Kinan dan Tomi menikmati makan malam mereka. Iva sedang pamit untuk ke toilet beberapa menit lalu dan belum kembali. Sedangkan Bara belum menampakkan batang hidungnya sejak mereka sudah berada di sini.
Hotel Juan menjadi tempat yang memang sudah diatus Iva. Baginya akan lebih memudahkan jika lokasi untuk melancarkan rencananya sangat dekat dengan tempat tinggal Bara.
"Coba telpon Bara lagi, Mas. Udah di mana tuh anak?"
Tomi meraih ponselnya dan mulai mendial nomor Bara. Dua kali Tomi mencoba, namun tidak ada jawaban dari Bara.
"Nggak diangkat. Mungkin di jalan dia. Tunggu aja."
Akhirnya Kinan pasrah. Sedangkan di dalam toilet, Iva mematut dirinya dengan senyum merekah indah. Rencananya kali ini harus berhasil. Tidak boleh gagal seperti waktu itu. Kali ini dia harus bisa mendapatkan Bara seutuhnya. Harus.
'Kamu pasti bisa, Ivana. Tidak ada satupun lelaki yang akan menolak pesonamu.' bisik Iva di dalam hati.
Ponsel Iva bergetar. Satu pesan masuk dari nomor yang tidak disimpan.
[087888899000 : Sudah siap, Mbak.]
Iva terkekeh dan berdecak puas. "Bara, kita akan menikmati malam yang indah. Aku benar-benar tidak sabar."
Dengan langkah terayun ringan Iva keluar dari toilet dan kembali ikut bergabung bersama Kinan dan Tomi di meja 01 dekat tengah-tengah ruangan restauran di Hotel Juan.
***
"Mas, kamu nggak balik?"
Cecil mengangsurkan kopi pada Bara. Saat ini keduanya duduk di ruang tamu. Ibu Cecil sudah kembali istirahat sejak beberapa menit lalu diberikan obat oleh Cecil.
"Nanti aja. Aku masih mau nemenin kamu."
Cecil tersenyum. "Kamu pasti capek, Mas. Seharian kerja, pulang kerja malah ke sini. Belum mandi pula."
Bara terkekeh. "Bau ya?" tanyanya sambil mengendus bau tubuhnya. Cecil ikut terkekeh melihat kelakuan Bara.
"Bukan gitu. Besok kamu juga harus kerja lagi, kan?"
Bara mengangguk. "Bentar lagi. Aku masih betah di sini."
Cecil menghembuskan napas pasrah. "Mau sesuatu nggak? Aku bikinin." tawar nya yang dijawab celengan oleh Bara.
"Masih kenyang."
Bara teringat percakapan antara dirinya dan ibu Cecil satu jam yang lalu. Bara juga tidak akan melepaskan Cecil. Bara sudah menanam nama Cecil dihatinya. Bara tidak akan pernah bisa hidup tanpa gadis itu. Berpisah beberapa waktu lalu saja membuat Bara tertekan. Bahkan Bara sempat depresi karena tidak bisa merengkuh Cecil saat gadis itu kehilangan ayah dan adiknya.
Bagi Bara, melihat Cecil bersedih dan menangis adalah hal terakhir yang dia inginkan di dunia ini.
"Aku mau aja nyuruh kamu istirahat di kamar tamu, cuman nggak enak sama Ibu nanti pas bangun ketemu kamu lagi, Mas."
Bara tersenyum maklum. "Aku cuma butuh rebahan sebentar. Di sini..."
Cecil sedikit terkejut saat Bara merebahkan kepalanya di atas paha Cecil. Dulu, hal seperti ini tidak asing bagi mereka. Setiap Bara kelelahan sehabis kuliah atau bekerja, maka laki-laki itu akan mencari Cecil sebagai tempatnya melepas penat.
Bibir Cecil menyunggingkan senyum saat mata Bara mulai terpejam. Sebelumnya, Cecil tidak pernah lagi berpikir akan merasakan hal seperti ini. Di mana jemarinya menyisir dengan pelan rambut hitam Bara.
"Sepuluh menit ya." ucap Bara dan Cecil hanya diam. Bara lelah, tapi dia tidak begitu peduli asal waktunya dia habiskan bersama Cecil. Baginya, Cecil adalah obat yang manjur untuk mengurangi rasa lelahnya.
Seperti sekarang. Bara merasa nyaman.