Kepala Tara berdenyut nyeri. Ia terlalu banyak menangis, juga ia sulit kembali tidur. Dan akhirnya dia memutuskan pergi ke rumah sakit menjenguk tubuhnya. Tidak butuh waktu lama untuk sampai, karena jarak Lenox Hill Hospital terbilang dekat.
Dan kini Tara berada di samping ranjang termenung melihat kondisi tubuhnya yang terbaring mengenaskan. Seluruh rambutnya dipangkas habis supaya dokter dapat membedah dan menghentikan pendarahan otak. Juga beberapa tulang rusuknya patah, nyaris merobek organ paru-paru. Tara mendesah berat, ia meraih tangan lemah itu lalu mengecupnya. "Akhirnya aku bisa melihat diriku sendiri dari sudut pandang lain. Kau... benar-benar cantik." Dan malang.
"Maaf aku tidak membawakan apapun untukmu. Sekarang aku benar-benar miskin bahkan untuk sekedar membeli bunga." Lanjut Tara menertawakan dirinya sendiri. Ia mencoba menghibur dirinya karena tak satupun keluarganya datang menjenguk karena di dunia ini ia sendiri setelah ibunya meninggal.
"Kau tidak perlu repot membawanya bunga. Dijenguk oleh orang lain saja dia pasti luar biasa bahagia." Sontak Tara menoleh ke arah pintu dimana Jake berada membawa seikat bunga mawar serta ada Nila bersamanya.
"Ngomong-ngomong siapa nona cantik ini? Dan sepertinya mata bengkakmu cukup mengerikan." Ujar Jake bergurau untuk mencairkan suasana.
Sungguh Tara ingin melompat ke pelukan Jake dan Nila. Ia sangat merindukan mereka, tapi Tara tidak memberitahu jika ini adalah dia.
"Namaku Vanilla Flaweret. Sahabat kecil Tara Lipinski. Hari ini aku baru dapat menjenguknya kembali."
"Kau bisa memanggilku Jake dan ini Nila. Kami adalah antek-antek si penyihir itu." Balas Jake yang kemudian Nila langsung menyikut pinggangnya. "Maaf. Kami adalah editor sekaligus asistennya." Nila berkata ramah sambil menjulurkan tangannya. Orang disekitarnya sangat hafal dengan sifat Jake yang berpikir sebelum berbicara. Meski ucapan Jake tadi agak menjengkelkan. Tara tetap bersyukur bisa bertemu mereka lagi. "Senang berkenalan denganmu." Tara menjabat tangan hangat Nila.
Mereka berbincang bersama di atas sofa. Sedangkan Nila ssembari mengganti bunga yang telah layu dengan yang baru dari vas bunga. Jake berceloteh tentang betapa kagetnya ia mendapatkan berita kecelakaan Tara sehari setelah tahun baru. "Aku dan Nila membatalkan acara liburan hari itu, kemudian langsung menuju rumah sakit. Kami membatu mengurus administrasi dan keuangan supaya Tara bisa segera melaksanakan operasi. Aku tidak menyangka sebuah truk benar-benar menabrak mobilnya sampai terpelanting jauh beberapa meter. Sampai dokter menagatakan bahwa gegar otak akibat kecelakaan berat dapat mematikan sebagian besar syaraf tubuhnya."
Tara dapat melihat mata Jake merah berkaca-kaca. "Aku yakin. Tuhan akan menolongnya. Well, wanita itu selalu penuh percaya diri. Kau tau kebenaran itu bukan?"
"Jangan menangis Jake. Vanilla akan beranggapan kau adalah pria aneh." Tegur Nila sambil terkekeh. Nyatanya Nila juga seperti mau ikut menangis.
"Kalian adalah teman-teman yang sangat baik. Terima kasih."
"Terima kasih kembali telah menjenguk Tara. Dan semua fansnya benar-benar berkabung atas kecelakaan itu. Tapi siapa sangka, karena berita kecelakaan Tara disiarkan di tv juga tersebar di media sosial dan mengakibatkan hasil penjualan novelnya makin meningkat. Orang-orang yang belum mengenal Tara jadi ikut penasaran dengan karya-karyanya. Bahkan ada yang menciptakan spoiler dari novel Tara seri selanjutnya. Hebat sekali, dia tetap popoler walau bagaimanapun keadaannya." Lanjut Jake penuh kebanggaan.
"Aku juga sangat penasaran tentang kelanjutan ceritanya. Apakah tokoh utamanya akan mati atau tetap dibuat hidup? Kau tau Tara senang sekali mempermainkan pembaca sesuka hatinya, selain mengerikan dia juga sangat pelit memberitahu kisah akhirnya. Kalau begitu, kenapa tidak kau sendiri saja yang menulis ceritanya. Ujar Tara begitu." Kini giliran Nila berbicara, yang perlahan membuat pipi Tara bersemu merah karena malu. Ia lupa pernah mengatakan hal sedingin itu, juga cukup keterlaluan.
"Kalau begitu. Biar aku yang melanjutkan ceritanya. Aku pernah mendengar cuplikan akhir ceritanya. Bisa dibilang kalau selama ini kita saling bekerja sama untuk mengerjakan novel." Tara mencoba melemparkan umpan. Ia harus kembali mendapatkan pekerjaannya. Sebab ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai pelayan club, demi menghindari skenario terburuk bertemu dengan Morrow kembali. Lagi pula menulis novel lebih menguntungkan dan fleksibel. Dia berjanji untuk menuntaskan novelnya sesuai deadline.
"Benarkah! Aku belum pernah mendengar apapun tentang Tara ternyata memiliki rekan kerja rahasia seperti itu." Jake bergumam pelan. Meski Jake terlihat seperti pria gampang, kenyataannya dia paling susah ditipu. Pria yang terlahir jeli dengan insting tajamnya.
"Tentu saja. Tapi aku sangat amatir untuk menulis cerita." Kebohongan Tara diiringi kekehan ringan agar terlihat lebih masuk akal dan mendapatkan satu poin positif dari Jake.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku dan Nila dapat membantumu. Kami sudah terbiasa membaca novel-novel terbitannya, jadi bagi kami mudah untuk mengikuti gaya menulisnya."
"Oke. Setuju."
"Setuju!" Balas Jake sangat antusias lalu menjabat erat tangan Vanilla. Akhirnya mereka bertiga tertawa senang. Tara belum pernah merasakan keakraban yang menyenangkan seperti ini bersama mereka. Dan ia menyesal telah melewatkan kesempatan sebelumnya.
...//...
Tara yang bertubuh Vanilla sekarang dihadapkan pada sebuah apartemen yang terasa sudah lama ia tidak pulang. Sebuah hiasan pintu, aroma khas apartemennya dan jendela yang di design bagus hingga pencahaayan masuk secara baik, semua tetap sama seperti sebelumnya. Ia seperti bernostalgia.
"Apa kau benar tau password apartemennya?" Tanya Nila.
Beberapa waktu lalu Nila dan Jake mengantar Vanilla pergi ke apartemen Tara untuk mengambil beberapa data penting tentang novel yang sedang garapan Tara. Selain itu Vanilla juga membutuhkan laptop.
"Apakah Tara tidak akan marah kita masuk ke dalam apartemennya dan mengambil beberapa barangnya?"
"Tentu saja aku tau kodenya. Aku adalah sahabatnya, dan kalian tidak perlu khawatir. Setelah ia siuman aku akan menjelaskan semuanya. Meski nanti agak sedikit merepotkan." Jake menyerngit ragu untuk menghadapi kemurkaan si penyihir Tara.
Vanilla memasukan kode lalu pintu langsung terbuka. Kemudian ketiganya melesak masuk ke dalam apartemen dengan ruangan yang cukup luas. Bagi Jake atmosfir di tempat itu dingin sekaligus hangat seolah memang Tara tengah berada diantara mereka. Didinding terpajang beberapa foto dan lukisan unik dibeli dari hasil pameran. Sedangkan sebagian interiornya sengaja dibuat sederhana namun anti mainstream, kita hanya perlu membumbui sesuatu dengan yang unik. Dan jangan terlalu menyusahkan diri sendiri lakukanlah sesuai gayamu. Jake kembali mengingat ucapan Tara yang menjadi landasan dia menerima tawaran menulis dari wanita asing bernama Vanilla. Wanita tersebut terbilang misterius. Serta dari sudut apapun dia sangat berbeda dengan Tara, alias bertolak belakang. Sifatnya tempak lemah untuk menulis cerita Tara yang penuh gelora emosional. Tapi benar apa kata Tara, Jake harus mencoba lagi pula tidak ada salahnya.
"Hamlet." Ujar Nila saat berhadapan dengan lukisan unik pria yang memegang kepala tengkorak. Nila langsung tau itu karena Tara pernah mengajaknya tahun lalu ke theater yang mementaskan sandiwara tragedi Hamlet karangan William Shakespeare, lukisan itu adalah salah satu poster acara tersebut.
"Kisah penuh tragedi. Meski bagiku Hamlet terlalu membuang waktu kehidupannya untuk membalaskan dendam kematian ayahnya sekaligus seorang raja, tapi itulah peran terbaik untuknya." Tukas Tara sambil memegang novel Hamlet dari atas meja makan, yang pernah digeletakan waktu itu sebelum ia pergi ke Tuscany-Italia.
Nila beringsut melihat sosok Vanilla berdiri disebelahnya. "Keinginan untuk memiliki adalah dosa dari ketamakan. Kutipan dari kisah Hamlet kepada sang Ratu Gertrude. Benar-benar dramatis." Lanjut Tara kemudian menyerahkan novel Hamlet kepada Nila.
"Aku pernah mendengar suasana hatimu buruk selama tiga hari usai menonton theaternya."
"Aku benar-benar kesal dengan alur ceritanya. Bagiku Hamlet mati konyol. Kemudian tanpa diduga Tara menghadiahkan sebuah novel The Thempest bukannya novel Romeo and Juliet. Karena The Tempest memiliki akhir bahagia." Nila tersenyum tipis, walaupun begitu ia sangat menyukai kegigihan Hamlet. Perjuangannya benar-benar membuahkan hasil, bahkan setelah mati dia tetap terasa hidup dihati orang lain seolah tidak masalah jika akhir ceritanya seperti itu.
"Setiap penulis pasti menyisipkan pesan tertentu di dalam ceritanya. Meski itu adalah sebuah tragedi tapi mereka mencetak hasil akhir dari bibit yang telah ditanam sejak awal cerita. Bukan hal yang mudah karena itu bukan judi yang mengharapkan peruntungan, namun kita bisa dapat memilih akhir cerita ketika kisah dimulai. Ingin berakhir bahagia? penyesalah? atau keduanya. Semua mungkin terjadi." Perkataan Nila membuat Tara diam tak berkutik. Bukankah dirinya yang menjadi Vanilla adalah untuk mengakhiri cerita ini? Kenapa ia terlalu banyak membuang waktu dan selalu berdoa ia dapat kembali hidup normal. Padahal ia sadar akhir cerita ini adalah titik dimana dirinya bisa pulang.
Tara harus mencari tau tujuan hidup Vanilla, walaupun nantinya akan berhadapan dengan pria mengerikan bernama Morrow Horward, karena dia merupakan salah satu tokoh utama yang masih tersembunyi.