Chereads / Smooth and Tasty Vanilla / Chapter 8 - Part Seven

Chapter 8 - Part Seven

Keadaan Nightclub Paul's tidak terlalu ramai pengunjung dan hanya sekedar beberapa tamu VIP yang datang. Meski begitu diri Tara tampak kelimpungan menghadapi omelan pedas Steve layaknya wanita tua, sangat sensitive.

"Ingat Vanilla! Aku tidak ingin kau sakit dan merepotkanku. Jika kau merasa tidak sanggup bekerja, kuharap kau keluar dari pekerjaan ini." Steve melipat tangan di depan dada kemudian beranjak pergi. Sedangkan Tara menggigit lidahnya sendiri menahan kesal. Bagaimana bisa Vanilla bertahan bekerja dengan pria menjengkelkan seperti itu? Tara tak habis pikir, hanya karena ia lupa menuangkan sampanye dari botol ke gelas tamu, Steve nyaris mencekik lehernya. Beruntung Tara masih berpikir tenang untuk tak melemparkan botol sampanye ke kepala pria itu. Seperti janjinya, Tara harus mempertahankan pekerjaan ini untuk Vanilla. Ia beranggapkan jika Vanilla sangat membutuhkan pekerjaan dan uang. Serta betapa bersyukurnya Tara atas kehidupannya yang dulu, ia dengan mudah mendapatkan uang dari hasil royalti penjualan novel ciptaannya hingga ia dapat bekerja bebas di balik laptop saja. Ia jadi menyesal pernah mengecewakan Jake dan Nila karena kemalasannya.

Tara mencuci tangannya di wastafel seusai menarik sekarung sampah ke belakang gedung seorang diri. Punggungnya serasa remuk, padahal ini baru hari pertamanya.

Beruntung Judith-teman wanita Vanilla yang ia temui kemarin dengan baiknya membantu pekerjaannya, mengajarinya begitu sabar. Sekali lagi Tara memijit bagian pundaknya, masih ada empat jam lagi sebelum gedung ini di tutup.

Akhirnya Tara memilih beristirahat sebentar, ia mengambil sepotong roti daging pemberian Judith lalu berjalan ke tangga darurat dimana Steve sulit menemukannya. Pria itu selalu gatal melihat dirinya diam sejenak, ada saja yang pria itu perintahkan.

Dalam sekali tegukkan Tara menuntaskan air mineralkan, barulah ia memakan roti dingin di tangannya sambil tangan yang lain memukul kedua lutut lelahnya secara bergantian. Keadaan tangga darurat benar-benar sepi sukses membuat Tara dapat melepas kepenatan. Namun ia harus cepat kembali. Tara berdehem pelan kemudian berdiri setelah menghabiskan makanannya yang terasa nikmat sekali, padahal ia pikir tidak bisa menelan roti dingin tersebut.

Senyuman siap menghiasi bibir Tara. Ia melangkah cepat masuk ke bagian dapur dan langsung mendapat perintah untuk mengantarkan pesanan anggur serta cake coklat. "Vanilla, jangan lupa kau harus membereskan minuman tumpah di tempat itu." Ujar Judith kemudian berlalu pergi.

"Okey."

Tara menaiki tangga lantai dua, tempat dimana pengunjung dapat menikmati musik DJ tanpa berdesakkan. Nyaris saja Tara terpeleset karena high heelsnya dan hampir menumpahkan semua pesanan. Tidak ada satupun orang yang mencemaskan wajah pucatnya karena cahaya begitu gemerlap. Dan hanya Tuhan yang melindunginya dari omelan Steve.

"Satu pesanan Rose Wine dan sepotong cake untuk anda." Tara membuka tutup botol, menuangkannya dengan seksama ke dalam gelas, kemudian membersihkan tetesan cairan di mulut botol. "Maaf atas ketidak nyamanan anda, kami akan segera membereskan kekacauan ini." Ucapan Tara hanya dibalas oleh tatapan santai dari tamu wanita berpakaian seksi yang tampak seorang diri menikmati dentuman musik. Bisa diperkirakan umur wanita itu adalah berkepala tiga, apalagi sikapnya sangat dewasa dan ramah.

"Apa kau punya pematik?"

"Tentu." Tara mengeluarkan pematik dari kantung roknya dan menyulutkan api ke ujung rokok wanita tersebut.

Setelah itu Tara membersihkan meja kotor akibat ada minuman tumpah dari tamu lain, disaat itu juga tamu wanita tersebut berceloteh penuh tatapan kosong. "Kadang kala hidup ini seperti di dalam neraka, pada lain waktu seolah berada di dalam nikmatnya surga. Kita tidak bisa mengubah ketentuan takdir, yang kita bisa lakukan adalah terus berjalan meski itu menyakitkan. Benar bukan?"

"Iya. Tapi sering kali orang lupa jika tak ada satupun dapat lari dari Tuhannya. Hingga mereka banyak sekali membuang waktunya dan menyesal di akhir cerita karena tidak bisa mendapatkan kebahagiaan sejati." Tara tersenyum tipis, ia ingat betapa sedih penuh penyesalan ketika kecelakaan itu tiba menghampirinya.

"Kita memang harus percaya rencana Tuhan itu luar biasa indahnya. Bahkan kita harus mencintai orang yang membenci kita. Karena sebenarnya Tuhan yang mendekatkan orang seperti itu masuk ke dalam hidup kita. Pertanyaannya bukan-apakah kau sabar pada orang itu, tapi apakah kau sabar pada Tuhan yang sengaja melakukan itu padamu supaya kau menjadi orang yang teguh, barulah kau bisa mendapatkan makna dari semua itu." Wanita itu beranjak berdiri dan membelai pipi Tara. "Kau akan baik-baik saja Tara, nikmatilah kehidupanmu menjadi Vanilla. Ini kesempatanmu untuk hidup. Tuhan mengabulkan doamu meski kau akan mengalami banyak kesulitan dan harus menentukan akhir cerita ini. Jangan pernah katakan hal ini pada siapapun, karena sebuah rahasia tentunya tidak boleh dibongkar."

Tara diam terpaku, ia kehilangan kata-kata. Sedang wanita itu pergi sembari tersenyum tipis.

"Siapa kau sebenarnya?" Tara keluar dari lamunannya lalu terburu menuruni tangga, wanita itu seolah telah lenyap di antara kerumunan banyak orang. Sungguh Tara masih belum paham pada apa yang wanita itu bicarakan. Kenapa ia yang harus menentukan akhir cerita dari seorang Vanilla?

Sebuah tangan menarik lembut lengan Tara, sontak membuat Tara berhadapan dengan pria angkuh yang ia temui kemarin malam. Tatapan pria itu tak terbaca namun terselip kehangatan yang unik membuat jantung Tara langsung berdetak kencang tak menentu dan entah kenapa hatinya perlahan diselimuti oleh kesedihan mendalam juga menyesakkan.

Pria itu melangkah mendekat untuk menghapus jarak di antara mereka seperti penasaran dengan apa yang terjadi dengan Vanilla. "Kau mencari seseorang?"

Tara dapat merasakan kehangatan begitu nyaman, namun ada batas yang memaksa Tara agar terus bertahan, Tara yakin perasaan sedih penuh dilema ini adalah milik Vanilla. Karena seumur hidup Tara, ia belum merasakan jatuh cinta yang begitu dalam.