"Mama sayang, masih sakit?" Arga terus menggenggam telapak tangan Mama Jihan yang masih dingin. Wajah pucatnya memicu kecemasan Arga.
"Pusing, Sayang," jawab Mama Jihan lirih. Dahinya mengerut menahan segala rasa nyeri dan tak nyaman di tubuh. Lalu pandangan buramnya mengitari suasana kamar yang ia tempati. Dari aroma yang merasuki hidungnya dan selang yang terhubung di tangannya, Mama Jihan menyadari ia sedang berada di rumah sakit.
Mama Jihan kembali teringat jika segala rasa sakit itu menyerang sesaat setelah ia mencuri dengar percakapan antara Arga dan Sakya di kamar. Setelah itu pandangannya memburam dan Mama Jihan tak sadarkan diri.
"Tensi Mama naik lagi. Habis mikirin apa sih, Ma?" Arga membawa tangan Mama Jihan ke pipinya setelah menatap monitor yang menampilkan informasi alat-alat vital pasien.
"Kamu ... nggak jadi ke rumah Marisa?"
"Masalah itu bisa nanti-nanti, Mama sayang. Arga sudah ngabarin ke Ustadz Umar tadi."
"Sayang ..." Tangan Mama Jihan yang lemah mengelus wajah sang putra.
"Kenapa, Ma?"
"Mama ... tadi dengar pembicaraan kamu dengan Saki."
Arga tersentak. Segera menyadari sumber masalah yang membuat sang Mama tiba-tiba stres.
"Mama nggak usah mikirin itu ya."
"Ya nggak bisa, sayang. Masalah jodoh itu penting, lho." Mama Jihan berkata sembari berusaha menahan nyeri di sekitar pinggang dan punggungnya.
"Iya, cintanya Arga. Tapi nggak perlu dibicarakan sekarang. Mama perlu istirahat banyak."
"Sayang, jujur sama Mama. Kamu suka sama Amara?"
"Ma —"
"Sayang —"
"Ma —"
"Mama minta jawaban!" Akhirnya Mama Jihan berkata tegas.
Arga memejamkan mata. Berusaha menelisik perasaannya lebih jauh. Karena Arga sendiri belum punya jawabannya.
"Ada dua wanita saat ini yang selalu memenuhi pikiran Arga," jawabnya pada akhirnya setelah terdiam beberapa menit.
"Kamu mencintai dua wanita?" Mama Jihan terkesiap.
"Ya."
"Siapa, sayang? Kok Mama nggak pernah tau?"
"Mama sudah tau kok."
"Masa sih?" tanya Mama Jihan seraya mengernyitkan dahi. "Siapa?"
"Mama dan Saki."
"Hadeuh, kamu tuh. Bikin Mama penasaran aja." Mama Jihan menepuk pelan punggung tangan Arga.
"Hehe ... makanya nggak usah mikirin yang aneh-aneh, Ma. Istirahat dulu ya, Ma." Kecupan kecil darinya melayang di dahi Mama Jihan. "Arga keluar sebentar mau cari minum."
Mama Jihan pun menurut. Kembali memejamkan matanya bersamaan dengan sang putra membalik badan.
"Mas, Mama Jihan sudah sadar?" tanya Sakya dengan raut wajah khawatir setelah melihat sang kakak keluar dari kamar.
"Alhamdulillah sudah tadi. Ngobrol sebentar, terus tidur lagi."
"Alhamdulillah." Sakya bernapas lega. "Mas, Kak Marisa dan keluarganya mau menjenguk kesini besok."
"Kamu tau dari mana?"
"Kak Marisa yang WA aku. Dia khawatir menanyakan kondisi Mama."
Bibir bawahnya digigit cemas. Bisa dibilang saat ini hanya hal itulah yang sedang tidak diinginkannya. Bertemu dengan Marisa dan orangtuanya. Arga teringat dengan pembicaraannya dengan Sakya beberapa jam yang lalu. Saat ia berkata sekenanya jika Marisa memang bukan jodohnya, pasti pertemuan ini akan gagal.
Dan benar saja, pertemuan keluarga keduanya digagalkan oleh Allah. Arga mulai berpikir apakah ini sebuah pertanda jika Marisa memang bukan jodohnya? Ataukah hanya sebuah kebetulan saja?
================================
Retha melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan menjinjing beberapa goodie bag bertuliskan merek-merek desainer ternama. Namun senyum yang terulas di wajahnya seketika surut saat mendapati kedua anak gadisnya sedang duduk manis di atas sofa dengan tatapan angker tertuju padanya.
"Lho ... lho ... lho ... ada apa ini anak-anak perawan Mama bermuram durja?" Retha melempar sembarang bawaannya ke atas meja.
"Ada yang perlu kita bicarakan." Amara berucap ketus. Dengan mengabaikan rasa hormat pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
"Kok kayaknya serius banget kalian?" Retha duduk di ottoman yang berseberangan dengan kedua putrinya.
"Aku dan Mbak Mara mau Mama jujur." Anggita yang awalnya ragu, mulai berani angkat bicara.
"Jujur soal apa, sih?" Retha masih menanggapi dengan santai.
"Benar Gita anak kandung Ayah?" Raut wajah Retha berubah seketika. Kaku dan tegang. Tidak menyangka jika hari penghakiman ini akan datang padanya secepat ini.
"Ma, jawab!" Anggita pun ikut menuntut.
"Kalian ... tau dari mana?" Seketika pikirannya mengarah ke Hasan. Karena hanya pria itu satu-satunya tempat ia mengungkap kebenaran yang telah tertutup rapat selama 20 tahun. Tapi lagi-lagi ia membatalkan tudingannya. Rasanya tidak mungkin, mengingat beberapa minggu ini intensitas pertemuannya dengan pria itu termasuk sering.
"Kami butuh jawaban. Bukan pertanyaan."
Retha menangkup kedua tangannya di depan wajah dengan siku menopang pada paha. Beberapa kali ia mengusap wajah. Caranya menenangkan diri.
"Mama! Tolong dijawab!" tuntut Anggita lagi.
"Ya, kalian berdua saudara sekandung. Anak Mama dan Ayah."
"Dan Mama tega menyembunyikan kebenaran itu dari kami selama ini? Membuat Gita percaya bahwa sejak kecil Gita hanya seorang anak kecil yang kehilangan ayahnya akibat kecelakaan di jalan tol? Tega Mama!" Anggita berteriak melengking bersamaan dengan tubuhnya yang bangkit berdiri. Suaranya menggema keras di ruangan itu. Namun Amara menggenggam tangannya, mengisyaratkannya untuk kembali duduk.
Sementara Retha sudah tak dapat membendung air matanya yang mengalir dalam diam. Tanpa diketahui oleh kedua putrinya, jika dadanya sesak selama ini akibat memendam sesal dan rasa bersalah yang bertubi-tubi.
"Apa alasannya menyembunyikan fakta itu dari kami selama ini?" Amara bertanya tegas.
Retha merunduk. Membenamkan wajah ke dalam tangkupan kedua tangannya. Berusaha mencegah air matanya mengalir makin deras, namun tak mampu. Rasa bahagia yang tadi melingkupinya setelah puas shopping, lenyap sudah.
"Ini semua karena Kakek?" Tiba-tiba Amara sudah bertekuk lutut di hadapannya. Membuat Retha perlahan mengangkat wajahnya. Pertama kalinya sang putri sulung menatapnya sayu.
"Maafin, Mama. Mama ... terpaksa. Mama sangat mencintai Ayah kalian. Mama nggak mau Kakek membahayakan nyawanya" Tangisnya mulai mengisak. "Saat Ayah kalian meninggal, rasanya Mama ... ingin ikut menyusul saja. Mama ... banyak sekali kata maaf yang ..."
Entah mendapat dorongan dari mana, dalam sekejap Amara menarik masuk tubuh sang Mama masuk ke dalam dekapannya. Wanita yang selama ini dibencinya. Wanita yang selama ini didendamnya. Wanita yang selama ini dimusuhinya. Ternyata hanya seorang wanita biasa yang menyembunyikan segala rasa sakitnya sendirian. Hanya seorang wanita yang berusaha tertawa dalam kesepian. Hanya seorang wanita yang berpura-pura tangguh dalam lemahnya
"Kenapa Mama nggak ikut mati aja kalo gitu?" imbuh Anggita tertawa sinis.
"Gita!" bentak Amara karena merasa sang adik sudah keterlaluan.
"Maafin, Mama. Maaf ..."
"Enggak! Aku nggak bisa maafin Mama gitu aja! Gara-gara Mama aku nggak punya Ayah. Gara-gara Mama, Ayah jadi benci sama aku." Emosi Anggita meledak. "Apa Mama tau seberapa banyak ejekan yang harus aku terima dari teman-teman sekolah? Mereka bilang aku —"
"Gita!! Cukup!" Amara balas meneriakinya. Sementara sang Mama masih sibuk membenamkan wajah sembabnya dalam pelukan.
"Lo nggak ngerasain rasanya jadi gue, Mbak! Lo nggak tau berapa lama gue berusaha bertahan sendirian! Tapi selalu lo yang merasa paling tersakiti. Mama juga, hanya perhatian sama lo. Selalu lo yang dibangga-banggakan. Gue? Cuma remahan emping!"
"Gita!"
Tanpa disangka Retha melepaskan tubuhnya dari Amara lalu menghambur mendekap erat putri keduanya yang tengah meracau tak jelas.
"Maafkan Mama, sayang. Mama tidak menyangka kamu akan —"
"Lepaaass!" Anggita mendorong Retha sekuat tenaga hingga ia terjungkal di atas karpet.
"Gita!" Amara spontan membantu sang Mama untuk kembali berdiri.
"Bener kan lo munafik. Setelah lo tau yang sebenarnya, setelah lo tau kalo mereka semua sayang sama lo, lo bersikap baik ke Mama. Congrats! Selamat menjilat ludah sendiri." Anggita membalik badan dengan segenap amarah di dada. Ia menggeret dua koper yang telah disiapkan di ujung ruangan.
"Gita! Mau kemana kamu?" tanya Retha masih dengan tangis berderai.
"Minggatlah! Ngapain juga tinggal di neraka. Oya, perlu Mama tau juga kalo selama ini anak kesayangan Mama itu sedang berusaha bikin perusahaan bangkrut dengan memalsukan laporan keuangan. Good luck, Mama sayang."
Dan Anggita beserta kedua kopernya pun melenggang cepat keluar rumah. Meninggalkan kepedihan yang hanya mampu dirasa oleh seorang ibu. Dan sekali lagi Retha dihujam rasa bersalah.
Tangisnya kembali merebak. Membasahi wajahnya yang sudah sembab. Amara yang tak tega kembali merengkuh sang mama masuk ke dalam pelukannya.
"Ma, maafin aku. Selama ini sudah salah paham. Maafin aku." Air mata di pelupuk matanya turut jatuh mengiringi tangisan Retha.
"Bukan salah kamu, sayang. Mama yang bersalah sama kamu dan Gita. Nggak seharusnya Mama terus menyembunyikan cerita ini dari kalian."
"Mama ..."
Keduanya menghabiskan waktu dalam tangisan hingga dua pasang mata itu lelah dan terpejam dengan sendirinya.
Tanpa terasa oleh sepasang ibu-anak yang masih terlelap dalam mimpi itu, sang fajar telah muncul menggantikan kegelapan. Membuka lembaran hari yang baru.
"Nyonya? Mbak Amara?" Amara dan Retha merasakan tidurnya terusik oleh sebuah guncangan kecil di bahu mereka.
"Sudah pagi."
Perlahan Retha dan Amara yang masih dalam posisi duduk saling merangkul, membuka mata mereka yang terasa berat.
"Bu Susi?" sapa Amara setelah beberapa kali mengerjapkan matanya.
"Iya, Mbak."
Retha yang masih memicing guna menghindari silaunya sinar matahari yang masuk lewat kisi-kisi jendela, tersenyum lebar saat menyadari ia baru saja melewati malam dengan tidur dalam pelukan sang putri sulung.
"Mama?" Amara menatap aneh pada sang Mama masih yang tersenyum.
"Terima kasih ya, sayang. Sudah mau memanggil 'Mama'." Sebutir air jatuh melewati pipinya. Tapi kali ini Amara tahu, yang jatuh adalah air mata bahagia.
"Mbak, maaf itu HP-nya dari tadi bergetar." Ibu Susi memecah suasana haru itu dengan menunjuk pada HP-ku yang tergeletak di atas meja.
Amara segera meraih benda berukuran 5,5 inchi itu. Lalu melihat 8 notifikasi panggilan tak terjawab. Dibukanya gambar amplop yang tertera di layar. Pesan dari Sakya.
Mbak, Mama Jihan sedang dirawat. Dan hari ini harus cuci darah.
Amara panik seketika lalu segera berlari menuju lift yang akan menghantarkannya ke depan pintu kamar.
"Amara, ada apa?" Amara lupa dengan Retha yang saat ini mengikutinya dari belakang.
"Em ... anu Ma, itu ... emmm ..."
"Anu apa? Ada masalah?"
"Emmm ... Mama Jihan dirawat."
Otomatis Retha mengernyit dahijya bingung. Ia tak pernah mengenal nama itu. "Mama Jihan? Siapa?"
Amara melangkah masuk ke dalam lift. "Mama angkatnya Arga. Nanti aku ceritakan." Suaranya berlalu seiring pintu lift yang menutup.
===============================
Amara berjalan tergesa-gesa memasuki lorong rumah sakit yabg tadi diinfokan oleh Sakya di telepon. Retha pun berjalan cepat mengiringi di sampingnya. Setelah memaksakan diri untuk ikut mendampingi Amara dan mengunci rasa penasarannya. Karena Amara hanya memperbolehkannya untuk ikut dengan syarat 'No questions asked'. Artinya Amara tidak mengijinkannya untuk bertanya apapun.
"Mbak ..." Sakya yang duduk di ruang tunggu depan kamar rawat inap segera mendekatinya.
"Gimana kondisi Mama Jihan?" tanyanya khawatir.
"Emmm ..." Sakya bingung menjelaskannya. Lalu sorot matanya beralih pada sosok wanita yang berdiri di belakang Amara.
"Ini Mama saya." Amara sadar diri memperkenalkan.
"Ooh, ibunya Mbak Amara. Saya Sakya, adiknya Mas Arga." Sakya meraih tangan kanan wanita itu lalu menciumnya takzim.
Membuat Retha terenyuh. Sudah lama ia tidak diperlakukan seperti itu. Kedua putrinya tidak ada satupun yang pernah mencium tangannya sejak beranjak dewasa.
"Saya Retha."
"Jadi gimana Mama Jihan?" tanya Amara tak sabar. Rasanya ingin segera melihat kondisi wanita itu.
"Emmm ... Mbak masuknya nanti dulu, ya. Masih ada tamu di dalam," jelas Sakya ragu-ragu.
"Ooh. Saudara?"
Sakya menggigit bibir bawahnya. Bingung menjawab seketika.
"Ya sudah, kita tunggu dulu di sini." Retha merangkul pundak putrinya untuk menenangkan.
Amara yang tak bisa apa-apa pun menuruti omongan Mamanya. Ia duduk di kursi panjang itu. Disusul oleh Retha dan Sakya. Sebenarnya Retha gatal sekali ingin bertanya ini itu. Karena ia sama sekali tidak tahu siapa sosok Mama Jihan ini. Namun melihat kondisi sang putri, ia berusaha menahan mulutnya yang sudah gatal.
"Kapan Mama Jihan mau cuci darah?" tanya Amara memecah keheningan yang telah terbangun selama beberapa menit.
"Insyaa Allah nanti siang. Alhamdulillah kondisinya mulai stabil juga."
Amara manggut-manggut mendengar jawaban itu. Lalu tangannya menggenggam kedua tangan sakit yang sibuk saling meremas di atas pangkuan. "Sebenarnya Mama Jihan sakit apa?"
"Diabetes, Mbak. Sudah tiga tahun ini. Komplikasi ke mana-mana, termasuk penglihatan dan ginjalnya."
Berita itu sontak membuat Amara mengerti kondisinya. Ia ingat pernah membaca buku kedokteran yang isinya tentang penyakit gula itu.
"Mas Arga rela meninggalkan rumah Om Hardi untuk merawat Mama Jihan sendirian. Sebagian besar uangnya digunakan untuk biaya pengobatan Mama Jihan."
"Berarti Mama Jihan ini ... ibunya Dek Sakya?" Ini Retha yang bertanya. Ternyata rasa penasarannya sudah tak mampu dibendung.
"Bu — bukan, Tante. Sebenarnya ..." Sakya melirik ragu pada Amara. Amara yang mengerti langsung menoleh pada sang mama yang duduk di samping kanannya.
"Ma, aku janji nanti akan jelaskan semuanya. Mama tolong sabar, ya."
Retha pun mengangguk menuruti permintaan Amara.
Beberapa detik kemudian pintu kamar itu terbuka, lalu keluarlah Arga bersama dengan tiga orang lainnya. Sepasang orangtua, dan seorang wanita muda cantik natural berpakaian gamis syar'i dengan hijab panjang berwarna mocca.
"Terima kasih banyak atas kunjungan Ustadz, Ustadzah, dan Marisa. Jazakumullah khoir," ucap Arga dengan penuh rasa hormat pada ketiganya.
"Mas Aga yang sabar, ya," ucap wanita bernama Marisa itu dengan tutur kata lembut.
Kini Amara mengetahui sosok bernama Marisa yang disebut-sebut sebagai cinta pertama pria itu. Pantas jika seorang Arga jatuh cinta pada wanita anggun, lembut, keibuan sepertinya. Lihat saja sosoknya yang bak bidadari surga. Membuat wanita-wanita lain di sekelilingnya merasa iri, termasuk Amara yang kini tengah menunduk lesu.
Retha seakan mengerti yang menjadi penyebab kekhawatiran anaknya. Ia pun mengusap punggung Amara untuk memberinya ketenangan.
"Nanti kalau ada apa-apa jangan sungkan kabari kami. Apalagi Marisa," ujar seorang wanita yang lebih tua. Tebakan Amara, mungkin ia ibunda dari Marisa.
"Insyaa Allah, Ustadzah."
"Kalau begitu kami permisi dulu," ucap sang Ustadz yang diyakininya sebagai ayah dari Marisa.
Sakya turut berdiri mengantar kepulangan ketiganya. Amara hanya melempar senyum sekilas pada ketiganya kemudian kembali menunduk. Selesai berpamitan, Arga mendekati Amara yang hanya menunduk dalam diam. Ia tersenyum sopan pada Retha dengan kedua tangan menangkup di depan dada. Retha membalas dengan sebuah anggukan dan senyuman.
"Kamu datang?" tanya Arga setelah menghenyakkan diri di samping kiri Amara. Menggantikan posisi Sakya yang kini berpindah duduk di sebelah kanan Retha.
"Aku cuma mau lihat Mama Jihan. Boleh aku masuk?" tanyanya dengan wajah hanya menatap lantai di bawah.
"Mama baru saja tidur."
Amara mengangguk dalam diam. Berusaha menahan air mata yang tak sopan ingin segera keluar.
"Kalau begitu, kami pamit pulang dulu saja. Nanti atau besok mungkin akan mampir lagi untuk membesuk. Ayo, Sayang." Retha sudah berdiri. Paham dengan situasi yang ada.
"Maaf, Tante. Tolong ijinkan saya untuk bicara sebentar dengan Amara," ujar Arga sopan sembari melirik pada wanita di sampingnya.
Retha melirik pada sang putri yang masih menyembunyikan wajahnya. "Baiklah. Mama tunggu di lobi, ya Sayang." Ia mengusap kepala sang putri sejenak lalu mengecup pucuknya. Berharap putrinya dapat. bersabar.
"Amara ..." panggil Arga pelan setelah melihat kepergian Retha yang didampingi oleh Sakya.
"Selamat ya buat kamu. Semoga nanti acaranya lancar." Amara berucap tiba-tiba dengan senyum dipaksakan menggantikan air matanya yang sedang dibendung.
"Selamat?"
"Iya, kan bentar lagi kamu mau nikah. Tadi calon kamu yang datang dengan orangtuanya, kan?" Sebutir air mata lolos dari sudut matanya tanpa sengaja.
"Maksud kamu Marisa?"
Amara mengangkat kedua bahunya dengan membuang muka. Berusaha menyembunyikan tetesan-tetesan lain yang turut lolos dari matanya.
"Ooh, jadi kamu belum tahu. Aku pikir Saki sudah cerita."
"Cerita apa?" Lehernya memutar menghadap Arga. Membuat Arga dapat melihat dengan jelas pipinya yang mulai basah.
"Kamu nangis?"
"Hah? Eng — enggak. Ini ... lensa kontakku." Amara pura-pura menggeser benda pipih di dalam bola matanya. Arga hanya tersenyum miring. Wanita itu bukan seorang pembohong ulung.
"Ehm, terima kasih sudah datang. Tadi itu ... Mama kamu, kan?" Arga mengalihkan pembicaraan.
"Iya." Amara menjawab lirih.
"Sama cantiknya dengan putrinya."
"Eh?" Amara membelalak tak percaya dengan yang didengarnya barusan.
Sementara Arga melebarkan senyumannya. "Maaf Mama sedang istirahat. Tapi nanti akan aku sampaikan kalo kamu sudah datang menjenguk."
Amara kembali menundukkan kepala. Jemarinya sibuk memuntir-muntir tali tas di pangkuannya. "Sebenarnya ... bukan itu saja tujuan aku kemari."
Arga yang sudah menyandarkan punggung ke sandaran bangku, menatap langit-langit rumah sakit. "Terus?"
"Aku mau ... aku akan mengundurkan diri dari perusahaan Mama."
Informasi itu membuat Arga menegakkan badannya.
"Aku sudah bicara dengan Mama. Tenang saja, kontrak kerja kamu dengan perusahaan masih berlanjut." Amara kembali mengingat percakapannya dengan sang Mama di perjalanan tadi. Ia sudah mengajukan pengunduran diri pada Retha secara lisan. Meskipun awalnya Retha menolak, namun setelah mendengar alasannya, dengan berat hati Retha terpaksa menerima.
"Mungkin sepupuku Adin yang akan menggantikan aku. Dia pria, kok. Jadi kamu akan lebih nyaman bekerja dengannya. Dia juga pria baik-baik. Tidak mengkonsumsi alkohol seperti aku." Amara mendesah berat. Kembali diingatkan jika ia hanyalah seorang pendosa kelas berat. Jika calon istri Arga seorang calon penghuni surga, Amara adalah calon penghuni neraka. Meski dalam hati, ia masih berharap Tuhan berkenan mengampuninya.
"Kenapa?"
"Bukan urusan kamu." Amara menjawab tegas.
Arga tersenyum sinis. "Egois ya kamu. Urusan kamu, bukan urusan aku. Tapi semua urusan aku, kamu paksa menjadi urusan kamu."
"Maksud kamu apa?" Amara tidak terima.
"Bukan apa-apa," respon Arga kesal.
Hembusan napas lelah keluar dari hidungnya. Lagi-lagi seperti ini. Setiap percakapan di antara mereka dimulai, meskipun baik-baik, selalu saja diakhiri dengan keributan.
"Jadi, selamat bekerja dengan Adin. Semoga kalian bisa bekerja smaa dengan baik." Amara sudah mengangkat tubuhnya berdiri.
"Lalu kamu? Cuma ngajar?" Arga ikut berdiri dengan kedua tangan tersimpan di sisi-sisi saku celana.
Pertanyaannya dijawab Amara dengan gelengan kepala. "Mungkin aku juga akan resign dari universitas."
"Pindah kerja?"
Sekali lagi kepalanya digelengkan. Sejujurnya, ia sudah punya rencana lain di kepalanya. Hanya saja Amara merasa percuma menceritakan rencana-rencana masa depannya pada pria itu. Toh pada akhirnya, mereka bukan siapa-siapa dan tidak punya hubungan apa-apa. Lebih cepat ia menyingkirkan Arga dari kehidupannya, akan lebih baik.
"Oh ya, kamu juga tidak perlu repot-repot mengirimkan undangan pernikahan untukku. Sepertinya aku tidak akan bisa hadir. Tapi ... aku mendo'akan yang terbaik buat kamu dan calon istri. Sepertinya dia wanita yang sangat baik." Amara berusaha terlihat tegar.
Sesuatu di dada Arga terasa menghimpit. Rasanya mendengar kalimat Amara sebagai ucapan perpisahan.
"Amara ..." Sesaat lidahnya kelu saat hendak mengeluarkan kata-kata di kepalanya yang seakan tak rela.
"Tolong sampaikan salamku untuk Mama Jihan. Semoga cepat sembuh. Assalamu'alaikum." Amara berjalan cepat meninggalkan pria itu dengan segenap rasa sakit yang menyengat di dada.
Selamat tinggal, Arga Pramudya. Kamu ... yang sudah mengukir kaligrafi di hatiku. Ternyata ... bukanlah untukku.
--------‐-----------------------------------------------