Iva memandang Kinan dengan alis terangkat sebelah dan senyum miring di bibirnya. Sebuah rencana sudah ia rangkai dengan baik. Baginya, Kinan adalah umpan yang tepat untuk bisa membuat Bara mau berkumpul dengan mereka.
"Tante..."
Kinan yang menonton televisi di ruang tengah seketika menoleh pada Iva yang duduk di sebelahnya.
"Kenapa, Va?" tanya Kinan.
"Mmm, gimana kalo kita makan malam nanti di luar aja, Tan? Kan jarang banget kita bisa quality time sama Om dan Bara."
Kinan tampak berpikir. "Iya juga ya. Jadi Tante nggak pergi masak malam ini. Ide bagus tuh."
Iva tersenyum lebar. Semudah itu menghasut Kinan dengan permintaan konyolnya. Quality time? Yang benar saja. Iva mana pernah memikirkan itu. Baginya quality time itu ya saat dia dan Bara bisa bersama dan saling terbuka seperti dulu.
"Biar aku atur tempatnya. Nanti Tante kabari Om sama Bara. Biar mereka langsung ke sana."
Kinan mengangguk saja mengiyakan usulan Iva tanpa tahu ada maksud tersembunyi yang tengah Iva susun.
"Yaudah, kamu atur aja. Tante ngikut aja."
Iva mengangguk semangat. Gadis itu mengotak-atik ponsel pintarnya mencari tempat bagus untuk makan malam nanti. Jam diponselnya menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit. Dan dia yakin Bara sebentar lagi akan pulang ke apartemennya.
'Hm, sepertinya hotel Juan bagus juga. Dekat dengan apartemen Bara. Dan pastinya akan lebih memudahkan rencanaku.' ucap Iva tertawa di dalam hati.
Di lain tempat, Bara segera pamit pada Cecil untuk segera pulang. Namun ibu Cecil menahan Bara. Wanita paruh baya itu ingin Bara tetap di sana. Bara awalnya menolak karena merasa tidak enak akan mengganggu waktu istirahat Cecil. Laki-laki itu tahu betul kalau gadisnya pasti lelah seharian bekerja.
"Sebentar aja, Bara. Di sini dulu temani Ibu ngobrol. Udah lama loh kamu nggak ngobrol sama Ibu."
Ya, Bara memang memanggil ibu Cecil dengan sebutan yang sama. Dari dulu juga begitu. Bagi Bara, panggilan 'Ibu' untuk ibu gadisnya sangat istimewa. Bara berharap kelak akan tetap bisa memanggil beliau dengan sebutan yang sama. Dan anak-anak mereka akan memanggil ibu Cecil dengan Oma. Tuh, kan, Bara suka ngehalu kalau sudah begini.
"Kerjaan kamu gimana?" tanya ibu Cecil.
Bara tersenyum. Tangannya meraih jemari kurus ibu Cecil. Wanita itu duduk bersandar di dinding. Sedangkan Bara duduk di sampingnya menghadap ke arah wanita itu.
"Alhamdulillah kerjaan lancar, Bu. Proyek-proyek semakin berkembang. Banyak buka anak perusahaan juga."
Ibu Cecil tersenyum lembut. "Syukurlah. Kamu memang hebat. Ibu jadi ingat ayah Cecil kalau lihat kamu. Dulu almarhum juga laki-laki pekerja keras seperti kamu. Proyek melimpah, buka cabang di mana-mana. Ibu sama anak-anak sering ditinggal. Pernah seminggu kadang sampai sebulan kalau proyek ada masalah. Walau begitu, ayah Cecil tetap nggak lupa keluarga. Tetap ingat jalan pulang. Dia kerja keras juga demi kami. Dan sekarang..."
Wanita tua itu melirik dapur di mana sang putri yang tengah mencuci peralatan makan mereka tadi.
"...ibu kasihan sama Cecil, Bar. Ibu nggak mau dia susah. Harusnya dia nggak seperti ini. Ibu jadi bebas buat dia. Untuk saat ini Ibu bersyukur kalian masih bersama. Ibu takut saat Ibu tidak ada lagi bersama Cecil, dia akan terluka parah dan tidak ada yang menemaninya. Tapi sekarang Ibu merasa tenang. Ada kamu. Ada Kinan yang juga sayang sama Cecil."
Bara mengelus lembut punggung tangan sahabat Kinan yang dia genggam. "Ibu nggak boleh ngomong begitu. Ibu harus yakin sembuh. Ada atau tidaknya Ibu, Bara akan selalu menjaga Cecil. Dan... maaf, karena pernah membuat putri Ibu bersedih."