Thomas menyerahkan tas milik Vanilla kepada Morrow. yang sempat tertinggal di mobil "Ponselnya tidak berhenti berdering." Tukas Thomas kemudian melenggang pergi.
Sedangkan sosok Vanilla duduk terdiam di sofa rumah sakit, keadaan yang terlihat makin kacau, menatap lurus kokosongan di depannya. Hingga Morrow memutuskan untuk mengangkat panggilan telpon milik Vanilla.
"Vanilla, kau ada dimana? Judith berkata kau sakit dan kau memutuskan untuk pulang cepat. Tapi aku tidak menemukan kau berada di apartemen." Terdengar suara wanita dari seberang telpon bernada sedikit marah.
"Maaf. Saya Morrow, Vanilla ada bersama saya." Morrow membalas dengan suara berat dan tentu itu mengejutkan wanita yang kini melakukan panggilan telpon dengannya.
"Ah.. Maafkan aku." Wanita itu mengatakannya penuh sesal karena seenaknya membentak Morrow. Dan ini tampak konyol.
"Kami berada di Lenox Hill Hospital, menjenguk teman Vanilla yang menjadi korban kecelakaan mobil." Morrow memberi penjelasan singkat, dan sukses membuat lawan bicaranya terkejut sekaligus panik. "Begitukah..."
"Bisa kau datang menjemput Vanilla. Dia terlihat kacau."
"Okey. Beberapa waktu lagi aku akan sampai. Apartemenku tidak jauh dari rumah sakit itu. Terima kasih tuan."
Morrow berdehem pelan sebagai akhir perbincangan, lalu sambungan telpon terputus. Pria itu kembali duduk di samping Vanilla. Aneh bila saat ini ia benar-benar merasa canggung menghadapi seseorang terutama wanita. Sikap Vanilla yang pendiam memang mampu membuat orang lain tak berkutik, beranggapan bahwa wanita tersebut tidak dapat disentuh sama sekali, jauh dari kata bersahabat.
Namun ketika seorang wanita asing muncul menggunakan mantel ungu, mengatakan bahwa ia adalah teman Vanilla dan ingin menjemput Vanilla. Morrow sekali lagi tertegun, sesaat sebelum Vanilla beranjak pergi meninggalkan rumah sakit. Wanita itu menatapnya lekat nan sendu, lalu menyerahkan mantel miliknya yang sedari tadi wanita itu kenakan. "Terima kasih telah membantuku, tuan." Ujar Vanilla sembari tersenyum tipis, diiringi rasa penuh syukur. Wanita itu sungguh merasa dirinya begitu tertolong.
Morrow hanya mendesah, melihat punggung Vanilla mulai menjauh meninggalkannya. Tangan Morrow tergerak meremas kuat mantel di genggamannya. Sisi lainnya sedang menertawakan tingkah bodohnya karena sedikit luluh akan perubahan aneh ada pada diri Vanilla dan dirinya sekarang hanyalah orang asing. Bukankah itu baik?
../\..
Wanita itu terus saja mengoceh, tetapi sama sekali Tara tak mengerti kemana arah perbincangan mereka. Ia juga tidak tau siapa wanita itu sebenarnya, dan berkesimpulan bahwa wanita itu merupakan sahabatnya Vanilla.
Berulang kali Tara ingin melimpahkan berbagai macam pertanyaan, sayangnya ia harus mengurungkan niat besarnya. Tubuhnya dan pikirannya sudah tak sanggup lagi bertahan hingga ia membiarkan wanita asing yang menyebut-menyebut bahwa dirinya bernama Kattie itu menggiringnya masuk ke dalam taxi lalu membawa mereka ke sebuah apartemen berukuran jauh lebih kecil dari apartemen miliknya.
"Istirahatlah. Aku akan memasakkan bubur untukmu, dengan campuran wortel kesukaanmu." Seru Kettie disaat mengantar Tara ke dalam sebuah kamar mungil berjendela dengan ranjang berukuran kecil dan terdapat sebuah meja rias lusuh serta lemari pakaian yang hanya muat sedikit pakaian.
"Kenapa kau hanya diam saja Vanilla?" Kattie memandang prihatian pada ekspresi bingung Vanilla yang terus meneliti seluruh ruangan.
"Aku hanya..." Tangisan Vanilla perlahan pecah, lalu Kattie membawa temannya itu ke pelukannya. "Aku hanya kelelahan saja. Hari ini terasa berat bagiku." Lanjut Vanilla.
"Aku paham perasaanmu." Bukankah semua orang akan syok mendapati kabar teman baik mereka mendapatkan kecelakaan hebat? Kattie tak dapat memungkiri hal itu. Terlebih Vanilla sering kali menahan diri dari berbagai situasi. Dan Kattie cukup lega mendapati Vanilla saat ini mau berbagai kesedihan dengannya.
Beberapa waktu kemudian, Kattie menghela tubuh Vanilla lalu menyuruh wanita itu untuk segera istirahat. "Jangan sungkan mengatakan padaku jika kau memerlukan sesuatu Vanilla." Seru Kattie.
"Sudah berapa lama kita berteman?" Tanya Tara terdengar begitu tiba-tiba. Mulai dari sekarang Tara akan mencari tahu seluk beluk kehidupan seorang Vanilla.
"Aku hampir lupa, mulai dari kapan kita berteman. Mungkin sejak kau memutuskan tinggal di apartemen bersamaku setahun yang lalu." Percakapan mereka berakhir sampai disitu. Sedangkan Tara terdiam duduk cukup lama di atas ranjang seorang diri dalam kamar. Menebak-nebak berbagai macam kehidupan yang berkenaan tentang Vanilla. Tangan Tara bergerak menyentuh inti dadanya, meski ia berpikir dirinya merasakan hal biasa saja saat berinteraksi dengan pria asing yang belum pernah ia temui sebelumnya. Namun hingga sekarang jantungnya terus masih berdetak keras secara berkelanjutan seperti tubuhnya ini mengenal dekat pria tersebut. Iapun perlahan merasakan kesedihan aneh yang mendalam.
"Lupakan." Desah Tara. Dia segera berganti pakaian, mengambil switter putih rajutan dan legging dari lemari pakaian untuk ia kenakan tidur.
Usai berganti pakaian, Tara merebahkan diri di atas kasur empuk dan terlelap tanpa selimut. Ia sudah amat lelah terlebih kondisi tubuhnya agak demam. Alhasil, saat Kattie selesai membuat bubur dan mendapati Vanilla sudah tertidur. Wanita itu menggelarkan selimut untuk Vanilla, lalu berencana akan memanaskan buburnya nanti setelah Vanilla bangun.
.....
Pada titik lain, di sebuah kamar hotel sosok Morrow terpaku memandang salju turun deras di balik jendela. Sedikitpun pikirannya tidak merasa tenang, sementara itu beberapa waktu lalu Thomas telah memberi tahu jika Vanilla pulang dengan selamat. Alasannya mungkin Morrow tidak bisa melupakan kesedihan yang nyata terpantul jelas di wajah wanita itu. Ada banyak sekali keraguan ketika ia membiarkan Vanilla beranjak pergi dari sisinya. Aneh sekali, padahal sebelumnya dirinya bahkan enggan menatap wanita tersebut jauh dari status jalang. Sangat murahan dan bodoh, membuatnya begitu muak.
"Vanilla Flawrete." Morrow menyeringai lalu meneguk minuman anggur di genggamannya. Seketika Morrow teringat pada setiap jengkal rasa dari Vanilla di bawah tubuhnya. Tak terlalu mengecewakan sebagai pemuas dirinya. Ia tau Vanilla memendam perasaan untuknya sejak lama, hingga ia hanya perlu sedikit paksaan agar wanita itu mau menuruti permainannya.
Dari arah belakang, sebuah tangan memeluk erat tubuh Morrow. "Kau tau, aku hampir putus asa menunggumu cukup lama sendirian di tempat ini." Seru wanita berkimono putih menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai benang di baliknya. Diapun menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada punggung kokoh Morrow, diiringi helaan napas berat.
Ekspresi wajah Morrow berubah dingin. Morrow melepaskan pelukan itu, lalu berbalik arah dan membuat mereka saling berhadapan satu sama lain. Ada secercah amarah dalam kilatan mata Morrow, begitulah dia jika berhadapan dengan para wanita jalang. Ia akan menciumnya secara kasar, menyetubuhinya tanpa membiarkan wanita tersebut mendapatkan pelepasan penuh nikmat melainkan rasa sakit yang amat menyiksa.
Mulailah Morrow mencium bibir itu penuh gairah, ia sibakkan sisa pakaian yang melekat di tubuh wanita tersebut lalu mendorongnya ke ranjang dan merangkak ke atas tubuhnya, meluapkan segala kepenatan dalam dirinya. Wanita tersebut bergerak membalas ciuman, mengeratkan tubuhnya lebih dekat. Sayangnya satu ucapan Vanilla kembali menghantui Morrow "kau mengenalku?" dan kata-kata itu sukses mengacaukan segalanya. Morrow menarik diri, sejenak ia mengerang keras.
"Ada apa denganmu Morrow?" Tanya wanita tersebut sedikit panik, iapun menyentuh lengan Morrow agar pria itu lebih tenang, tetapi Morrow malah menepis kasar sentuhan itu. "Membosankan."
"Apakah aku melakukan kesalahan? Katakan padaku Morrow." Ucapan wanita tersebut diabaikan begitu saja oleh Morrow. Pria itu melangkah pergi beserta emosi yang tidak bisa dipahami.
Morrow memutuskan untuk mengunjungi kediaman orang tuanya. Ia tahu jika ibunya tidak akan bisa tidur setelah mengetahui dirinya akan pulang. Thomas menyiapkan mobil dan mengemudikannya dengan kecepatan sedang hingga sampai pada mansion besar keluarga Ryder. Dan jujur ini masih terlalu pagi untuk memulai keributan di rumah tersebut.
Kepala pelayan benar-benar terkejut mendapati sosok Morrow turun dari mobil. Ia bingung bagaimana harus memberi tahu tuan rumah dengan kedatangan pria tersebut. Dirinyapun juga tidak dapat menolak kunjungannya.
"Selamat pagi tuan Morrow." Seru kepala pelayan terdengar kaku.
Tiba-tiba muncul suara wanita paruh baya dari bagian dalam rumah. "Morrow kau akhirnya pulang. Aku menantimu sangat laman nak." Sendu ibunya Morrow - Mary Magdalena yang kala itu langsung bergerak memeluk anaknya dengan erat dan menghadiahi kecupan kasih sayang pada kedua pipi Morrow.
Kepala pelayan mulai undur diri, memberikan ruang untuk ibu dan anak tersebut.
"Aku merindukanmu mom. Bagaimana keadaanmu?" Morrow berbicara agak kaku. ibunya tak henti membelai pipinya lalu memeluknya kembali. Morrow tahu betapa terpuruknya ibunya itu ketika ia di jebloskan ke dalam penjara dengan kejahatan yang tidak pernah ia lakukan. Pasti sekarang ibunya menganggap bahwa pertemuan diantara mereka adalah mimpi setelah sepuluh tahun lamanya berlalu.
Morrow membalas erat pelukan ibunya. "Aku baik-baik saja. Dan mulai sekarang aku akan sering mengunjungimu. Ibu tak perlu khawatir lagi padaku."
"Kau sudah menjadi pria dewasa." Sendu ibunya.