"Kenapa kau berani kembali ke hadapanku lagi Vanilla?" Morrow memandang lekat diri Vanilla dari ujung kaki hingga balik ke tatapan mata wanita tersebut. Keadaan Vanilla terlalu kacau, hanya berdekatan saja Morrow dapat merasakan tubuh Vanilla kedinginan walaupun terlihat udara dingin tak berpengaruh bagi wanita itu. Morrow semakin berdecak mendapati bibir pucat Vanilla serta sudutnya tampak berdarah karena sedikit robek, dan lebih buruknya lagi Vanilla bersikap tenang walaupun kakinya tertancap serpihan beling. "Kau lebih menyedihkan dari sebelumnya."
"Kau mengenalku?" Ujar Tara masih dalam raut datar. Jelas ia bingung atas ocehan pria di dapannya.
Morrow tersenyum kecut, baru pertama kali dalam hidupnya ada seseorang yang mencoba mengerjainya dengan cara seperti ini. Sampai Morrow kehabisan kata-kata.
"Kau sepertinya dendam padaku Vanilla." Setelah itu Vanilla menjawab dengan cepat tanpa perasaan goyah.
"Aku sedikitpun tidak memiliki dendam padamu. Dan kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun, aku tidak akan bertemu denganmu lagi tuan. Selamat malam. Terima kasih telah menolongku." Perlahan Tara menarik lepas cengkraman pria asing tersebut dari lengannya. Walau ia tahu, sepertinya pria itu merasa telah dipermalukan olehnya. Jujur Tara enggan sekali meladeni apapun tentang kehidupan wanita bernama Vanilla. Otaknya terasa ingin pecah dengan keadaan rancu ini, seolah ia buta pada dunia.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja?" Morrow beralih merengkuh pinggang Tara.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?" Kesabaran Tara sudah diambang batas, ia berbicara sambil mengatup kuat rahangnya. Bisa-bisanya Vanilla pernah memiliki hubungan dengan pria labil seperti ini. Dan yang paling menyebalkan ialah sejak awal bertemu, pria itu tak berhenti menatapnya layaknya objek sex.
"Kau benci bertemu denganku, lalu kenapa kau masih menahanku?" Ujar Tara tak habis pikir. "Aku sungguh tidak mengerti atas sikapmu itu. Dan sekarang aku memiliki urusan mendesak, jadi aku harus segera pergi. Jika ada sesuatu yang perlu diselesaikan diantara kita. Aku akan buat janji temu denganmu."
Alasan Morrow menahan Vanilla karena wanita itu tampak seperti kehilangan kendali, fokus matanya berulang kali terpecah tampak kebingungan melihat sekitar. Sempat Vanilla nyaris limbung seolah tak mampu berdiri di atas kakinya sendiri serta tangannya terasa sedingin es. Tapi wanita itu masih saja tak menyadari kondisi buruknya dan tetap mampu berbicara cukup lantang memuntahkan segala kekesalan.
"Lepaskan aku.." Morrow memandang mata Vanilla terpejam kuat lalu kembali menatapnya dingin.
"Urusan mendesak seperti apa yang harus membuatmu pergi sekarang juga?" Balas Morrow.
Tara menjambak rambutnya frustasi. Rongga dadanya penuh sesak, namun pria dihadapannya kian mengeratkan rengkuhan di pinggangnya dan sebisa apapun Tara mencoba melepaskan diri, pria itu tetap kukuh. Untuk pertama kalinya Tara merasa putus asa dan air matanya pecah.
"Temanku kecelakaan di persimpangan Hotel Dupont City. Sebuah truk menabrak mobil yang dikendarainya. Dan sekarang dia sedang dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja, aku bingung... Jadi bisakah kau membiarkanku pergi, brengsek!" Tara mencengkram kuat kemeja putih pria tersebut dengan tangan gemetaran, memberi ancaman. Ia sudah kehilangan banyak tenaga untuk berdebat apalagi mencari masalah.
"Tentu saja. Tapi sebelum itu kita akan mengobati lukamu terlebih dulu lalu aku akan mengantarmu ke rumah sakit tempat dimana temanmu dirawat." Morrow tidak menyukai segala bentuk makian. Namun pengecualian untuk kali ini, perasaan putus asa yang Vanilla lantangkan membuat hati nuraninya sedikit bergerak.
Thomas sebagai asisten langsung berinisiatif membawakan mantel hangat lalu menyerahkan kepada Morrow sebelum tuannya itu menggendong tubuh Vanilla ke dalam rengkuhan. "Katakan pada Jervis, jika aku menyetujui apapun persyaratan atas negosiasi barang antik tersebut." Thomas mengangguk samar tanda ia memahami isyarat Morrow supaya dia mengambil alih pertemuan tuannya dengan Jervis.
Sedangkan pelupuk mata Tara bergetar menutup, lalu mendadak terbuka lebar terkejut tubuhnya tiba-tiba terbalut mantel hangat kemudian terangkat. Apa yang sedang pria itu lakukan? "Hentikan!" Ujar Tara seraya mengelakkan tubuh menjauh dari diri pria tersebut agar ia segera diturunkan.
"Sshh, tenanglah. Kau sedang mengalami malam yang buruk."
Morrow mendorong pelan kepala Vanilla ke relung dadanya supaya wanita itu merasa lebih tenang, setelah itu ia membawa Vanilla ke sisi jauh menaiki beberapa lantai gedung kemudian sampai di sebuah kamar hotel.
Tara baru dapat melihat begitu jelas wajah pria asing itu dari dekat, ekspresinya terpampang kaku dan mustahil berharap ada senyuman dibibir pria tersebut kecuali senyuman kecut.
"Aku tau kau melakukan ini sebagai rasa kemanusiaan. Padahal kau sesungguhnya mempunyai empati yang buruk." Tukas Tara memandang setiap garis wajah Morrow. Pria itu nyaris sama dengan karakter pria di novel roman buatannya. Memiliki sifat menjengkelkan yang mempesona. Dan Tara sangat mendalami karakter tersebut, mencoba membayangkan menjadi diri mereka, memahami setiap emosi, keinginan, hasrat dan perasaan enggan yang pekat.
"Seperti itukah?" Sahut Morrow.
"Kurang lebih... Berhubung kau menolongku. Kau mendapatkan satu poin dariku."
Sesaat itu juga Morrow menyeringai atas gurauan Vanilla.
..\/..
Morrow membersihkan dan mengobati luka kaki Vanilla dengan hati-hati, namun wanita itu tampak biasa saja pada luka menyayat merobek hingga ke dalam permukaan kulit. Malah, tatapan Vanilla terus menerus mendikte semua hal diri Morrow secara terang-terangan walaupun wanita itu tak megatakan sepatah katapun.
"Kau merindukanku?" Ujar Morrow yang entah kenapa mau mengatakan hal yang paling aneh sepanjang hidupnya. Apalagi sedikitpun tidak terpikirkan jika dia akan melontarkan kata tersebut kepada Vanilla. Mantan pelacurnya. Boleh jadi karena dalam sejarah, Vanilla sangat terpikat padanya.
"Kau bertanya padaku?" Morrow menatap lekat mata coklat pekat Vanilla. Kenapa wanita itu senang sekali memutar balikkan pertanyaan. Desahnya dalam hati.
"Seharusnya kau tau, seorang Vanilla tidak akan merindukan pria yang hanya memandang dirinya sebagai objek sex. Maaf aku melakukan sedikit koreksi untukmu, tuan." Barulah Vanilla mengalihkan pandangan ke arah lain, beranggapan jika tidak pernah ada permbicaraan seperti itu diantara mereka.
"Kau benar. Jadi kau tidak perlu meminta maaf." Morrow menghela napas berat. Tuntas sudah ia membalut luka Vanilla cukup rapih. "Dimana rumah sakit temanmu itu?"
"Lenox Hill Hospital." Balas Tara gugup. Ia sebenarnya tidak tau dimana dirinya berada, bahkan ia merasa asing dengan nama gedung ini, dan berharap ia masih berada di kota New York.
"Butuh waktu dua jam untuk mencapai rumah sakit itu." Morrow tetap ditempatnya, duduk di samping Vanilla tanpa memindahkan kaki wanita itu dari pangkuannya. Beberapa bulan lalu, ibunya terkena gangguan ginjal dan dilarikan ke rumah sakit tersebut. Pria itu tanpa sadar memberi raut wajah serius.
"Apa kau tetap akan mengantarku?" Tara sedikit panik. Meskipun pria itu menyebalkan, untuk saat ini ia tetap membutuhkan bantuannya.
"Tentu saja. Kau tidak perlu khawatir." Morrow berlanjut mengobati sudut bibir Vanilla yang terluka dengan krim obat. Dalam diam Tara mengucapkan rasa syukur.
Ada sepenggalan perhatian Morrow terusik tentang perubahan sikap Vanilla, wanita itu seperti orang lain. Mungkin saja Vanilla mencoba menata hidup baru hingga dapat melupakan kenangan yang pernah tercipta diantara mereka. Itu keputusan cukup bagus.
Beberapa waktu setelahnya, Morrow dan Vanilla telah sampai di lobby gedung, dimana mobil Morrow sudah stand by mengantar mereka menuju rumah sakit. Sosok Thomas kini sedang membukakakn pintu mobil, mengisyaratkan agar Vanilla segera melesak ke dalam mobil namun wanita itu terdiam di tempat, wajahnya begitu pias lebih pucat dari sebelumnya.
"Kau berubah pikiran untuk tidak jadi menjenguk temanmu? Hem?" Wanita lain akan kaget sekaligus gugup jika merasakan diri Morrow berbicara cukup dekat, bahkan napas pria itu terasa di leher Vanilla. Sayangnya, wanita itu mengacuhkan keberadaan Morrow dan memilih tenggelam pada pikirannya sendiri.
Tara berusaha menyingkirkan kenangan ia mengendarai mobil dan sebuah truk datang menabraknya. Tetapi sangat sulit, menghilangkan memori kematian tersebut. Ia seolah dapat pingsan sekarang juga bila tetap nekat menaiki mobil di depannya ini.
"Hey.." Panggil Morrow tepat ditelinga Vanilla, lalu wanita itu terlonjak kaget. "Sampai kapan kau akan melamun."
"Maaf." Tara menarik napas dalam-dalam, mencengkram kuat kemeja putih yang ia kenakan mengumpulkan kekuatan dan dia menekan rasa mual bergejolak hebat dalam perutnya. Tara melenggang masuk, menduduki kursi penumpang berlapis kulit dengan punggung tegang padahal kemewahan yang tersedia membuat siapapun dapat merasa nyaman. Sedangkan Morrow mulai ikut bergabung duduk di samping Vanilla.
Semua akan baik-baik saja. Tukas Tara dalam hati. Iapun tak henti mengalihkan pandangan dari arah luar jendela serta memilih menunduk, menggenggam erat seatbelt yang ia pasang sebelum mobil meluncur pergi. Lain halnya dengan Morrow, pria itu hampir sepenuhnya disibukkan oleh panggilan telpon dan tampak acuh atas keberadaan Vanilla.
"Aku akan menemui mommy pukul sembilan pagi. Berhenti mencurigaiku." Sergah Morrow melontarkan desahan keras dibalik ponsel, sebab Henry bersikeras mengatakan bahwa ia sedang melarikan diri kembali ke luar negri.
"Terserah apa katamu..." Secara sepihak Morrow memutuskan panggilan telpon. Begitulah jika berhubungan dengan keluarga, apapun akan dipersulit nyatanya hanya sebuah hal sepele dan itu tetap berhasil membuat suasana hati Morrow menjadi jengah.
Setibanya di gedung rumah sakit, perasaan Tara terasa menekannya kuat-kuat sampai dia tergesah melepaskan seat belt dan keluar mobil terlebih dulu dari yang lain. Wajahnya makin pias, menampakkan sorot kebingungan saat kakinya melangkah memasuki lobby rumah sakit. Beruntung Morrow ada bersamanya, pria itu segera menghampiri bagian informasi untuk menanyakan ruangan rawat wanita bernama Tara Lipinski.
"Pasien Tara Lipinski baru dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat inap biasa setelah menjalankan operasi. Pasien kini berada di ruangan lantai 6 nomor 09."
"Terima kasih." Morrow kemudian menarik pelan lengan Vanilla setelah itu mereka memasuki lift. Mereka hanya diberi waktu sebentar karena berada diluar jam besuk.
Morrow hanya diam saja, ketika mereka tiba di depan kamar inap wanita bernama Tara Lipskin. Sesaat itu juga berpikir, Vanilla benar-benar mengkhawatirkan temannya. Wanita itu, menangis sesenggukan tanpa suara seperti tak sanggup hampir kehilangan nyawa temannya itu. Bahkan tangan Vanilla sangat gemetaran sulit menutupi keterkejutannya, melihat temannya terpasang berbagai alat menunjang keadaannya yang terbaring koma, dari balik kaca pintu sebab perawat tidak mengizinkan mereka masuk.
"Ya Tuhan, bagaimana mungkin ini bisa terjadi seperti ini." Ujar Tara menjambak kasar rambutnya sendiri begitu frustasi. Seolah dunia hancur di bawah kakinya. Sungguh kejadian ini diluar nalarnya, kenyataan mengatakan bahwa ia melihat tubuhnya sendiri tengah terbaring tak berdaya di atas ranjang. Memejamkan mata dengan kepala tertutup balutan kain putih bekas operasi. Perawat mengatakan, gegar otak yang ditimbulkan akibat kecelakaan nyaris merenggut nyawanya. Sedangkan fakta menjelaskan Tara tengah berada di jasad orang asing, yang sama sekali tidak bisa ia pahami maksud dari rencana Tuhan.
Morrow semakin merasakan sebuah keterpurukukan kian membengkak. Bahkan Vanilla tak lagi menganggap ada seseorang disampingnya yang terus menatapnya. Seumur hidupnya, Morrow tak pernah sekalipun mempunyai niat untuk menghibur orang lain, selain alasan bahwa ia tidak mengerti bagaimana cara menghadapi wanita menangis. Lebih sering, ia akan melangkah pergi tanpa mau mengetahui apapun tentang mereka. Namun disini, entah ada dorongan apa Morrow mau menepuk-nepuk pelan punggung Vanilla. Sebisa mungkin ia mencoba menghibur wanita itu, walaupun ragu perlakuannya akan mampu menenangkan wanita itu.