? Mau pura-pura pusing terus gakjadi masak? Nenek tahu akal kamu seperti apa" Kata nenek melepaskan tangan keriputnya dari rambut Jihan. Dengan senyuman perasaan bersalah Jihan memeluk nenek dari samping berusaha membujuk nenek agar tidak marah.
"Hehe ketahuan ya nek. Nenek cantik nan bahenol jangan marah-marah terus nanti keriputnya makin banyak"
"Kamu ngatain nenek keriput?"
"Astaga.... siapa tuh yang berani kaya gitu. Kasih tahu Jihan nek biar Jihan hajar"
"Bocah gelo! Nenek heran Aldrian nemu kamu dimana? Kok bisa nemu wanita jadi-jadian kaya kamu?" Jihan yang terbiasa mendengar kalimat pedas neneknya hanya menyengir dan menganggap angin lalu, ia tahu neneknya sebenarnya baik sekali, sayang sama rata ke semua cucunya, cuman ya gitu karena sifatnya tidak ada yang sama bahkan ada yang kelakuannya kaya setan macam Daniel, Lucas dan Jihan maka nenek memperlakukan cucunya beda-beda. Tergantung sedang berhadapan dengan siapa, dan karena ini Jihan, nenek tidak segan berkata blakblakan.
"Dari kayangan nek, Jihankan bidadari yang keperawanannya tujuh lapis" kata Jihan, Hana yang sedari tadi disana tak kuasa menahan tawa tak kala tangan kurus nenek meraih centong nasi kayu lalu memukul lengan Jihan.
"Cucu nakal!! Aduh Hana, antar nenek ke kamar, darah tinggi nenek bisa naik kalau dekat dengan Jihan lama-lama." Hana segera menghampiri nenek lalu merangkulnya, ia masih tersenyum geli melihat Jihan yang kini cemberut sambil mengusap lengannya.
"Dan kamu Jihan.. selesaikan masakan kamu! Awas kalau kabur, Bi Inem bantu Jihan ya, awasi dia jangan sampai bikin masalah, biang kerok soalnya dia itu. Kasih tahu nenek kalau macam-macam!"
"Baik nek" kata Bi Inem yang terbiasa memanggil nenek, seluruh pelayan disini memang memanggil majikannya dengan sebutan nenek, sebab nenek lebih suka begitu, katanya biar akrab dan kekeluargaan. Itulah mengapa para pelayan sangat menghormati wanita yang telah berumur itu, karena nenek memperlakukan mereka dengan sangat baik. Tak lama nenek dan Hana meninggalkan mereka yang kembali sibuk di dapur. Jihan dan bi Inem serta beberapa pelayan kembali berkutat dengan masakan. Bi Inem dengan sabar membantu Jihan juga mengajari beberapa hal kecil lainnya dibandingkan dengan nenek yang galak, Jihan lebih mudah menyerap ilmu permasakan. Meski kemampuannya masih sangat memprihatinkan, setidaknya ia sudah bisa membedakan mana lada dan ketumbar.
Jihan tengah mengiris bawang dengan derai air mata yang jatuh ke pipi putihnya ketika presensi Jimmy masuk ke dapur berniat mengambil air minum disana. Namun karena mendapati pemandangan seperti itu, Jimmy merotasi langkahnya dengan cekatan lalu menghampiri Jihan melupakan rasa hausnya karena cemas melihat kakak iparnya menangis seperti upik abu.
"Jihan kenapa?" Yang dipanggil sedikit tersentak lantaran Jimmy yang mengejutkannya secara tiba-tiba.
"Jim.... bawang... hiks"
"Hah??" Jimmy masih bingung tak mengerti.
"Bawang.... mataku perih" kata Jihan lagi. Mulai paham maksud Jihan, selang beberapa detik Jimmy tergelak gemas melihat Jihan. Ia mengusak rambut Jihan.
"Ya ampun kupikir kenapa Jihan. Aku cemas melihatmu menangis seperti upik abu yang disiksa ibu tiri"
"Memang disiksa tapi sama nenek" lagi tawa Jimmy menguar. Ia kembali mengusap rambut Jihan. Tidak ada yang memperhatikan mereka saat ini karena kesibukan masing-masing, dan Jimmy memang pintar memanfaatkan waktu untuk bisa bersikap seperti ini dengan Jihan. Meski Jihan tak menyadari tindakan Jimmy yang kelewat batas karena status mereka sebagai ipar, Jimmy senang bisa berduaan dengan Jihan setelah sekian lama tak bertemu apalagi bisa menyentuh wanita dihadapannya ini. Ia seakan dilupakan bahwa Jihan bukan lagi teman masa kuliahnya yang ia sukai.
"Nenek dengar bisa dihukum kamu Ji."
"Ya jangan sampai nenek dengar"
"Tapi aku mendengarnya, dan aku akan mengadukannya pada nenek!"
"Jim!!!! Awwwww" pekik Jihan tak sengaja mengiris jarinya, ia kaget bukan sepenuhnya karena jarinya terluka tapi karena Jimmy yang yang menarik jarinya lalu dimasukan kedalam mulut pria itu. Sontak saja dengan gerakan cepat Jihan menarik jarinya sendiri, membuat Jimmy yang kini terkejut karena menyadari kebodohannya.
"J-jim..."
"Ah maaf Jihan aku refleks, kau tahu aku terbiasa melakukannya. Tu-tunggu sebentar ya aku ambil kotak obat dulu." Katanya gagap dan meninggalkan Jihan yang terdiam tenggelam dengan pikirannya. Jimmy tak berani menebak karena ia tahu, ia benar-benar bodoh, semoga Jihan menerima alasannya.
Sekembalinya Jimmy , Jihan sedang meniup-niup lukanya guna menghilangkan rasa perih di jarinya.
"Co-coba kemarikan tanganmu, biar kuobati lukanya." Jihan mengulurkan tangannya perlahan, tidak bisa dipungkiri, perasaan canggung menyelimuti mereka berdua.
"Ck, dasar ceroboh, hobinya melukai diri sendiri"
"Apa? Enak saja, Ini semuakan karenamu!! Dasar menyebalkan!" Jimmy terkekeh senang karena Jihan kembali bersikap biasa.
"Sejak zaman kuliah juga semua orang tahu, kau wanita bar-bar dan ceroboh. Terkenal dengan kebodohannya! Aku sampai heran bang Al manusia terkaku, bisa bertemu dengan wanita bar-bar sepertimu bahkan menjadikanmu istri!"
"Jimmy!!!!" Tak terima dikatakan seperti itu Jihan memukul pundak Jimmy. Pria itu mengaduh kesakitan tapi wajahnya tak menampakkan rasa sakit malah terlihat senang. Gelak tawa keduanya terdengar di seluruh ruangan. Sampai-sampai Ed yang ingin menuju garasi, memutar tubuhnya untuk melihat, dehaman Ed mengalihkan atensi Jihan dan Jimmy.
"Loh bang Ed. Mau kemana?" Tanya Jihan.
"Abang mau jemput Ken. Tapi saat menuju garasi abang dengar suara kalian. Jadinya abang penasaran kesini dulu. Kalian sedang apa?"
"Masak bang! Tapi tangan Jihan luka jadinya Jimmy tolong Jihan buat obatin lukanya." Ed memandang curiga Jimmy yang gelagapan. Satu alisnya naik, lalu tersenyum sekilas.
"Jim.. abang minta tolong. Kamu gantiin abang jemput Ken sekarang ya? Abang lupa harus ke kantor sekarang"
"Tapi bang... Jimm—"
"Hey Jim, jangan menolak! pergi sana jemput anakku. Jangan sampai Ken menunggu."
Dengan wajah lesu Jimmy mengangguk lalu mengikuti Ed di belakang. Sebenarnya ia masih betah disamping Jihan mumpung Aldrian tidak ada, tapi karena wanita itu juga yang menyuruh, Jimmy tak ada kuasa untuk menolak. Jadilah ia menurutinya, meskipun Ken keponakan tersayangnya, tapi tak bisa dipungkiri Jimmy kesal disuruh menjemput Ken disaat waktu yang tidak tepat, terlebih ia tahu Ed sengaja meminta bantuannya. Saat presensi keduanya telah menghilang, bi Inem memanggil Jihan dengan panik, wajahnya juga ikut pucat.
"Non!!!! Nona Jihan"
"Ya, kenapa bi?"
"Masakan non gosong, sudah begitu tumpah semua karena molly!!"
"Hahh!!?!?????!!!!!!!"
🍀🍀🍀
Semua cucu nenek tampak menengang diruang makan, tidak ada yang berani membuka suaranya bahkan Daniel sekalipun, terlebih Jihan yang menunduk takut dihadapan nenek, dan Aldrian dengan wajah datarnya, kendati perasaan bersalah menelingkupi perasaannya. Juga Jimmy yang merasa bahwa ia juga sedikitnya terlibat dengan masalah ini secara tidak langsung, kalau saja ia tidak mengganggu Jihan, mungkin tidak akan ada seperti ini.
Dan sudah sepuluh menit yang terlewat dari waktu makan malam mereka kali ini. Nenek menghela nafasnya.
"Kenapa bisa terjadi seperti ini Jihan?"
"Maaf nek, Jihan tadi terluka. Karena sibuk mengobati luka, Jihan tidak sadar makanannya hancur" wajahnya semakin menunduk tak kala berucap. Setelah helaan nafas yang kedua, nenek mengusap lengan Jihan.
"Yasudah lain kali jangan ceroboh, lukamu bagaimana? Baik-baik saja? Yang terpenting Aldrian sudah pesankan makanan untuk semuanya. Sebentar lagi juga sampai." Bersamaan dengan itu, suara bell terdengar dari luar, senyuman nenek terpantri
"Tuh! Sudah sampaikan. Sekarang kau duduklah" Jihan mengangguk dan duduk disamping suaminya.
🍀🍀🍀
Jihan keluar dari toilet lalu membaringkan tubuhnya disamping Aldrian dengan posisi menyampingkan tubuhnya membelakangi Aldrian yang sejak tadi bersandar pada kepala ranjang sembari memperhatikan Jihan. Setelah makan malam selesai, Jihan masih saja murung, ia juga mendiami suaminya.
"Jihan kau sudah tidur?"
"Hmm" Aldrian tersenyum kecil, merasa gemas dengan tingkah istrinya, kalau sudah tidur kenapa menyahut? Lalu Ia juga ikut membaringkan tubuhnya, merapatkan diri ingin memeluk Jihan dari belakang namun gerakan tangannya terhenti mendengar Jihan membuka suaranya lagi.
"Jangan dekat-dekat, jangan peluk-peluk aku sedang kepanasan!" Ancamnya malah membuat senyuman Aldrian semakin melebar. Pria itu tak menggubris Jihan, justru memeluk istrinya dengan erat. Lagipula Aldrian tahu, Jihan berbohong, karena tidak mungkin kepanasan disaat AC sedang dingin-dinginnya begini. Aldrian tahu Jihan tengah kesal dengan dirinya. Ia lalu menelusupkan wajahnya di ceruk leher Jihan, menghirup aroma sampo milik Jihan yang manis.
"Jangan dipikirkan! Nenek tidak marah denganmu" kata Aldrian berbisik.
"Enak bicaramu yang ingkar janji! Kamu gak ngerasain perasaan bersalah, kesel, sudah capek masak malah makanannya tumpah"
"Aku paham, tapi semuanya sudah terjadi Jihan. Ini buat pelajaranmu agar tidak ceroboh lagi"
"Kamu nyebelin, aku jadi makin kesal!"
Aldrian memutar tubuh istrinya agar menghadapnya. Ia menatap wajah istrinya yang memerah menahan tangis, lalu mengecup kening istrinya, kemudian membawa kedalam dekapannya. Tangan Aldrian mengusap punggung Kecil Jihan.
"Sudah jangan nangis. Besok mau belanja?" Sebenarnya yang diinginkan Jihan hanya kata maaf dari Aldrian, karena ia mengingkari janjinya. Tapi Jihan seolah disadarkan kalau ia menikahi Aldrian Grissham. Pria itu tidak akan mudah mengeluarkan kata maaf, itulah egoisnya Aldrian. Maka untuk mempercepat konversasi yang tak menyenangkan itu, Jihan hanya menganggukan kepalanya saja, sembari menetralkan perasaannya juga bersumpah akan menghabisi uang jajan Aldrian besok.
Setelah mendapat anggukan dari Jihan, Aldrian menyuruh Jihan untuk segera tidur.
Ini untuk Silva yang selalu kasih batu kuasa padahal gak update 💜💜😭😭 thank youuuu yak.