Chereads / Smooth and Tasty Vanilla / Chapter 11 - Part Ten

Chapter 11 - Part Ten

Tara membuka pintu jendela, membiarkan hawa dingin masuk ke dalam kamarnya. Pikirannya kembali melayang entah kemana semata-mata tak menemukan ujung. Yang dia tau dirinya sudah terkurung di dalam ruangan sempit ini lebih dari seminggu.

Meninggalkan pekerjaannya sebagai pelayan tanpa pamit kepada Steve-mantan managernya, lalu ia menghabiskan sisa waktu dengan menulis novel dan mencari tau tentang keinginan terbesar Vanilla terhadap Morrow dan ternyata itu jauh lebih rumit dari dugaannya.

Vanilla sama sekali tidak meninggalkan catatan ataupun pernah bercerita kepada orang lain perihal kehidupannya. Lebih banyak informasi menyatakan jika gadis itu sangat pemurung.

Tangan Tara bersedekap, ia mengalihkan pikirannya pada jadwal temu dengan Jake di sebuah kedai kopi milik pria itu untuk membahas novel yang dia buat.

Diluar dugaan beberapa hari lalu Jake dan Nila membelikannya sebuah ponsel dan laptop. Serta ketika mereka bertiga mampir ke apartemennya, diam-diam Tara mengambil kartu debitnya juga beberapa uang tunai yang ia simpan di laci lemarinya, hingga Tara sedikit bisa bernapas menjalani hidup untuk beberapa hari ke depan.

Dering panggilan telpon menarik Tara dari lamunan, segera ia mengangkatnya. "Sebentar lagi kau akan sampai? Okay, aku akan segera turun.." Itu dari Jake.

"Kau terdengar bersemangat Vanilla." Tara bisa membayangkan senyuman menjengkelkan pria itu, kalau bukan karena uang Tara akan terus menyembunyikan novel garapannya. Sekarang ia terpaksa mengganti setiap tulisannya yang sudah benar dari segi ejaan dan tata bahasa menjadi salah.

"Bukankah kau yang terlalu antusias, ini masih jam tujuh pagi." Balas Tara dengan sindiran.

"Karena aku tidak bisa menahan rasa penasaranku." Jake memilih untuk kukuh. Ia terlalu berharap besar pada proyek kali ini. Apakah sosok ghosh writer satu ini dapat menyeimbangi tulisan Tara? Pikir Jake begitu.

"Terserah apa katamu." Sebisa mungkin Tara menggigit lidahnya sendiri, ia harus menjaga makiannya karena masih terlalu awal menghancurkan kerja sama di antara mereka. Tara mematikan sambungan secara sepihak, iapun bergegas membawa tas berisi laptop dan sebuah box berisi hampir dua belas novel milik Jake untuk ia kembalikan. Pria itu terlalu perhatian hingga meminjamkan buku sebagai referensi cerita.

Ketika keluar kamar Tara menyapa Kattie yang sedang membuat sarapan. "Jarang sekali melihatmu pergi sepagi ini." Tanya Kattie sambil terkekeh. Sampai sekarang Tara tak mengerti selera humor wanita itu, jadi ia sering menyambutnya dengan cengiran kaku.

"Ya begitulah. Rekan kerjaku benar-benar sibuk, dia bisa menghabiskan waktu lebih dari dua belas jam di depan komputernya. Dan hari ini dia menyempatkan waktu untuk berdiskusi denganku." Tara meneguk segelas susu yang telah Kattie buat, lalu mengambil sepotong roti panggang.

"Sepertinya kau sangat senang dengan pekerjaan barumu. Syukurlah.." Ungkapan Kattie membuat benak Tara berdesir hangat, meski itu hanya sikap perhatian sederhana namun tetap terdengar asing baginya. Dan Tara menyukai hal tersebut, diapun bersemu merah seolah bangga pada pekerjaanya yang sekarang.

"Aku akan mencuci piring setelah pulang. Selamat tinggal." Terburu Tara keluar dari apartemennya, karena sebentar lagi Jake akan sampai di lobby.

"Oh ya, kau tidak perlu membuatkan makan malam untukku. Bastian akan mengajakku berkencan." Ucapan Kattie membuat Tara berhenti sejenak kemudian mengangguk paham. Bastian adalah tunangan Kattie, pria bertubuh lebih tinggi tujuh inci darinya. Bisa dibilang dia termasuk pria berukuran pendek dinegara ini karena keturunan orang Asia. Tara kurang menyukai sifat keras Bastian, temperamennya benar-benar kacau dan dapat meledak kapanpun. Hari Selasa lalu Tara nyaris saja melabrak pria itu sebab berani memutuskan untuk memundurkan pernikahan padahal pertunangan mereka telah berlangsung hampir satu tahun. Tapi pria itu seolah-olah dirinyalah yang menjadi korban. Jika tidak bisa berkomitmen untuk apa menyiksa wanita dengan cara mengikat mereka dalam ketidakpastian? Asal tau saja menunggu dalam kurun waktu lama itu sangat berat dan melelahkan.

"Pastikan kalau priamu bersikap jantan, dalam tanda kutip bukan hanya diatas ranjang." Kattie hanya tersenyum tipis menanggapi sindiran Vanilla. Teman serumahnya begitu mengkhawatirkannya, dan jauh dari dugaan jika Vanilla berani berargumen tepat pada sasaran tanpa melupakan nada pedas.

...//...

Wanita itu berdiri sendirian di depan gedung, mengikat ketat rambutnya menjadi satu, sedang tubuhnya berbalut jaket kuning yang membuat wajah cerahnya semakin terlihat bersemangat. Meski ia tampak kewalahan dengan sebuah box berat di dekapannya.

"Kau pasti sedang menunggu seseorang." Ujar Morrow mulai berdiri tepat di samping Vanila. Sontak wanita itu menatap nanar kehadirannya, rasa terkejut berbaur ketakutan beradu satu membuat wanita tersebut bingung harus berbaut apa. Morrow berpikir apakah hari ini ia tampak begitu menakutkan? Tentu saja Morrow sudah menggangu kehidupan tenang wanita itu lalu menariknya kembali pada sebuah mimpi buruk.

Tak berapa lama sebuah mobil berhenti di depan Vanilla, terdapat sesosok pria menurunkan kaca mobil sambil memanggil nama wanita tersebut. "Hemm.. Rekan kerjamu sudah datang, sebaiknya kau lekas masuk Vanilla. Pukul delapan malam aku akan menjemputmu." Morrow membelai puncuk kepala Vanilla dengan lembut lalu membukakan pintu mobil, mendorong pelan wanita itu masuk ke dalam. Dan Vanilla masih tak berkutik hanya untuk sekedar membalas senyumannya.

Kini mobil telah melaju pergi sedangkan Morrow membiarkan dirinya terbawa oleh alur takdir. Dia ingin lihat seberapa besar dirinya menginginkan wanita itu kembali kepadanya. Morrow sangat paham bentuk kegelisahan di mata Vanilla. Mendamba begitu berlebih nyaris membengkak ke setiap ruas pikirannya. Wanita yang malang. Morrow sengaja membiarkan Vanilla pergi bersama rekan kerjanya untuk memberikan ruang berfikir, akankah Vanilla memutuskan melarikan diri ataukah sebaliknya?

Jawaban itu masih tersimpan rahasia. Dan tanda tanya dalam benak Morrow membuat dia teringat akan satu hal bahwa dia sudah banyak menyakiti wanita itu lebih dari batas kewajaran. Dan Morrow tetap ingin melakukan jauh melewati itu. Membuat Vanilla terjerumus pada kesakitan karena sangat mendambakannya.