Here comes a feeling tou thought you'd forgotten
**********************************************
"Kamu dengar, kan? Saya batal menyewa jasa kamu."
"Lho? Tidak bisa begitu, dong!" Arga berdiri saking tidak terimanya dengan keputusan sepihak dari Amara.
"Kenapa tidak bisa? Toh, belum ada perjanjian tertulis antara kita."
"Apa alasannya?"
"Alasan?"
"Alasan kamu membatalkan kerjasama ini."
"Karena saya tidak bisa bekerja sama dengan kamu, Pak Arga yang terhormat!"
"Alasannya?"
"Ya karena saya tidak mau."
"Alasannya! Saya butuh alasan!" Arga menggeram kesal.
"Karena saya tidak bisa bekerja sama dengan pria hidung belang macam anda!!!"
Arga yang sudah terpancing kesal bergeming. Mencoba menelaah, namun nalarnya tetap tak paham dengan tudingan Amara.
Sementara Amara berkali-kali menarik dan menghembuskan napas perlahan. Berusaha kembali memegang kendali diri yang tadi lepas sesaat.
"Intinya ... saya tidak bi—"
"Apa maksud kamu mengatai saya pria hidung belang?"
"Ya pria maca —"
"Dan kalaupun memang saya seperti yang Mbak tuduhkan, apa hubungannya dengan kerjasama kita?"
Dua kali kalimatnya dipotong oleh Arga, dan Amara masih belum mampu mengendalikan diri. Lahar dalam dadanya akan segera meletus dalam hitungan detik.
"Kamu tidak bisa menjawab?!" tantang Arga sekali lagi.
Plaaakkk! Sebuah tamparan keras meluncur di pipi kirinya.
"Munafik!!! Kamu dan Sakya sama-sama manusia munafik!!! Kamu laki-laki tidak tahu diri!"
Arga mengelus pipinya yang terasa nyeri. Dan kini nyeri itu menjalar ke hatinya. Untuk apa wanita bengis ini membawa-bawa nama Sakya di sini?
"Saya tidak mengerti maksud Mbak."
"Stop calling me that!!! Saya bukan kakak anda!" Amara nyaris berteriak. Dadanya sudah naik turun mengikuti laju jantungnya yang kian intens.
"Kalau begitu Ibu Dania yang terhormat, tolong jelaskan pada saya apa kesalahan yang sudah saya dan Saki perbuat." Suaranya melunak. Arga berusaha menahan diri. Sekelebat pesan dari murobbinya muncul di kepala. Api tidak akan mampu menang melawan api.
Amara nyaris menjambak rambutnya sendiri frustasi. Berhadapan dengan pria ini benar-benar menguras seluruh emosinya. Ia baru saja melarang panggilan 'Mbak' dan sekarang pria ini berulah memanggilnya 'Ibu'?
"Amara. Kamu ... cukup panggil saya Amara. Dan kamu masih belum menyadari kesalahan kamu dengan Saki??" Amara menatapnya nanar. "Kalian berselingkuh!!! Jelas-jelas kamu sudah punya istri dan seorang anak. Dan kondisi istri kamu itu ..." Memprihatinkan! Sambungnya dalam hati. Tak tega menyebut kalimat itu dalam lisan.
"Intinya, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kemarin di kantin. Setelah kamu selesai mesra-mesraan dengan Sakya, kamu malah bertemu dengan istri dan anak kamu. Saya juga lihat istri kamu sempat menangis. Kasihan sekali dia, suami yang dicintai ternyata mempermainkannya di belakang." Amara mengibaskan rambut panjangnya bersamaan dengan egonya.
Arga melongo setelah mendengar penjelasan Amara yang berapi-api. Benar sekali dugaannya. Sayang sekali sederet titel yang disandang oleh wanita itu sia-sia. Tetap saja ia adalah wanita paling bodoh yang pernah Arga temui.
"Dan satu hal lagi!" Amara masih melanjutkan. "Sejujurnya, tawaran pekerjaan ini hanya modus saya untuk mendekati Arsan. Saya pikir, dengan memberinya pekerjaan akan mendekatkan hubungan kami berdua. Kenyataannya? Sekarang saya justru harus berurusan dengan playboy cap jangkrik macam anda!"
"Hahahahahaha." Arga terbahak-bahak seketika. Akhirnya otaknya mampu menyatukan kepingan yang tadi berceceran. Salah paham ini sungguh menggelikan. Dan tawa renyahnya itu justru membingungkan Amara yang masih ditelan gelombang emosi.
"Apa yang lucu?"
"Kamu! Kamu benar-benar lucu. Hahahahahaha." Perutnya masih terasa geli.
"Sudah munafik, gila pula! Ck!" Amara berdecak untuk menutupi rona wajahnya. Sialnya hatinya tidak mau diajak bekerja sama. Tawa pria itu mampu meredam emosinya yang tadi memuncak. Demi apa tawanya itu justru sedap dipandang mata!
"Ya Allah ... ada ya wanita bodoh macam kamu." Arga berusaha mengerem tawanya.
"Bodoh?"
"Untuk wanita yang punya gelar sepanjang gerbong kereta, rasanya nggak pantas kalau relnya sependek sumbu kompor."
"Maksud kamu?"
"Kamu mau saya panggil Amara, kan? Oke, Amara. Jadi intinya, kamu ini suka sama Razi? Kamu lagi usaha pedekate sama teman saya itu?"
Meskipun malu mengakui, Amara tetap menganggukkan kepalanya.
"Ehm, saya punya beberapa informasi untuk kamu yang sudah seenaknya menuduh dan menghakimi orang lain sesuai bola liar yang ada di kepala kamu."
Amara membelalakkan mata.
"Informasi pertama. Wanita beranak satu yang kamu lihat kemarin di kantin, namanya Alma. Dia bukan istri saya."
Kini kedua matanya melebar dua kali lipat. Lagi-lagi otaknya membuat kesimpulan sendiri.
"Jadi kamu selingkuh sama istri orang??"
"Astaghfirullah! Saya belum selesai bicara. Main potong saja! Mending kalau benar. Sudah motong, salah pula." Lagi-lagi Arga tergelak tawa. Wanita ini benar-benar doyan berprasangka buruk.
"Maksud kamu?"
"Saya sebenarnya tidak punya hak untuk menceritakan ini, tapi demi kemaslahatan lebih baik saya beritahu kamu. Supaya salah paham kamu tidak menjurus lebih jauh."
Amara diam saja, memberikan kesempatan pada Arga untuk melanjutkan ceritanya. Amara menyilangkan kedua tangan di depan. Matanya tetap menyalang pada pria yang tengah berdiri di tengah ruangan itu.
"Alma adalah mantan istri Razi. Lebih tepatnya, mantan istri kedua."
"Hah?! Kamu bohong!" Tangan kanannya refleks menutupi mulutnya yang terlanjur menganga.
Tanpa mempedulikan komentar Amara, ia melanjutkan, "Kemarin di kantin saya hanya menyerahkan kunci rumah titipan dari Razi. Dan Alma menangis, ada hubungannya dengan informasi kedua. Kemarin tepatnya, Razi kembali menikah dengan mantan istri pertamanya di Kyoto."
"Ini semua tidak benar! Ini fitnah! Kamu pria munafik, hidung belang dan penipu!"
"Kamu boleh terus menyangkal, saya tidak melarang. Kamu menyangkal atau nggak, tidak mempengaruhi fakta yang ada."
"Kalau Arsan mau menikah, kenapa Galang berusaha mempertemukan kami berdua?"
Arga mengangkat kedua bahunya. Ia tidak tahu-menahu jika urusannya menyangkut Galang.
Terlanjur malu karena salah menduga, Amara mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Informasi ketiga ... saya dan Saki memang memiliki hubungan dekat. Tapi tidak seperti apa yang kamu tuduhkan. Dan saya tidak punya kewajiban menjelaskan perihal hubungan saya dengan siapapun atau wanita manapun. Karena kamu bukan siapa-siapa. Kamu harus tahu batasan. Mana yang menjadi urusan kamu, mana yang bukan. Dan dalam hal ini, siapapun saya bukan menjadi urusan kamu."
Jleb! Kalimat panjang Arga meruntuhkan segala pertahanan dirinya. Serasa diingatkan, jika ia memanglah bukan siapa-siapa bagi Amara. Lalu kenapa hati dan pikirannya mau saja direpotkan dengan tindak-tanduk pria itu? Untuk apa juga? Selama ini pun ia tidak tahu-menahu dan tidak pernah mau tahu bagaimana kehidupan pribadi para klien, investor, konsultan, bahkan karyawannya.
Mungkin karena ia terlalu sebal dengan pria-pria hidung belang yang selama ini disodorkan oleh sang mama, dan trauma dari masa lalu yang membekas. Ya, pasti karena itu.
Ditambah lagi dengan cerita tentang Razi tadi, seorang pria yang sejak dulu Amara anggap berbeda. Tapi nyatanya spesies yang sama tetap akan kembali ke habitatnya. Crocodile will always be crocodile!
"Jika kamu membatalkan kerjasama yang bahkan belum terlaksana ini secara sepihak hanya karena pikiran kotor kamu terhadap saya, maka kamu adalah direktur yang paling tidak profesional yang pernah saya kenal."
Amara mendesah kasar. Tatapannya kembali tersorot pada Arga yang sudah tenang. Bahkan terlalu tenang untuk ukuran pria yang sudah mendapat perlakuan kasar.
"Kamu benar. Saya tidak bersikap profesional. Membiarkan penilaian pribadi saya mempengaruhi pekerjaan."
Kini giliran Arga yang melipat tangan di depan dada. Ia tidak bersikap angkuh, tapi wibawanya sungguh terlihat. Bahkan otot-otot di lengannya terlihat menonjolkan maskulinitasnya. Membuat Amara berusaha menelan ludah berkali-kali.
"Baiklah. Kalau begitu, saya tarik perkataan saya tadi. Ehm, kamu bisa ikut ambil bagian dalam proyek ini. Oh ya, saya butuh alamat email kamu." Amara menyodorkan secarik kertas kosong beserta pulpen.
"Tidak perlu repot-repot. Besok saya akan kembali lagi kesini untuk membahas kontrak kerja lebih lanjut." Tanpa permisi, Arga membalik badan berjalan menuju pintu, meninggalkan Amara yang kembali dongkol.
Di depan pintu, langkahnya terhenti lalu balik menoleh. "Dan saya tunggu permintaan maaf atas perlakuan lancang kamu hari ini."
Amara berdecak kasar bertepatan dengan masuknya Anggita ke dalam ruangannya, menyelisihi Arga yang berjalan keluar. Dan kedua bola mata adiknya itu kian memantau kepergian pria itu hingga ia tak sadar menabrak Amara yang sudah berdiri dengan mata membulat di hadapannya.
"Aduh!" Anggita buru-buru menyeimbangkan kakinya yang mendadak limbung.
"Jalan lihatnya pake mata, bukan pake kaki!" sindir Amara ketus.
"Iiih, matanya lagi sibuk, Mbak!" jawab Amara tersenyum miring.
"Kalo matanya sibuk, kakinya jangan sibuk. Diem aja di tempat!"
"Bawel!" gerutu Anggita dengan bibir manyun.
"Ada apa?"
"Pulang bareng, yuk! Gue lagi males nyetir ... hihihi ..."
"Lo tuh ya ... suka seenak jidatnya aja! Terus innova yang gue bawa mau dikemanain?"
"Ya nginep disinilah!"
"Terus besok gue berangkat naik apa?"
"Besok berangkat bareng." Anggita mengerjap mata berkali-kali untuk merayu sang kakak.
"Lo beneran mau ngantor besok?" Tatapan Amara membelalak tak percaya.
Pasalnya, meskipun adiknya ini menjabat sebagai Direktur Pemasaran, Anggita hanya hadir di kantor sesukanya saja. Meskipun memiliki tingkat kecerdasan di bawah Amara, ia mampu menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu singkat. Anggita termasuk jenius jika menyangkut problem solving. Beda halnya dengan Amara yang terlalu banyak berpikir, segala sesuatunya harus diperhitungkan.
"Iya kayaknya. Penjualan di Grand Onyx menurun drastis. Gue terpaksa ikut turun tangan. Bawahan gue pada nggak becus!"
"Di mana-mana yang namanya bos ya harus ikut turun tangan. Kalo lo mau ngongkang-ngongkang kaki, jadi ibu rumah tangga aja. Kelar!"
"Gue juga pinginnya begitu. Menikmati hasil keringat suami dan juga keringatnya. If you know what i mean ... hehehe."
"Sesuka lo ajalah." Amara berujar cuek. Paling malas menanggapi otak mesum Anggita setiap saat. Lagi-lagi, bedakan antara yang masih perawan dengan yang sering ditawan.
Amara segera membereskan barang-barang yang diperlukannya untuk dibawa pulang.
"Eh Mbak, cowok tadi itu siapa?" tanya Anggita dengan penuh binaran di mata.
"Bukan siapa-siapa."
"Mbaaak, serius nanya! Namanya siapa?" Kedua alis Anggita naik-turun.
"Nggak ada urusannya sama lo!"
"Kok sewot, sih? Gue kan cuma nanya nama. Jangan-jangan ...." Sudut-sudut matanya menyipit curiga lalu tembaknya, "Mbak Mara suka ya sama dia?"
"Iiih, ogah banget gue sama cowok kegatelan kayak dia! Pegang-pegang, cium-cium cewek di depan umum, iiih!" Amara bergidik geli. Padahal tidak sepenuhnya ia ingin melakukan itu. Apalagi setelah mendengar penjelasan Arga tadi. Namun tetap saja urusan pria itu dengan Sakya mengusiknya.
"Dia beneran nyium cewek di depan umum?? Nyium ini?" Anggita menunjuk ke arah bibirnya.
"Ehm, bukan. Di sini." Amara menunjuk dahinya.
Raut kecewa langsung terbit di wajah Anggita. Ia kira benar seperti dugaannya. Kakaknya ini benar-benar polos.
"Ya'elah, Mbak. Kalo di situ mah biasa aja keules, heboh bener! Emang waktu di Jepang lo nggak biasa ngeliat orang-orangnya main nyosor sana-sini di jalanan? Sikap lo berlebihan! Mau sampai kapan tuh keperawanan dijaga? Sampai masuk museum?"
Adiknya ini memang terlalu ceplas-ceplos kalau bicara. Untungnya hati Amara sudah kebal dengan hinaan, sindiran, bahkan hujatan. Sudah menjadi makanannya sehari-hari sejak kecil.
"Sampai gue mati juga nggak apa-apa. Gue ikhlas lahir batin."
"Hush! Istighfar lo! Tuh lambe jangan asal bicara. Dikabul tau rasa lo. Tuhan tuh melek setiap saat," ceramah Anggita yang justru membuat Amara terkekeh sinis.
"Sejak kapan lo ingat Tuhan itu ada? Kalo lo tau Tuhan melek setiap saat, ngapain juga lo masih nyetak dosa sana-sini?"
"Nyetak, nyetak! Emangnya agar-agar, dicetak. Kakak gue yang paling manis tapi jutek sejagad raya ngalahin cruella de vil, adek lo yang cantiknya ngalahin putri salju ini juga sebenernya nggak mau bikin dosa. Tapi apa daya? Kedutan di bawah sini ini tak tertahankan kalo liat yang bening-bening model cowok tadi. Gue butuh pelampiasan, Mbakyu." Anggita menyorot ke arah pangkal pahanya yang terbalut rok mini.
"Makanya nikah! Jangan 'jajan' mulu!"
"Ah, lo aja nggak mau, pake nyuruh-nyuruh gue. Yuk ah, cabcus!" Anggita yang sejak tadi sudah tak sabar menunggu kesiapan kakaknya, mendekat ke arah pintu. Amara pun mempercepat langkah menyusul Anggita.
"Mbak ... hehehe ... mampir ke pool dulu, ya."
========================
Dan disinilah Amara kini duduk, di depan meja bar yang menghidangkannya segelas coke, sembari menunggu Anggita tuntas bergerilya dengan bola-bola di atas meja bilyar.
"Nggak minum, Teh?" tanya sang bartender yang berlogat sunda kental.
"Saya sudah lama bersih," jawabnya singkat sambil menerawang ke arah Anggita yang sedang bergelayut manja pada seorang pria yang baru dikenalnya sejam yang lalu. Dan kedua tangan sang pria dengan bebasnya menggerayangi tubuh sintal sang adik.
Segera Amara menghentakkan dua lembar uang kertas berwarna merah di atas meja lalu beranjak dari stool yang diduduki. Dengan sigap meraih sang adik keluar dari dekapan pria yang sepertinya warga negara asing itu.
"Let her go!"
"Hey, what are you doing?!" tanya sang pria merasa gusar karena kesenangannya terganggu.
"It's okay! She's my sister." Anggita yang tengah mabuk menanggapi dengan kekehan ringan.
"Git, kita pulang!" Tiba-tiba tangannya sudah tertarik mengikuti sang kakak yang tengah menggeret menuju pintu keluar.
Anggita tidak menolak. Ia hanya tertawa cekikikan mendapati sikap Amara yang super protektif.
"Mbak, gue udah besar, lho. Nggak perlu digeret-geret macem koper LV kesayangan lo itu," tegur Anggita sesampainya di pelataran parkir.
"Iya, lo bocah besar. Badan besar, isi kepala bocah. Tuh cowok udah kurang ajar grepek-grepek badan lo! Kalo gue nggak narik lo dari sana, bisa-bisa lo bunting bulan depan!" tukas Amara sembari menaruh tasnya ke dalam mobil.
Ia mendorong adiknya untuk beringsut masuk ke kursi penumpang, namun gagal. Anggita melangkah mundur, semakin tertawa geli mendengar perkataannya. Lalu Anggita merogoh sesuatu dari dalam tas yang ditentengnya.
"Nih! Gue selalu nyetok beginian. Tenang aja, nggak bakal ada sperma yang berhasil membuahi sel telur gue!"
"Kondom?! Lo nggak tau nih barang bisa gampang bocor?" Ia meraih bungkusan itu lalu melempar sekenanya ke tempat sampah terdekat.
"Mbaaak!" jerit Anggita frustasi.
"Apa?? Lo mau marah sama gue? Denger ya, Git! Gue udah muak liat kelakuan lo yang murahan begini! Grow up, Git!"
"Terus? Gue harus ikutan jadi perawan tua kayak lo? Iya?" dengusnya sinis. "Dengar ya, kakak gue yang merasa paling suci sejagad kayangan, lo mau tau kenapa Alvaro dulu ninggalin lo?"
Alvaro? Kenapa bawa-bawa nama pria brengsek itu? Detak jantung Amara menderu semakin intens bersamaan dengan pijakan kaki Anggita yang semakin mendekat.
"Dia bilang ... pacaran sama lo nggak ada nikmatnya. Beda dengan gue. Alvaro menikmati setiap sentuhan gue. Bahkan ... saat dia memasukkan —"
Plaaakkk!!!
"Brengsek lo, Git!"
Bulir-bulir bening jatuh dari sudut mata Amara, kian deras selepas berhasil membalikkan badan setelah bersusah payah menggerakkan pijakan kaki yang melemah.
Sialan lo, Git! Sialan!!!
Amara yang sibuk memaki dalam hati, terus berjalan diiringi derai tangis hingga tiba di jalan raya. Tak mempedulikan tatapan-tatapan mata yang sekedar mengasihani atau menghakiminya dengan berbagai kata 'mungkin'.
Mungkin habis diperkosa!
Mungkin diputusin pacarnya!
Mungkin baru diusir orangtuanya!
Mungkin suaminya baru meninggal!
Mungkin baru dipecat bosnya!
Sungguh, kejinya rentetan kalimat yang mengikuti kata 'mungkin' itu. Tak habis pikir bagaimana mudahnya seorang manusia menuduh manusia lainnya dengan sangkaan buruk yang berasal dari kesimpulan sementara di otak mereka.
Tunggu dulu! Kalimat-kalimat itu bukan berasal dari manusia-manusia lain di sekitarnya. Pikiran Amara sendirilah yang menciptakan kalimat-kalimat buruk itu. Berasumsi sesuka ria seperti biasanya.
Lalu tangisnya mulai mengisak, Amara meringkuk di pinggir trotoar, memeluk erat kedua lututnya dengan wajah terbenam. Semua sakit yang berhasil menghujam jantungnya di masa lalu kembali terasa. Amara berjuang sendiri. Hanya seorang diri.
*
"Yah, adek lucu banget. Mau dikasih nama siapa?"
"Hmmm ... Anggita Maraya. Bagus nggak?"
*
"Ayaaah, Gita nangis nih!"
"Dani nggak nakal kan sama adek? Adeknya disayang ya."
*
"Sudah berapa lama kamu berhubungan dengan dia, Retha?"
"Cukup lama, Mas! Karena aku sudah muak hidup bersama kamu."
"Kamu bohong, Retha! Kamu sedang mabuk. Retha, tolong bilang semua itu bohong. Semua itu nggak benar. Please, Ret ... i love you so much."
"And i hate you so much, Mas Ganesh! Dan fakta paling menyedihkannya, kamu bahkan tidak tahu kalau Gita bukan anak kamu."
*
"Ayah ... kenapa Mama ninggalin Dani? Kenapa Mama lebih milih Gita? Kenapa, Yah?"
"Dania, jangan cengeng! Kamu sudah besar! Kamu harus kuat. Lupakan Mamamu yang kotor itu."
*
"Ayah ... besok hari ibu. Dani dapat tugas membuat puisi untuk Mama. Tapi Dani nggak tau mau tulis apa."
"Kapan dikumpulkan?
"Besok."
"Kamu tidak usah masuk besok. Ikut ayah saja ke kampus."
*
"Ayah, Dani kangen main sama Gita. Kapan bisa ketemu Gita?"
"Lupakan dia. Kalian tidak akan pernah bertemu!"
*
"Amara?"
Tersentak dari bayang-bayang di kepala, Amara langsung menengadah ke sosok yang berdiri di hadapannya.
"Kamu?"
"Ada apa?"
Amara berusaha bangkit menegakkan tubuhnya yang tengah lunglai. Cepat-cepat disekanya jejak-jejak air di sekitar mata sembabnya.
"Nggak pa-pa."
"Jangan bohong! Kamu kenapa-kenapa."
"Aku beneran nggak pa-pa!" jawabnya sedikit ketus. Sungguh, Amara paling tidak suka saat dirinya terlihat lemah. Apalagi di hadapan pria yang saat ini sedang dibenci oleh hatinya.
"Kamu sendirian?"
"Sama ad — iya, sendiri." Amara mengurungkan kalimatnya.
"Mobil kamu mana?" Pria itu celingak-celinguk mengamati mobil-mobil yang terparkir di sisi trotoar.
Dan saat itulah Amara baru tersadar akan sesuatu. Setelah itu sibuk merutuki kebodohan diri sendiri dalam hati.
There's no way i'm coming back there.
"Ehm ... Pak Arga, saya boleh minta tolong?"
Arga menganggukkan kepala disertai tatapan bingung.
"Saya ... ehm, saya boleh pinjam uang? Untuk ... ehm, naik taksi." tanyanya salah tingkah.
"Ke —"
"Tenang aja, besok saya ganti kok. Berkali-kali lipat!" lanjutnya angkuh setelah memotong kalimat Arga. Lalu mencelos, menghindari bersitatap dengan pria itu.
Setelah menghembus napas panjang, Arga menjawabnya, "Saya antar kamu."
"Eh? Nggak usah, saya mau naik taksi."
"Kenapa kamu naik taksi? Mobil kamu?"
"Apa saya perlu bercerita sama kamu? Saya punya kewajiban untuk menjawab pertanyaan kamu? Memangnya kamu siapa?"
Amara sukses membalikkan perkataan 'makjleb' yang tadi sore ditujukan oleh Arga untuknya.
"Saya antar! Tenang saja, no questions asked. Saya tidak akan bertanya macam-macam."
Dan benar saja, Arga menepati omongannya. Sejak Amara menaiki mobilnya dan memilih duduk di jok belakang itu hingga setengah jam berjibaku di tengah kemacetan, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut pria itu.
Tak tahan dengan kesunyian yang menerpa, Amara pun membuka mulut. "Kamu ... beneran nggak mau tanya-tanya saya kenapa?"
Arga hanya mengangkat kedua bahunya tanpa menjawab.
"Kamu nggak penasaran?"
Lagi-lagi Arga melakukan hal yang sama.
"Kamu nggak mau tanya saya mau diantar kemana?"
Dan lagi-lagi sama, hanya kedua sisi bahu Arga yang terangkat tanpa suara.
"Arga!"
Terlihat dari spion tengah, sebuah senyum tersungging di wajah pria itu.
"Kemajuan lagi." Akhirnya ia bersuara.
"Hah?"
"Kemajuan, kamu panggil saya nggak pake embel-embel 'Pak'. Lagipula, saya belum setua itu."
Wajah Amara tertekuk, merasa sebal dengan kecerobohannya sendiri. Entah kenapa mulutnya bisa keceplosan
"Jadi, mau diantar kemana?"
Deg! Jangankan Arga, Amara sendiri saja belum tahu akan kemana ia pulang. Untuk malam ini, ia tidak punya tujuan.
"Ehm, ke hotel saja."
"Hotel?"
"Iya, hotel bintang lima mana saja."
Arga mengerti sekarang. Wanita ini sedang menghadapi masalah dengan seseorang di rumahnya. Ia sedang menghindari rumah tempatnya pulang saat ini.
"Kamu ... nggak bawa dompet, kan?" Pertanyaan Arga seolah kembali mengingatkan Amara akan kecerobohannya. Mana mungkin ia menginap di hotel tanpa tanda pengenal. Ponselnya saja tertinggal di dalam tas. Amara menyalahkan diri sendiri karena terlalu cepat terlarut emosi sehingga pergi begitu saja tanpa membawa serta tote-bagnya dari dalam mobil.
"Emmm, bisa saya — maksudnya kamu yang menyewa hotel untuk saya? Maksudnya ... kamu yang — eh, emmm ... saya yang nginep, tapi pinjam — enggak, enggak. Maksud saya —"
Arga tertawa dalam hati mendengar kalimat kikuk yang dilontarkan Amara. Ternyata wanita sok tangguh dan sok pintar seperti Amara bisa juga salah tingkah.
"Iya, saya mengerti. Masalahnya, kita bukan pasangan suami istri. Kalau kita datang berdua ke hotel ter —"
"Iya, iya nggak usah diteruskan! Saya paham!" Amara mendengkus kesal. Lebih tepatnya kesal dengan dirinya sendiri.
"Begini saja, kamu bisa menginap di rumah keluarga saya."
"Keluarga kamu? Maksudnya ... rumah Pak Hardi?"
"Bukan, bukan rumah ayah saya."
"Maaf, tapi saya tidak bisa menginap di rumah orang yang asing untuk saya." Amara mendesah napas pelan dengan mata terpejam. Matanya benar-benar lelah. "Tolong antarkan saya kembali ke kantor saja. Saya bisa tidur di kantor."
"Tidak, saya tidak bisa. Kamu nggak lihat apa perjalanan ini sudah sejauh apa? Dan kamu minta saya putar balik?"
Respon dari Arga sukses membangunkan matanya yang akan terlelap dalam hitungan detik.
"Lalu saya harus bagaimana?! Saya juga tidak tahu harus kemana!" sembur Amara meluapkan rasa frustasi yang sudah dipendamnya sejak awal perjalanan.
Sejujurnya, sejak menemukan kondisi Amara yang menyedihkan dalam ringkukan di pinggir trotoar, Arga sudah penasaran setengah mati dengan apa yang terjadi pada wanita itu. Tapi ia sukses menahan ratusan tanya yang menggebu-gebu minta dikeluarkan dari dalam pikiran. Dan sekarang ia kembali berusaha keras membendung pikiran yang kembali terusik.
"Oke, saya akan bawa kamu ke suatu tempat. Kamu bisa tidur di sana. Percaya sama saya."
"Tapi saya tidak bisa tidur di rumah orang asing!!!"
==========================
"Wa'alaikumussalam. Lho, Mas Arga? Bu Dania?"
Dan disinilah ia sekarang. Berdiri di depan pintu rumah Sakya. Amara sibuk mengumpat dalam hati setelah mengetahui sosok yang menjawab salam lalu membukakan pintu.
"Ki, aku mau minta tolong. Amara boleh menginap di sini ya?"
"Eh, eng — Bu Sakya, sa —".
"Boleh kok, silahkan masuk Bu." Tanpa basa-basi, Sakya segera menarik sebelah tangannya untuk ikut melangkah masuk ke dalam rumah yang cukup besar itu.
Amara yang awalnya hendak memberontak, mengurungkan ketika manik matanya menemukan sosok pria tua yang sedang melintasi ruang tamu.
"Amara?"
"Prof?"
"Om Jo, maaf mengganggu malam-malam."
☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆▪︎☆