Sebuah acara perayaan terus berlanjut, meski tadi selama sejenak Henry Ryder mengambil alih panggung untuk melontarkan sambutan kepada para tamu undangan. Kehidupan Henry hampir sama seperti pria muda kaya raya lainnya, menghamburkan uang untuk meluncurkan sebuah pesta tahunan di sebuah club ternama di selatan kota New York. Tapi yang menjadi kejutan pada pesta malam ini yaitu ke datangan Morrow Buckland, kakak kedua Henry.
"Cukup, kau tidak perlu berkata apapun.." Ujar Morrow duduk di kursi bar saat Henry dengan antusiasnya mendekat karena gatal ingin mengoceh tentang kunjungannya ke kota ini. Pasalnya, Morrow pasti memiliki beribu alasan untuk tidak mengikuti acara keluarga besar mereka hanya karena sifat keras kepala yang dimiliki Morrow dan ayah mereka.
Henry menonjok keras bahu Morrow lalu merka saling menyeringai. Kemudian Morrow menerima pelukan akrab dari adiknya, diselingi tepukan keras di punggungnya. "Brother... Seharusnya kau lebih sering menjengukku." Seru Henry terdengar berlebihan di telinga Morrow.
"Tentu saja. Buktinya aku datang ke pestamu." Balas Morrow kemudian melepaskan pelukan dan meneguk sampanye yang telah di sediakan di atas meja.
"Berapa lama kau akan berada di sini? Mungkin aku akan diam-diam menculik mommy lalu mempertemukan kalian." Sebenarnya Henry cukup berlebihan, tapi siapa sangka dia bisa saja bertindak nekat. Henry tau, betapa ibunya merindukan kakaknya, namun ayah mereka terlalu pongah sekedar membiarkan Morrow berkunjung ke rumah.
"Kau tidak perlu melakukan hal dramatis seperti itu. Besok aku akan menemuinya." Morrow tersenyum kecut.
"Benarkah?" Henry mengangguk setuju. Kini kakaknya sudah memiliki kekuatan untuk melakukan itu, tidak seperti dulu yang hidupnya terbengkalai.
Sorot mata Morrow mengkelam, dia hampir saja memecahkan gelas sampanye di genggamannya. Ingatannya kembali pada saat ayahnya mengusirnya dan mencoret namanya dari daftar keluarga karena Morrow tertuduh sebagai pembunuh lalu terpaksa putus sekolah. Semua media menyorot berita itu, apalagi bertepatan pada posisi ayahnya yang sedang ingin memenangkan kampanye menjadi seorang pejabat negeri. 'Pria yang tamak.' Seru alam bawah sadar Morrow mencemooh ayah kandungnya sendiri. Dan kini setelah memiliki banyak kekuatan, Morrow menunjukkan pada dunia bahwa ia bukanlah seorang pembunuh. Menjebloskan berbagai macam tuntutan yang mencemarkan nama baiknya. Walaupun ia terpaksa melewati masa tahanan selama lima tahun di penjara. Lalu membuang nama lamanya.
"Mommy akan senang dengan berita ini." Lanjut Henry menepuk pundak Morrow kemudian lekas pergi untuk menghampiri teman-temannya.
Selang waktu, seorang pria berjas rapih menghampiri Morrow lalu berseru dengan suara kaku. "Mr. Jervis sudah menunggu anda tuan."
Morrow menghabiskan satu gelas lagi sampanye sebelum ia mengikuti pria berjas hitam tersebut yang merupakan asistennya. Salah satu alasan Morrow berada disini karena ia sedang mengincar sebuah koleksian barang antik milik pria bernama Jervis. Morrow berkata, "katakan pada Henry, jika aku akan kembali bergabung dengan pestanya satu jam lagi."
"Baik tuan." Jawab Thomas patuh.
....
Aroma pekat mengusik indra penciumannya hingga nyaris membuatnya mual. Terlebih lagi kepalanya berdenyut nyeri begitu parah. Perlahan Tara membuka kelopak matanya, kinerja otaknya belum sepenuhnya berjalan secara baik ketika memandang sebuah ruangan berdominan gelap terlapisi kayu di setiap dinding. Ada meja kerja asing terletak di tengah ruangan agak ke arah belakang. Hanya ada sebuah jendela kecil yang disampingnya berdiri sebuah lemari berisi kumpulan minuman anggur yang botolnya tampak unik. Jelas sekali ini bukan kamar Tara ataupun ruangan menulisnya.
Secara seksama, Tara bangkit dari posisi tidur lalu duduk. Dia berada di atas sofa besar berlapis coklat.
"Ini dimana..?" Ujarnya meringis bingung.
Sambil berusaha merambat tembok, Tara mulai berjalan untuk mencapai pintu keluar tanpa peduli dirinya bertelanjang kaki menyentuh lantai yang dingin. Bahkan ia hanya mengenakan kemeja tipis sebatas paha dan kaki jenjangnya terbalut legging hitam tipis. Tara menelusuri koridor dengan gontai. Sekelibat hantaman kuat mengingatkan Tara pada kecelakaan mobil yang mengerikan, membuat Tara menjadi gemetaran luar biasa, napasnyapun berubah sesak. Kenapa aku masih hidup?
Sebisa mungkin Tara menelaah satu per satu tentang keadaannya saat ini. Jelas ini sangat aneh. Dan ia semakin bingung ketika muncul seorang wanita berseragam pelayan mendekatinya dengan wajah cemas, "Kau baik-baik saja Vanilla? Wajahmu sungguh pucat dan tadi tiba-tiba kau pingsan saat mengantarkan pesanan ke ruangan 102. Untung saja Steve memperbolehkanmu beristirahat di ruangannya."
Ekspresi Tara berubah datar menanggapi pembicaraan tersebut. Vanilla? Siapa wanita itu. Ini tidak masuk akal. Tara menarik diri dari genggaman erat pelayan wanita di salah satu lengan atasnya. "Sepertinya kau salah orang, nona. Namaku bukan Vanilla. Aku adalah..."
Deg... Jantung Tara mendadak terenyuh sakit. Sampai-sampai air matanya mengalir.
"Seharusnya kau beristirahat kembali Vanilla." Ujar pelayan wanita itu panik.
"Aku ingin pulang saja. Bisa kau tunjukkan pintu keluarnya."
"Baiklah.. aku akan mengantarkanmu pulang tapi sebelumnya aku harus izin terlebih dulu pada Steve. Jadi bisa kau tunggu sebentar di sini." Pelayan wanita itu memberikan tas selempang lusuh kepada Tara dan menyakatan bahwa itu miliknya. Kemudian wanita tersebut tergesah pergi menelusuri lorong lalu berbelok ke arah kanan jalan tanpa mendengar ucapan Tara, "tas ini bukan milikku."
Setelah itu Tara memilih duduk di sebuah sofa terletak tak jauh dari lift. Disana sepi. Kemudian sebuah petunjukpun mulai bermunculan, Tara mendapatkan lembaran koran berita tergeletak di atas meja. Dihalaman utama terpampang setengah penuh gambar tragedi kecelakaan.
5 Januari
Pukul 01.00 pagi 2 Januari bertepatan setelah perayaan tahun baru, terjadi sebuah kecelakaan di sebuah persimpangan Hotel Dupont City hingga nyaris menewaskan seorang penulis best seller ternama Tara Lipinski berusia 25 tahun. Wanita itu dikabarkan tengah menjalani perawatan intensif di Lenox Hill Hospital. Sangat malang sekali, dia seorang diri tanpa wali. Dan para penggemar tulisan roman dari karya Tara Lipskin turut ikut berduka, diposting di beberapa akun sosial media....."
Informasi itu menyentak kuat diri Tara Lipiskin. Air matanya luruh kepermukaan pipinya yang sedikit bengkak. Dirinya dinyatakan nyaris mati oleh seluruh dunia. Padahal...
Terburu Tara berdiri lalu menekan tombol lift. Betapa mengejutkannya ketika pintu lift terbuka kosong dan Tara melesak masuk, dia menemukan pantulan wajahnya di cermin adalah orang yang berbeda. Tampak gambaran seorang wanita berambut coklat panjang dengan sedikit ikal, dan wajahnya terlihat lebih muda dari Tara yang sebenarnya.
"Sebenarnya ada apa denganku?"
Tak berapa lama, dentingan lift berbunyi menandakan dia telah mencapai lantai dasar gedung. Langsung saja Tara mendapatkan suasana menyesakkan oleh hingar bingar klub malam. Pandangan Tara spontan terpejam selama beberapa detik, menyesuaikan sinar lampu menyorot tajam.
Begitu melangkah melewati keramaian, beberapa orang sejenak memandangnya dengan sorot aneh. Dikarenakan kondisi Tara nampak kacau dan menjadi pusat perhatian di tengah acara pesta yang luar biasa, terlebih Tara tidak mengenakan alas kaki.
Tara menganggap keadaan tubuhnya masih belum stabil. Hingga dia sering kehilangan fokus, dan terkadang tiba-tiba berpegangan ke lengan orang lain.
"Apa yang kau lakukan jalang!" Bentar seorang pria yang langsung menyentak tangan Tara.
"Aku minta maaf." Sekuat mungkin Tara menahan lidahnya untuk tidak memaki pria itu.
Dari kejauhan, sosok Morrow menghentikan langkahnya ketika mendapati seorang wanita yang sudah lama tidak ia temui. Well, ternyata wanita itu tidak menepati janjinya untuk pergi jauh dari hadapannya. Jika dia masih berani muncul, konsekuensinya adalah Morrow akan turun tangan menghancurkan kehidupan wanita itu.
"Vanilla..." Wanita berhati lemah. Bahkan Morrow mudah sekali bosan pada wanita bertipe seperti itu. Dan sampai sekarang, wanita itu masih saja sama seperti dulu ketika menjadi pelacurnya. Naif.
"Maafkan saya tuan. Saya tidak menyangka sama sekali jika wanita itu berada di kota ini. Sepertinya dia bekerja disini. Saya akan menegurnya agar dia segera angkat kaki dari tempat ini." Balas Thomas kaku. Padahal Thomas sudah memberikan sejumlah uang besar pada wanita itu, namun sayangnya Vanilla tidak menghargai nyawanya sendiri.
Morrow tersenyum miring, masih terpaku melihat sosok Vanilla sedang gugup melewati ramainya pesta. Dan satu titik senyumannya langsung luntur, saat mendapati seorang pria mabuk menabrak tubuh Vanilla dan membuat gelas digenggamannya jatuh lalu pecah.
"Dasar wanita bodoh!" Bentak pria tersebut menyalahkan Vanilla kemudian tangannya menampar pipi wanita itu sampai tersentak ke badan lantai tepat di atas pecahan beling.
Sontak Morrow berlari mendekat ke posisi Vanilla. Dan diluar dugaan wanita itu tersenyum dengan ekspresi mencemooh lalu bangkit berdiri namun tetap berada dalam keadaan tenang terkendali, "Bukannya kau yang harus meminta maaf padaku?" Tanpa mengeluhkan pecahan beling yang melukai kaki telanjangnya.
"Perhatikan ucapan sialanmu itu, jalang!" Geram pria pemabuk tersebut, yang tubuhnya sudah ditahan oleh beberapa orang pria agar tidak melukai Vanilla lagi. Sayangnya pria pemabuk itu bertubuh besar dan semakin lepas kendali untuk menjambak kasar rambut Vanilla, sontak Vanilla memejamkan mata beringsut mundur menabrak tubuh kokoh pria dibelakangnya.
Morrow lekas mencengkram tangan tersebut, mematahkannya dalam sekali tekukan. Dengan ringan Morrow mendorong pria pemabuk itu menjauh dari sisi Vanilla.
"Kau tak berubah sedikitpun Vanilla. Begitu naif." Ujar Morrow bernada sangat berat di telinga kanan Tara, membuat Tara menoleh ke asal suara dan mata mereka saling bertemu. Sungguh keadaan ini membuat Tara sangat jengah luar biasa. Ya.. sepertinya nama tengah dari wanita bernama Vanilla adalah Jalang.
Tara berusaha mengabaikan ucapan pria asing yang menolongnya, sekaligus memberikannya sebuah hinaan. Lalu ia memilih membuat jarak di antara mereka hingga mereka kini saling berhadapan kemudian Tara berseru mengucapkan, "terima kasih." dengan ekspresi tulus yang dibuat-buat.
Setelah itu Tara benar-benar berniat pergi tanpa mau mengingat setiap perlakuan pria asing tersebut terutama wajah menjijikannya.
Alih-alih membiarkan Vanilla pergi, Morrow malah menahan lengan wanita itu begitu kasar karena merasa secercah kejengahan. Dan menyebabkan wanita itu kembali ke posisi semula, tapi kali ini Morrow berada lebih dekat. Merendahkan tubuhnya agar dirinya bisa sejajar dengan wajah Vanilla serta dapat melihat jelas luka memar di pipi wanita tersebut.
Bukan ekspresi ketakutan, sedih ataupun kerinduan di sorot mata Vanilla, dia tampak berbeda. Yang tertinggal hanyalan raut datar dan bingung seolah belum pernah mengenali diri Morrow.
"Kenapa kau berani kembali ke hadapanku lagi Vanilla?" Suara Morrow terdengar serak terdominasi sensual yang berat dan mengancam. Meski senyuman lembut pria itu tampil dihadapan Tara, membuat banyak orang mengartikannya dengan maksud lain.
"Kau mengenalku?"