"Kau mencari seseorang?"
"Bukan urusanmu." Ujar Tara tegas. Ia benci rasa sedih yang mendadak menyiksa batinnya. Bahkan begitu tak tertahankan seperti ia ingin menangis sekerasnya di pelukan pria itu seolah dirinya begitu merindukan pria itu dan sudah bertahun-tahun tidak bertemu, walaupun Tara sama sekali tidak mengenal siapa sosok pria tersebut.
Tara menarik cepat tangannya dari sisi pria itu kemudian melangkah pergi, ia berusaha tidak goyah karena lututnya terasa lemah. Ia menunduk dalam, menghapus kasar jejak buliran air mata di pelupuk matanya. "Kau tidak perlu menangisi pria seperti itu, Vanilla..." Ujar Tara sambil tersenyum kecut, seolah ia benar-benar dapat berkomunikasi pada diri Vanilla yang tertidur di dalam jiwanya.
Tara kembali ke lantai dua untuk menuntaskan pekerjaanya. Ia sadar jika pria asing itu dari kejauhan memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan tatapan tak terbaca namun sangat mengusik Tara. Bagaimanapun caranya ia akan menjaga jarak kepada pria itu. Sebab ia merasa ada kemungkinan hal buruk terjadi bila mereka saling berinteraksi. Bukan tentang pria itu, melainkan dirinya yang sulit melawan gejolak untuk memohon agar pria itu tetap disisinya. Itu luar biasa gila!
Setelah beberapa waktu, Tara berangsur ke dalam ruang dapur. Ia meletakkan beberapa gelas kotor ke tempat cucian piring. Ada kefrustasisan mengoyak dirinya dan kegelisahan itu tertangkap oleh Steve. "Kau sudah malas bekerja disini, Vanilla?"
"Tidak. Maaf, aku sedang menstruasi dan hormonku sangat berantakan. Sekali lagi aku minta maaf." Seharusnya Tara memberi ekspresi menyesal, malah ia melontarkan sebuah tatapan menahan emosi.
Mendengar jawaban lugas Vanilla, Steve terkesiap malu. "Lebih baik sekarang kau membantu Judith. Dia sedang kewalahan membereskan ruang bagian tengah." Balas Steve lalu beralih pergi dengan wajah kaku.
../\..
Sebuah payung kuning terbuka agar Tara bisa berteduh di balik salju yang turun deras. Pukul tujuh pagi para karyawan akhirnya dapat pulangdan sosok Judith tersenyum sambil melambaikan tangan perpisahan pada Tara. "Sampai bertemu nanti malam, Vanilla." Ucapan itu malah membuat Tara bergidik ngeri untuk kembali ke tempat tersebut.
Apartemen Vanilla terletak beberapa gedung dari Nightclub Paul's, jadi Tara hanya perlu berjalan kaki. Sempat Tara lupa dan nyaris ingin kembali ke apartemen miliknya sendiri lalu lekas ia berbalik arah. Cepat atau lambat ia akan terbiasa dengan kehidupan seorang Vanilla.
Tara memperhatikan putih salju yang turun menutupi seluruh kota. Menarik napas begitu dalam lalu secara bersamaan untain kata mengalir memenuhi pikirannya.
Ketika hidup sambil menutup mata lalu terhanyut pada kelembutan semu
Terus membelai ke dalam pelukan tanpa rasa yang menyakitkan
Disitulah saat dunia akan tampak semu
Biarkan aku terus mengambang dan tetap terlelap
Namun sebuah bisikan dan jeritan membangunkanku
Dan membuatku menjadi menangis
Bagaikan mimpi buruk dalam kenyataan hidupku
...
Setelah sekian lama akhirnya Tara mendapatkan inspirasi dan gairah untuk melanjutkan novel garapannya. Ia memerlukan sebuah laptop, ia mungkin harus pergi mengambil laptop miliknya sendiri di apartemen, Tara tak sabar untuk menulis lagi. Jika ia sampai berhasil ke tahap akhir, pasti dia akan menyombongkan diri kepada Jake dan Nila bahwa ia menepati kontrak kerja yang sudah dijadwalkan. Seulas senyum terukir di bibir Tara. "Kita lihat, betapa hebatnya jari-jariku mengeluarkan sihir..." Ungkapnya.
Kemudian tibalah Tara di gedung apartemen lusuh bertingkat sepuluh dengan gaya kuno, dimana tempat Vanilla tinggal. Tara segera manyelesaikan urusannya seperti berganti pakaian, sarapan pagi bersama Kattie, lalu beristirahat sejenak sebab ia perlu tidur satu jam, terlebih usai semalam suntuk ia bekerja berat untuk pertama kali dalam hidupnya. Well, Tara terlahir dari keluarga konglomerat, apalagi ibunya mewariskan semua harta kepadanya. Belum lagi hasil penjualan novelnya benar-benar luar biasa menguntungkan, membuat perusahaan penerbit begitu memanjakannya. Dan sekarang dunia Tara telah jungkir balik, bersemayam dalam tubuh Vanilla.
"Aku sangat penasaran, sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan pria itu?" Lirih Tara bertanya-tanya kepada Vanilla ketika ia mulai terlelap di atas ranjangnya.
Perlahan Tara tenggelam dalam sebuah mimpi. Di dalam mimpi itu Tara merasakan serpihan kehangatan menyeruak dari balik tirai jendela. Tara tau jika ini ilusi mimpi, karena New York sedang melewati musim dingin dan cuaca disini terbilang sangat hangat. Namun, ia merasa semuanya terlalu nyata. Tara mengerjapkan kedua matanya dan partikel cahaya mentari begitu menyengatnya. "Kau sudah bangun Vanilla.." Bisik seseorang yang bersuara berat. Tara menoleh ke asal suara lalu menemukan pria asing itu yang kini sedang berada di atas tubuhnya sambil sesekali mencium keningnya.
Tapi entah kenapa Tara hanya dapat bergerak mengikuti alur cerita, ia berlaku sebagai tokoh utama sekaligus penonton, seulas senyum tiba-tiba terukir dibibirnya dan tangannya menangkup pipi pria itu. "Aku menunggumu semalaman Morrow." Sendu Tara padahal sebelumnya ia tidak mengenal apapun tentang pria itu, dan bagaiamana ia sampai bisa tau jika nama pria tersebut adalah Morrow Horward.
"Seharusnya kau tidur lebih dulu jika kau tau ada kemungkinan aku tidak pulang." Sontak Tara menundukan pandangan, tertekan dengan sikap Morrow yang berubah menjadi dingin.
"Maafkan aku."
"Maka dari itu jadilah wanita penurut, Vanilla." Morrow merapihkan anak rambut Vanilla sambil memamerkan senyuman tak bersahabat, juga ekspresi wajah terlihat kaku dengan garis rahang yang kokoh lagi menggertak.
Tubuh Tara menggigil ditutupi ketakutan. Lagi-lagi Tara tau begitu saja jika Morrow tidak menyukai segala hal perhatian dari orang lain, apalagi dia bisa sampai marah melihat seseorang mencoba mengasihaninya. "Aku benci melihat gadis naif sepertimu mulai bertindak bodoh."
"Aku sungguh menyesal.."
"Tidak boleh ada tangisan Vanilla." Sergah Morrow lalu menghapus bulir air mata Vanilla. Dan mereka kini saling memandang lekat, Tara baru sadar bila Morrow memiliki warna mata cokelat kelam serta terlalu hangat untuk sifatnya yang dingin. Pasti pria itu pernah mengalami luka hingga menjadikan dia seperti itu.
Kemudian mereka berciuman sangat dalam. Melepaskan kegelisahan bagi keduanya. Tara merasakan buncahan hati yang meluap, tak terbendung begitu juga dengan pria tersebut. Meski begitu Tara baru menyadari jiwanya semakin terasa kesakitan, meremas kuat inti jantungnya. Apa yang harus ia lakukan?
Tangan Morrow menyentuh pinggang Vanilla, menarik wanita itu kesisinya tepat duduk di atas pangkuan. Tidak ada kata-kata yang terucap, karena mudah terbaca dari sikapnya jika pria itu sangat menginginkannya. Tara dapat merasakan belaian hangat dipunggungnya sekaligus rasa nyeri pada beberapa bagian yang disentuh. Sebuah ingatan terbesit dipikiran Tara, pria itulah yang menciptakan luka tersebut.
Ciuman mereka terlepas. Morrow membimbing Vanilla untuk melepaskan kaos putih yang dikenakan wanita itu. Lalu pria itu memeluknya erat dan lembut, penuh kasih. "Peliharaanku."
Mata Tara sontak terbelalak. Ia luar biasa terkejut. Bagaimana bisa Vanilla memiliki hubungan diluar nalar seperti itu di dalam hidupnya.
"Kau akan baik-baik saja sayang." Morrow melesakkan ibu jarinya ke dalam mulut Vanilla sekaligus menahan rahangnya. Ia tau wanita itu sangat ketakutan mendengar ucapannya. Maka dari itu, Morrow menahan tubuh Vanilla agar tidak membentak dan membiarkan ibu jarinya digigit sampai berdarah untuk meluapkan segala emosi terpendam.
Napas Tara tersendat, ia luar biasa marah serta ingin menjauh dari pria mengerikan itu. Mulutnyapun mengecap rasa darah Morrow, namun pria tersebut tidak bergeming. Masih mencium lembut keningnya sambil tersenyum. Tara sungguh tak paham dengan semua ini.
"Gadis baik..."
Dalam hitungan detik, mata Tara yang terpejam langsung terbuka menemukan ia sedang berada di apartemen mungil milik Vanilla. Dia yakin dirinya benar-benar sendirian. Tidak ada pria menakutkan itu lagi. Dan sontak Tara menangis sejadi-jadinya. Dadanya sangat penuh sesak dan menyiksanya. Meski begitu Tara merindukan pelukan Morrow, lebih tepatnya Vanillah yang ingin pria itu berada disisinya.
"Sebenarnya ada apa dengan kehidupanmu Vanilla? Benar-benar buruk sialan!" Tara sulit menghentikan umpatannya.